38. Drunk

104 15 0
                                    

Mobil hitam itu melaju membelah jalanan kota, angin yang berhembus malam ini cukup kencang hingga siapa saja akan bergidik kedinginan. Pemuda itu mengenakan jaket kulit hitam, segera berjalan memasuki sebuah diskotik begitu mobil tersebut ia parkirkan.

Revan mengedarkan pandangan ke sekeliling, mencari keberadaan gadis yang suka sekali merepotkannya itu. Seseorang di depan sebuah meja bar melambaikan tangan, itu Sasha – gadis yang memintanya kemari.

Pemuda dengan setelan serba hitam itu berjalan menghampiri Sasha, ia menghela napas berat saat mendapati Tania telah tepar di sembari mengigau tidak jelas di sana. “Minum berapa banyak dia?”

“Satu atau dua botol kayaknya, gue juga gak tau pasti. Sorry ya, ini Indri yang ngajak kita. Jangan marahin Tania, dia udah nolak kok awalnya. Si Indri aja yang kekeuh maksa, sekarang gak tau dah tu bocah ke mana. Gue harus nyari dan urus dia, takutnya digondol om – om, urusan Tania biar sama lo ya?” jelas Shasa panjang lebar. Ia sedikit lega karena Tania menemukan sosok yang bisa diandalkan untuk menjaganya, sehingga Sasha tidak perlu lagi mencemaskan gadis itu. Sebelum – sebelumnya ia tak akan membiarkan lelaki manapun mengantar gadis itu pulang atau sekedar menitipkan Tania yang sedang mabuk seperti ini.

“Hm ... hati – hati,” pesan Revan.

“Aman, gue udah biasa di sini. Emang ini dua bocah curut, kalo udah minum gak ngotak. Cuma gue doang yang waras. Oke deh, gue duluan,” ungkap Sasha kemudian melengos dari sana, ia harus segera menemukan Indri jika tak ingin gadis itu dibawa ke hotel oleh lelaki hidung belang.

Revan mendekat ke arah Tania yang kini terkulai lemah dengan kepala di atas meja bar, ia mengangkat tubuh gadis itu dan menggendongnya keluar dari tempat berisik nan penuh bau asap rokok dan alkohol.
Tania membuka matanya, wajah gadis itu memerah dan seperti orang baru bangun tidur. Ia bergumam, mengalungkan tangan di leher sang kekasih. “Eum ... Aa Revan.”

“Iya, ini gue,” balas Revan. Tania terkekeh, lalu menoel pipi Revan dengan jari telunjuknya.

“I love u.” Revan hanya berdeham sebagai jawaban.
Karena tak mendapatkan jawaban yang sesuai, Tania mencebikkan bibirnya kesal. Ia mengeratkan lilitan tangan di leher pemuda yang sedang menggendongnya itu, menarik kepala Revan hingga menunduk lalu dengan cepat mengecup bibir pemuda itu. Revan menghentikan langkah seketika, sementara Tania justru tertawa senang.

Keduanya telah tiba di parkiran, Revan segera mendudukkan Tania ke kursi penumpang di sebalah kemudi. Ia melajukan mobil hitam itu kembali membelah jalanan kota, namun nampaknya Tania tak membiarkan Revan mengemudi dengan tenang. Lihat lah kelakuan gadis itu sekarang yang kini berusaha duduk di pangkuan Revan.

“Tan, diem!” tegas Revan, ia terpaksa menghentikan mobil karena gadis itu yang memaksa naik ke pangkuannya. Tania merengek, menggeleng tanda tak mau. Pada akhirnya Revan hanya bisa pasrah ketika Tania duduk di pangkuannya, gadis itu terlalu keras kepala untuk dihentikan.

Tania kembali melingkarkan tangan di leher Revan, memeluk pemuda itu dengan erat. Setelah Tania terlihat nyaman dan tenang, barulah Revan kembali melajukan mobilnya. Tapi gadis itu sepertinya memang tak mau diam, berulang kali ia mencuri ciuman dari Revan.

Mereka tiba di apartemen Tania setelah perjalanan panjang karena ulah gadis itu, Revan segera merebahkan tubuh Tania di atas kasur besar. Baru saja ia akan melepaskan tangan Tania yang masih bertengger di lehernya, gadis itu segera mengeratkan pelukannya.

“Gak mau, jangan dilepas! mau peluk,” rengek Tania sembari menggelengkan kepala berkali-kali. Revan hanya bisa kembali mengalah, ikut merebahkan diri di samping Tania dengan gadis itu yang masih setia memeluknya erat.

Revan mengelus punggung dan kepala Tania, memberikan kehangatan dan kenyamanan agar gadis itu segera tertidur. Revan akan segera pindah ketika Tania sudah lelap, bagaimanapun tidur di kasur yang sama dengan lawan jenis bukanlah ide yang baik.

***

Gadis itu menggeliat dari balik selimut, matanya perlahan terbuka. Mata gadis itu menyipit menatap sekeliling, berusaha menyesuaikan dengan cahaya yang memasuki retina. Kepalanya sedikit berdenyut, namun tak urung ia bangkit, menyandarkan punggung ke kepala kasur. Ini di apartemennya, syukurlah ia tak terbangun di hotel, itu artinya tak ada yang memanfaatkan ketidaksadaran gadis itu.

Ia perlahan melangkah memasuki kamar mandi, berendam sebentar di air hangat sepertinya ide yang bagus. Setelah selesai berkemas, Tania segera menuju dapur. Demi apapun perutnya sudah keroncongan sedari tadi, berteriak minta di isi.

“Udah bangun?” Tania terlonjak mendapati keberadaan Revan di sana, kemudian bayangan kejadian semalam terlintas di ingatannya. Ia tersenyum, melangkah dengan riang mendekati pemuda yang kini tengah bergulat di dapur lalu memeluk Revan dari belakang.

“Pusing gak?” tanya Revan yang masih fokus memasak. Tania menggeleng di balik punggung pemuda itu.

Merubah posisi keduanya, Revan menarik Tania agar berdiri di depannya hingga kini pemuda itu lah yang memeluk Tania. Tangannya menggenggam tangan Tania, mengarahkan gadis itu untuk memegang spatula dan mengaduk nasi goreng di hadapan keduanya. Mereka sama-sama tak mengeluarkan sepatah kata pun, menikmati momen manis dan hangat itu tanpa bicara.

Revan mematikan kompor begitu nasi goreng tersebut siap, melepas pelukan pada Tania lalu menyajikannya di atas dua piring. Tania yang memang sudah lapar segera mengambil alih satu piring, dengan cepat menuju meja makan dan menyantapnya.

“Masakan lo emang gak pernah gagal, Van,” puji Tania dengan mulut yang penuh. Revan memang pandai memasak, bahkan nasi goreng seperti ini saja begitu enak di lihat Tania. Kalau di jual pasti banyak yang suka nih, untung banyak. Buka bisnis apa yak? ehh gak jadi deh, masakan Revan cukup buat gue dan keluarganya aja!

“Perlengkapan mandi gue udah pada abis, Van. Setelah ini temenin beli ya,” pinta Tania.

Revan menggeleng, ia sudah semalaman di sini. “Gue harus pulang.”

“Bentar doang, Van. Temenin please,” mohon Tania. Ia menampilkan wajah memelas, berharap Revan akan mengiyakan permintaannya itu. Namun sepertinya Revan tetap kekeuh untuk pergi dari sana, pemuda itu kembali menggeleng menanggapi Tania.

Bibir gadis itu maju beberapa senti, jika Revan sudah kembali cuek seperti ini pastinya ada yang salah. “Van, lo marah ya sama gue? karena kejadian semalam ya?”

“Gak,” tampik Revan. Ia tidak benar-benar marah, hanya saja tidak suka dengan kelakuan Tania. Ia tidak suka juga gadis itu kembali ke tempat yang tidak baik itu, lagipula bukankah Tania sudah berjanji akan berubah?

“Jangan bohong. Gue minta maaf, itu Indri yang maksa ke sana,” jelas Tania.

Revan menghela napas kasar, melahap suapan terakhir di piringnya. “Lo bisa nolak.”

“Sorry. Tapi gue udah nolak kok, cuma dia maksa semaksa-maksanya,” ungkap Tania. Demi apapun ia sudah menolak Indri namun gadis itu memaksanya dengan berbagai cara hingga mengatakan jika Tania cupu, ia yang mempertahankan harga diri di depan sahabatnya akhirnya menyetujui ajakan Indri.

“Gue ngelarang lo, buat kebaikan lo sendiri. Itu bukan tempat yang bisa dibilang aman, Tan.”

Tania mengangguk mengerti, ia menarik tangan pemuda yang duduk di sisi kirinya itu. Menggenggam tangan Revan, ia menundukkan kepala menyesal. “Janji ini yang terakhir, Van.”

Revan balas menggenggam tangan Tania, sebelah tangannya lagi menarik dagu gadis itu agar menatapnya. Dengan mata tajamnya, Revan berusaha mengintimidasi Tania. “Kalau lo ulangi, gue beneran bakal marah.”

Tania mengangguk, ia tak akan mengulanginya lagi. Biarlah teman-temannya kembali mengejek Tania bucin, cupu dan sebagainya. Daripada Revan marah, ia lebih rela kehilangan harga diri.

Revan tersenyum tipis, tangannya beralih menarik tengkuk Tania, membuat bibir keduanya bertemu. Tania sedikit terkejut, kemudian membalas pangutan Revan. Ia selalu suka bagaimana pemuda itu menciumnya dengan lembut dan penuh kasih.
“Gue gak suka rasa alkohol di bibir lo, jadi berhenti lakuin itu!”

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang