34. Red days

124 18 4
                                    

Hari pertama menstruasi adalah hal paling menyebalkan sekaligus menyakitkan bagi sebagian besar kaum perempuan, sama halnya dengan yang dialami Tania saat ini. Ia meringkuk memegang perut nya yang seakan di remas kuat. Gadis itu bersyukur karena ini hari libur sehingga ia tak perlu tersiksa bersekolah sembari menahan sakit perut.

Tangan panjangnya berusaha meraih ponsel di atas nakas samping ranjang, mencari sebuah nama di kontaknya lalu menekan tombol panggil. Gadis itu meringis, kini merubah posisi menjadi telungkup dengan pantat menungging.

Terdengar suara dehaman dari balik telepon, membuat Tania sedikit tersenyum di kala rasa sakit menyerang perutnya. “Pacar, di mana?”

Revan di seberang sana menaikkan alisnya, jika sudah memanggilnya dengan embel-embel ‘pacar’ pasti gadis yang meneleponnya ini sedang ada maunya. “Gym, kenapa?”

“Red days, stok pembalut gue abis.” Tania merengek seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan, bibir gadis itu mencebik.

“Gue pesenin online ke sana. Gue masih ada urusan,” ucap Revan kemudian mematikan panggilan secara sepihak. Tania merengut mendengar balasan dari pemuda itu, benar-benar tidak peka! padahal yang gadis itu mau kan kehadiran Revan di sini sembari membawakannya pembalut. Jika hanya pesan online, gadis itu juga bisa melakukannya sendiri.

“Dasar kanebo kering, gue doain lo kecebur got pas pulang,” ujar Tania menatap ponselnya dengan kesal kemudian melempar benda pipih tersebut sembarangan.

Di sisi lain, Revan baru saja menyelesaikan aktivitas gym yang biasa pemuda itu lakukan setiap weekend. Pemuda itu meraih tasnya, berpamitan pada Julio yang baru saja memasuki ruang ganti.

“Hati-hati, bro,” ujar pemuda yang merupakan teman gym Revan satu-satunya itu.

Karena lokasi gym tersebut tidak jauh dari kediamannya, Revan dengan cepat tiba di rumah. Pemuda itu segera membersihkan diri dan bersiap mengantar Larisa untuk check up. Revan mengetuk pintu kamar sang adik, kemudian masuk setelah mendengar suara Larisa di dalam.

“Ayo, udah siap belum?” tanya Revan sembari berjalan menghampiri Larisa yang masih asik memainkan ponsel di atas ranjang.

“Udah, tapi lo gak ada urusan lain kah? gak jalan-jalan sama kak Tania?” Larisa mengernyitkan dahi bertanya. Sebetulnya ia bisa sendiri ke rumah sakit, tidak perlu ditemani setiap kali harus melakukan pemeriksaan seperti ini. Kedua orang tuanya sudah kembali ke luar kota, maklum saja karena kantor cabang sang Ayahanda cukup banyak dan perlu pengawasan sewaktu-waktu.

“Nanti setelah lo selesai check up, gue ke sana.”

“Padahal mah gak perlu ditungguin, anterin aja terus lo bisa nyamperin sang pujaan hati,” ujar Larisa sembari tersenyum dan menaik-turunkan alis diakhir kalimat yang berhasil membuatnya dihadiahi sentilan di dahi. Larisa terkekeh sembari mengelus dahinya yang baru saja Revan sentil, ia senang setiap kali berhasil menggoda kakaknya itu.

“Ayo,” ajak Revan sembari merangkul sang adik. Larisa tersenyum, meraih tas selempang dan memasukkan ponselnya ke sana terlebih dahulu.

“Gue maunya digendong.” Revan mendesah pelan mendengar permintaan adiknya itu, namun tak urung berjongkok agar Larisa bisa naik ke punggungnya dengan mudah. Larisa tertawa melihat kepasrahan Revan, kemudian dengan senang hati naik ke punggung pemuda itu.

“Lebih sayang gue apa kak Tania?” tanya Larisa tiba-tiba.

“Lo,” balas Revan tanpa berpikir. Itu sudah jelas, tidak perlu dipertanyakan kembali. Revan bisa merelakan apa saja demi Larisa, sementara perasaannya pada Tania belum jelas di titik mana. Lagipula, memangnya ada seorang kakak yang lebih sayang pada pacarnya dibanding sang adik? jika ada, Revan bisa dengan lantang mengatakan jika orang tersebut bodoh! Bagaimanapun hubungan darah lebih kental daripada cinta!

“Kalau sayang gue, lo anterin gue aja jangan ditungguin!” Revan mendelik menatap Larisa, benar-benar tak habis pikir mengapa sang adik bersikeras seperti itu.

“Lo ke—"

“Eits, gue gak nerima protes. Kalau lo kekeuh nungguin gue, artinya lo gak sayang gue dan gue bakal ngambek seharian,” potong Larisa. Sekali lagi, Revan hanya bisa mendesah pasrah. Adiknya ini sangat keras kepala, dia juga tak pernah main-main dengan ucapannya. Pemuda itu pada akhirnya hanya bisa mengangguk setuju, ia akan meminta sepupunya menemui dan menemani Larisa nanti.

***

Suara bel yang berbunyi berulang kali membuat Tania mengumpat, dengan kesal ia bangkit dari ranjang. Gadis itu berjalan terseot-seot karena masih merasakan sakit di perutnya. “Siapa sih? jangan bilang tukang paket yang nganterin pembalut pesenan Revan.”

Tania mengintip dari lubang pintu, melihat sosok jangkung yang beberapa menit lalu membuatnya kesal. Gadis itu membuka kan pintu, berkacak pinggang menatap seorang pemuda di depannya itu. “Oh ... ini abang kurirnya. Ganteng ya, mirip pacar saya.”

Gadis itu mendapat hadiah kecil di dahinya, sebuah sentilan manis dari Revan. Kebiasaan memang. “Mau gue pulang?” ancam pemuda itu.

“Ehehehe ... enggak, bercanda.” Tania melompat memeluk pemuda itu, membuat Revan terpaksa menangkap tubuhnya lalu menggendong gadis itu masuk ke dalam dengan posisi seperti induk koala yang menggendong anaknya.

Satu tangan pemuda itu menahan tubuh Tania, sementara yang lain membawa sebuah kantong kresek besar. Ia mendaratkan bokong ke atas sofa, sedangkan Tania sama sekali tak merubah posisinya.

“Perut gue sakit, Van,” adu Tania, gadis itu mendusel-duselkan wajahnya ke leher Revan. Revan menarik napas panjang, berusaha menetralkan detak jantungnya yang entah kenapa kian mengencang.

“Turun dulu,” pinta Revan sembari melonggarkan pelukan Tania, untungnya gadis itu segera menurut.

Revan memberikan kantong kresek putih yang dibelinya dari supermarket tadi kepada Tania, kemudian bangkit dan melenggang menuju dapur.
Tania tersenyum melihat isi kantong tersebut, terdapat pembalut, minuman pereda nyeri haid dan juga banyak cemilan lainnya. Kirain gak peka, bisa gini juga ternyata si kanebo.

Revan kembali dengan sebuah baskom dan sehelai handuk kecil di tangan, Tania mengernyitkan dahi melihatnya. Pemuda itu meletakkan baskom di atas meja, mencelupkan handuk ke dalam air hangat di dalam benda bulat tersebut lalu di perahnya. “Angkat dikit bajunya.”

Tania menurut, membiarkan Revan mengompres perutnya. Ia benar-benar merasa takjub dengan sosok Revan yang terlihat tidak peduli namun nyatanya begitu perhatian, Tania merasa beruntung memiliki laki-laki itu. Tania meneguk minuman pereda nyeri haid yang dibelikan Revan, namun matanya tidak lepas dari setiap pergerakan Revan yang kini fokus mengompres perutnya.

“Masih sakit?” tanya Revan setelah menyelesaikan aktivitasnya.

Tania mengangguk sembari menutup botol minumannya, pemuda itu segera mendekat dan mengangkat tubuh Tania. Jelas saja ia terkejut, Tania reflek mengalungkan tangannya di leher Revan.
“Mau ngapain? Mau ke mana?”

Revan hanya diam, masih terus berjalan lurus. Ternyata pemuda itu membawa Tania ke kamarnya, merebahkan gadis itu di atas kasur besar. Ia ikut merebahkan diri di sana, satu tangan pemuda itu dengan lembut mengelus perut rata Tania. “Istirahat,” katanya.

Tania tersenyum dengan pipi merona, hampir saja ia berpikiran negatif. Gadis itu kemudian mengangguk, mulai memejamkan mata menikmati elusan sang kekasih di perutnya yang entah mengapa sangat ampuh membuat rasa sakit yang Tania rasakan hilang.

_to be continue_

ehehe ... maaf banget kemarin lupa update

sebagai gantinya, aku update hari ini

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang