4. Cewek Gila

170 41 103
                                    

Kaki panjang dengan tubuh menjulang itu berjalan santai menuju parkiran, suasana terik sore ini membuat mata tajamnya menyipit. Beberapa siswi memandang takjub wajah dan tubuh proporsional itu, di tambah gaya angkuhnya dengan tas tersampir di satu lengan.

Revan, begitu para siswi menjerit tertahan memanggil namanya. Pemuda yang terkenal dingin namun mampu membuat siapa saja tertarik hanya dengan sekali lihat. Menekan satu tombol pada kunci di genggaman, ia membuka pintu mobil berwarna hitam itu.

Hari ini ia pulang sendirian karena sang Adik yang memutuskan untuk pergi sebentar bersama kawan-kawan. Larisa itu keras kepala, Revan tak bisa menahan gadis itu begitu saja walau dirinya merasa sangat khawatir. Tubuh Larisa tak sekuat orang pada umumnya, hal ini lah yang membuat keluarga Sanjaya begitu menjaga gadis itu.

Ia tarik tali panjang yang menjadi pengaman saat mengemudi, baru saja hendak memasangnya namun urung karena penampakan menyeramkan yang menempel di kaca depan mobilnya. Cicak jadi-jadian macam apa ini?

Revan mendengus, sepertinya kepulangan dia hari ini akan sedikit menguras emosi. Tania di luar sana mengetuk-ngetuk kaca mobil tersebut, sesekali ia bicara dan berpose selayaknya model wanita terkenal. "Mau apa lagi sih tu cewek?"

Revan diam sejenak, memperhatikan apa yang selanjutnya akan gadis aneh di depannya ini lakukan. Ia menunggu beberapa menit, berharap Tania akan berhenti dengan sendirinya karena lelah tak dihiraukan.

Ia mendengus pelan, tampaknya Tania tak akan pergi sebelum dihentikan. Dengan sedikit kasar keluar dari pintu mobil, "turun!" pintanya pada gadis itu.

Tania membalikkan badan menghadap Revan, dengan senyum lebar ia menggeleng pelan. "Gak mau, anterin gue pulang dulu!"

"Turun!" tegas Revan.

Tania menekuk wajah sambil mencebikkan bibir, mungkin bagi lelaki lain itu akan terlihat menggemaskan dan lucu, tapi jangan harap Revan juga berpikir demikian. Ia justru muak dengan wajah cantik di hadapannya itu. "Anterin gue pulang dulu, Van!"

Revan menggeram tertahan, dengan sekali tarik membuat Tania turun dari kap mobilnya. Gadis itu tak terima, dengan cepat berlari menuju pintu penumpang depan. Baru saja digenggamnya pegangan pintu mobil tersebut, Revan sudah terlebih dahulu menariknya menjauh.

"Aa Revan! Gue cuma mau pulang bareng ish ...," rengek Tania sembari menampilkan wajah memelas.

Revan mengusap wajah gusar, dengan berat hati ia gendong gadis itu di pundak selayaknya buruh pasar yang memikul sekarung beras. Ia berjalan menjauh dari sana, disaksikan para murid yang baru saja akan pulang. Tania meronta dalam gendongan, memukul punggung tegap Revan. "Hua ... Turunin gue woi! pusing!"

"Bukannya lo yang tadi gak mau turun?" tanya Revan dengan nada mengejek.

"Itu kan beda, turunin cepet!"

Revan berhenti berjalan, menurunkan Tania di samping tembok besar nan menjulang. Gadis itu memegang kepalanya yang terasa pusing, mata Tania terasa berkunang-kunang sekarang. Revan sialan! umpatnya dalam hati.

"Tuh, temen lo." Revan menunjuk tembok di belakang gadis itu lalu berlalu begitu saja, meninggalkan Tania yang masih linglung di tempatnya.

"Hah? Apa sih? Temen gue?"

"ANJIR ... REVAN BANGKE!" teriak Tania begitu menoleh pada tembok di belakangnya yang tergambar seekor monyet bergelantungan di atas pohon. Tania menghentakkan kaki kesal dengan tangan terlipat di depan dada. Revan secara tidak langsung menyamakan Tania dengan mamalia tersebut, jelas ia tak terima!

***

Malam ini udara terasa begitu dingin, Revan mengeratkan hoodie berwarna abu-abu yang kini membalut tubuh tegapnya. Ia berjalan memasuki minimarket, lantas menghampiri jajaran rak makanan ringan. Mengambil beberapa sereal, snack dan cokelat untuk dirinya dan Larisa.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang