42. Berakhir

127 15 0
                                    

Ada beberapa hal yang memang tidak dapat kita duga dan tak dapat pula dicegah, kematian salah satunya. Siapa yang menyangka jika Larisa akan secepat ini meninggalkan keluarga Sanjaya, padahal sebelumnya gadis itu terlihat baik-baik saja. Revan ingat betul semalam Larisa masih dengan tengil mengatainya.

"Risa curiga deh, Bun. Bang Revan kalo kena jambret mukanya bakalan tetap lempeng, terus dibiarin gitu aja pelakunya," ejek Larisa kala itu.

Ada Keyra dan Reihan juga, mereka ikut menertawakan ucapan Larisa. Memang benar, Revan selalu tenang menghadapi apa saja, bahkan terlalu tenang hingga terkadang membuat orang lain was - was.

"Dunia terlalu cepat buat bang Revan," tambah Larisa dengan wajah dramatis.

Revan tersenyum tipis mengingat itu, namun sejurus kemudian setetes air mata mengalir di pipinya disusul buliran lain. Ia menangis dalam diam, melihat brankar dengan tubuh kaku Larisa yang masih ada di sana.

"Katanya lo mau sembuh, kenapa malah nyerah?" gumam Revan. Suara pemuda itu terdengar lemah, bagai ada sebuah gumpalan di tenggorokan yang mencegah keluarnya suara, bahkan untuk sekedar menelan ludah pun begitu susah.

Dadanya begitu sesak, seperti baru saja dipukul dengan keras secara bertubi-tubi. Ia menatap nanar Keyra dan Reihan yang juga terdiam seribu bahasa, nampak masih sangat terpukul. Revan tak pernah berpikir hari ini akan terjadi, meskipun Larisa selama ini mengidap leukimia, namun mereka semua yakin gadis itu akan segera sembuh. Nyatanya, keyakinan mereka kalah dengan takdir yang telah Tuhan gariskan.

Bisa Revan yakini, keluarga Sanjaya yang mulanya hangat akan mulai kehilangan kehangatan itu karena ketidakhadiran Larisa di sini. Rumah yang semula berisik dan penuh akan tawa itu akan berakhir sunyi. Kenyamanan yang semula hadir mungkin akan mulai terkikis.

Selama ini, Revan lebih banyak menghabiskan waktu berdua dengan Larisa karena orang tua mereka yang sering bekerja di luar kota. Namun setelah ini, ia akan sendirian. Revan takut keutuhan keluarga ini akan segera hancur melebur bersama dengan tubuh Larisa yang akan menyatu dengan bumi.

Derap langkah kaki memasuki ruangan itu, beberapa kerabat mereka datang untuk melihat Larisa. Alya - Saudara tiri Keyra datang beserta suami dan anaknya. Rian - Adik kandung Reihan juga datang membawa istri dan anaknya. Adapula Ayah Keyra bersama Ibu Tirinya, juga kedua orang tua Raka yang telah dianggap bagian dari keluarga besar mereka.

Mereka semua menangis, nyatanya Larisa bukan hanya kesayangan dan matahari bagi keluarganya melainkan juga bagi semua kerabat yang ada. Gadis itu begitu baik dan selalu mementingkan orang lain, sangat humoris walaupun terkadang juga sangat menyebalkan. Larisa selalu punya cara untuk membuat orang lain tertawa dan bahagia, sementara dirinya diam - diam menyembunyikan lukanya.

"Gue pikir, gue udah jadi abang yang baik tapi ternyata enggak. Banyak hal tentang lo yang gue gak tau, gue juga gak bisa jagain lo, Risa."

***

Jenazah Larisa sudah dimandikan dan diurus, mereka akan membawanya pulang ke rumah duka malam ini dan melakukan pemakaman besok pagi. Hingga saat ini, Revan masih berusaha mengelak bahwa sang adik telah tiada, ia selalu berharap jika ini hanyalah mimpi buruk untuknya.

Harusnya tadi ia lebih lama di sini, harusnya ia tak perlu menghubungi Tania dan mendatangi gadis itu sementara kondisi Larisa sedang tak baik.

Revan tersadar jika dirinya terlalu banyak menghabiskan waktu bersama Tania selama ini, ia terlalu fokus pada gadis itu sehingga tidak menyadari jika jantung adiknya kembali mengalami masalah.

Ia menatap nanar ubin putih, kini pemuda itu duduk di kursi tunggu sembari Reihan mengurus berbagai administrasi dan prosedur rumah sakit. Sepasang sepatu berhenti tetap di depannya, membuat Revan yang semula menunduk mengangkat kepalanya.

"Kenapa gak ngehubungin gue?" Pertanyaan itu terlontar dari gadis yang baru saja tiba itu, Tania berdiri dengan berkacak pinggang.

"Van, gue ini lo anggap apa sih? Kenapa hal kayak gini sama sekali gak bilang ke gue? Andai aja gue gak dapet info dari Indri, mungkin gue gak akan tahu kalau Larisa udah meninggal." Kepala Revan semakin berdenyut karena omelan - omelan yang Tania lontarkan. Tidak bisakah perempuan itu diam saja? Revan muak dengan semuanya sekarang. Ia lelah dengan sikap Tania yang seenaknya dan hanya mementingkan dirinya sendiri seperti ini.

Revan menarik napas dalam, berusaha sekuat tenaga agar dapat bersuara. "Gue gak bawa hp."

"Lo bisa pinjem hp orang kayak tadi siang, Van!"

"Tan, bisa gak sih gak usah permasalahin hal kayak gini? Gue lagi berduka dan lo bukannya meringankan kesedihan atau beban gue malah nambah bikin mumet," sentak Revan. Ia benar - benar hanya ingin ketenangan sekarang, pikirannya sudah kacau sedari tadi.

Tania menatap Revan tak percaya setelah mendengar perkataan dengan nada tinggi yang tak biasa pemuda itu ucapkan. "Lo ngebentak gue? Salah gue kecewa karena lo gak ngasih tau gue hal sepenting ini? Gue pacar lo, Van. Wajar kalo gue mau dikabarin, bukannya malah tau dari orang lain!"

"Larisa ngalamin henti jantung saat gue ke tempat lo, anjing! Dia meninggal disaat gue nyamperin lo!" Kali ini Revan benar - benar tak bisa membendung emosinya. Ia sudah kalut, ditambah dengan sikap Tania membuatnya semakin kacau. Kali pertama seorang Revandra Sanjaya meninggikan suara demikian, dan itu karena seseorang yang nyatanya adalah gadis yang ia cintai.

"Harusnya gue gak terlalu fokus sama kita, gue harusnya tetap prioritasin Risa diatas segalanya. Harusnya gue gak usah punya pacar, harusnya gue gak biarin lo masuk ke hidup gue," terang Revan. Pemuda itu meluapkan segalanya, semua kemarahan yang telah lama ia tahan.

Tania terdiam sejenak, cukup kaget dengan semua yang dikatakan Revan. "Jadi maksudnya lo nyesel? lo nyesel kenal gue? lo nyesel jalin hubungan sama gue?"

"Iya! Iya, gue nyesel. Gue nyesel pacaran sama cewek kayak lo."

"Cewek kayak gue? emang gue cewek kayak apa?" tanya Tania, gadis itu ikut emosi sekarang.

"Lo! Orang yang cuma mentingin diri sendiri, maunya selalu dimanja dan dingertiin, lo itu egois!" Revan dengan marah menunjuk wajah Tania, dadanya naik turun karena emosi. Kali pertama dalam hidupnya bisa semarah ini pada seseorang. Ia sudah muak dengan segalanya, persetan dengan cinta!

Tania terdiam, mulai menitikkan air mata setelah mendengar penuturan Revan yang amat menyakitkan untuknya "Jahat banget kata-kata lo, Van."

"Iya gue jahat, jadi ayo putus. Kita selesaiin di sini, sama lo cuma bikin semuanya kacau," pungkas Revan.

"Oke. Semoga lo bisa dapatin cewek yang gak manja dan gak nyusahin kayak gue. Semoga dapet cewek yang hidupnya gak berantakan, yang punya keluarga lengkap kayak lo, yang gak problematik dan gak bikin hidup lo kacau. Gue juga nyesel udah sejatuh cinta ini sama cowok kayak lo, gue kira lo beda tapi ternyata enggak. Lo sama brengseknya, sama nyakitinnya kayak yang lain."

Revan menarik rambutnya frustasi begitu Tania melenggang pergi dari sana, semua hal yang terjadi hari ini membuatnya seperti ditusuk ribuan belati. Ia sadar jika perkataannya memang teramat jahat, namun kesabarannya telah habis. Sedari awal Tania memanglah gadis yang jauh dari kesan baik, salahkan Revan yang membiarkan gadis itu masuk ke hidupnya. Mulanya ia yakin jika Tania akan berubah lebih baik dan lebih dewasa dalam bersikap, namun ternyata keyakinannya itu tidak terwujud. Tania tetaplah Tania yang arogan, egois dan tak bersimpati.

_to be continue_

yah ... beneran putus nih?

kalo dari sudut pandang kalian, yang salah siapa?

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang