11. Taruhan

111 29 59
                                    

Tania berguling guling di atas kasurnya, perkataan Revan tadi benar-benar mengganggunya. Ia tak seburuk itu, ia bukan gadis murahan. Tania punya alasan kenapa dirinya seenak jidat memacari semua pemuda. "Sial si Revan, pengen disantet kali."

Ia kemudian bangkit, merangkak ke pinggir ranjang untuk mengambil ponsel yang tergeletak di atas nakas. Mengotak-atik benda pipih tersebut, lalu mengirim pesan ke sebuah nomor yang ia yakini akan berakhir hanya dibaca.

To Revan Sialan :

Kalo lo pikir gue bakal mundur karna perkataan lo tadi, LO SALAH BESAR!

Send

"Liat aja, gue bakal makin gencar gangguin lo," tekad Tania. Namun gadis masih saja tetap bersungut kesal mengingat perkataan Revan. Dan pada akhirnya ia pun memilih untuk mandi saja, ia akan mengajak teman-temannya ke club hari ini guna melepas rasa sakit di hati.

***

Suara dentuman musik yang memekakkan telinga memenuhi ruangan itu. Banyaknya orang yang berjoget tak terarah semakin membuat sesak, ditambah lagi dengan kepulan asap dan bau alkohol yang menusuk penciuman.

"Aaaa ... akhirnya kita bisa seneng-seneng di sini lagi," kata Indri sedikit kencang sambil berjoget dengan segelas alkohol di tangan.

"Hahaha ... Yoi. Lo sih Tan, sibuk sama Revan mulu," timpal Sasha.

Tania mendelik tajam, tangannya masih terangkat menikmati alunan lagu di tempat itu. "Kan gue kudu usaha keras buat bikin dia jatuh cinta."

"Tapi sampai sekarang belum berhasil hahaha," ucap Indri, gadis itu sudah terlihat sempoyongan. Ia sudah menegak bergelas-gelas minuman beralkohol, tingkat rendah namun tetap saja membuat kepala berputar jika terlalu banyak, ditambah senggolan orang-orang di sana membuatnya semakin bergerak tak tahu arah.

"Sialan, tu cowok songong banget. Pengen gue cekek rasanya," ungkap Tania membuat kedua temannya tertawa.

"Lo sih sok banget mau naklukin," ejek Sasha dengan tawa yang masih tersisa.

"Ingat ya, Tan. Kurang dari seminggu lagi taruhan kita berakhir. Siap-siap aja barang kesayangan lo gue karungin," kata Indri.

"Taruhan mulu yang lo inget."

Sasha dan Indri terkekeh lalu dengan kompak menjawab, "PASTI DONG!"

***

Revan berjalan menuju sebuah ruangan di sudut rumah sakit, tersenyum menatap gadis yang saat itu tengah berbaring lemah di atas bankar. Ia mendekat, mendaratkan bokong pada kursi di sisi kiri gadis itu.

"Darimana?"

"Angkat telpon bunda." Jemari kasar itu perlahan menggenggam tangan gadis di sebelahnya. Ia menatap gadis yang sangat disayanginya itu teduh, lalu mengelus puncak kepala dan mencium kening Larisa. "Sakit gak?"

"Gak dong. Kan gue kuat, lagian udah biasa kali. Santai aja, Bang." Bibir pucat gadis itu tertarik ke atas, namun tatapan matanya yang sayu tak bisa membohongi Revan. Ia tahu, Adiknya telah lelah dengan semua ini. Larisa memang kuat, bahkan sangat kuat. Tapi ia tak pernah tahu bagaimana isi hati Larisa. Walau Larisa terkadang sangat menyebalkan, namun gadis itu adalah perempuan kedua yang paling ia sayangi di dunia ini.

"Mukanya gak usah sendu gitu, biasanya juga datar kek aspal," kekeh Larisa. Revan mendelik, sedikit kesal mendengar ucapan sang Adik. Di saat seperti ini, masih saja suka meledeknya.

"Btw, udah dapet pacar belum abang kesayangan gue ini? Gak capek apa jomblo mulu."

"Mending lo istirahat," kata Revan berusaha menghindar.

"Cari pacar kali, bang. Biar kalo kedinginan ada yang meluk, masa iya lo mau melukin gue mulu." Larisa menatap Revan menggoda, melihat wajah kesal Abangnya itu sangatlah menyenangkan untuk Larisa.

Revan mendengus, adiknya ini memang tidak sadar diri. "Lo juga jomblo, cari pacar sana."

"Yang gue suka udah ada, bang. Tapi dianya gak suka gue, gimana dong?" Larisa mencebikkan bibirnya lucu.

"Lagian kalo gue udah punya pacar nih. Terus sakit gue makin parah dan berakhir meninggal, kasian pacar gue dong," lanjutnya yang langsung mendapat sentilan di kening.

"Ngomong apa lo?" tanya Revan. Ia tak suka jika Adiknya ini terus saja mengungkit tentang penyakit dan berbicara soal kematian. Revan mengerti perasaan Larisa, tapi ia juga tak boleh menyerah bukan? Keajaiban itu ada.

"Maaf bang, galak banget sih," ucap Larisa. Gadis itu memang selalu terlihat ceria dan santai, tapi Revan tau jika Larisa punya banyak tekanan dalam batin dan pikirannya.

"Sekali lagi lo ngomong gitu, gue minta bunda buat bawa lo berobat ke luar negeri," ancam Revan.

Risa membolakan mata, ia tak mau itu terjadi. "Anjim, gak mau. Oke, gue gak bakal ngomong hal itu lagi."

"Bagus," ucap Revan.

Keduanya lalu terdiam untuk beberapa saat, hingga dentingan ponsel Revan mengalihkan perhatian. Ia lalu membuka pesan tanpa nama di sana.

0813xxxxxx25 :

Kalo lo pikir gue bakal mundur karna perkataan lo tadi, LO SALAH BESAR!

Revan menghela napas kasar, ia sudah cukup tau dan hapal siapa yang mengirim pesan itu.

"Gak waras," umpat Revan pelan. Bisa-bisanya Tania masih tak goyah dan tetap pada pendirian untuk terus mengejar Revan.

"Siapa yang gak waras?" tanya Larisa penasaran. Ternyata gadis itu mendengar umpatan Revan tadi.

"Bukan siapa-siapa," balas Revan dan untungnya Larisa lebih memilih mengangguk dan menutup matanya.

Ia memijit pelipis, memikirkan bagaimana cara yang ampuh untuk menendang gadis itu keluar dari kehidupan tenangnya. Jika Tania harus berusaha keras mengejar Revan, maka Revan juga harus berusaha keras untuk membuat Tania menjauh.



_to be continue_

hai hai ... sebenarnya ini cerita terlama yg aku buat
sekarang kuliah sambil kerja soalnya, jadi gak ada waktu buat nulis cerita lagi.

tapi sekarang aku mau usaha lagi, gapapa ya dikit-dikit.

views cerita ini juga lambat bgt naiknya dibanding yang lain, tapi it's oke ... kita mulai lagi dari nol.

so, bantu aku juga ya biar cerita ini dikenal sama yang lain.

jangan lupa tinggalin jejak dengan klik bintang.

semoga kalian bahagia dan sehat terus.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang