Seperti orang kurang kewarasan, gadis itu tidak henti-hentinya tersenyum. Ia menoleh ke samping lalu kembali menatap ke depan dengan kedua tangan menutupi pipinya yang merona. Sementara itu, pemuda dengan seragam yang sama justru hanya diam dengan wajah tanpa ekspresi.
"Van, kita mau first date kemana?" tanya Tania bersemangat. Revan menoleh sekilas dengan dahi mengkerut, sejak kapan mereka akan pergi berkencan? Revan saja hampir melempar Tania keluar mobil tadinya. Andai hati nya tak lagi berfungsi, Revan pasti sudah menyuruh kedua sahabat Tania agar menarik gadis itu pulang bersama mereka.
"Pulang," balas Revan acuh.
Tania berdecak, ia melipat kedua tangan di depan dada. "Tadi katanya lo mau ke suatu tempat!"
"Gak sama lo." Revan berbicara tanpa melirik Tania sedikitpun, membuat gadis itu sekali lagi berdecak sebal. Dalam hati tak henti-hentinya mencibir Revan. Katanya calon pacar, mau kasih kesempatan. Tapi masih aja kayak es batu!
"Gue mau ikut, Van." Tania merengek, menampilkan wajah imut agar Revan luluh. Usaha gadis itu tentunya berakhir sia-sia, karena Revan tak mudah untuk dibujuk.
"Lo gak akan betah!"
Tania menaikkan sebelah alis bertanya, "kenapa? ada apa disana? banyak cowok genit? orang gila? buaya darat? tapi kalo ada lo, gue pasti betah kok."
Revan menarik napas panjang, gadis di sampingnya ini tidak akan pernah berhenti sebelum mendapat apa yang ia inginkan, tapi bukan Revan namanya jika menyetujui begitu saja. Dalam diam ia terus mengemudi, menghiraukan Tania yang meracau membayangkan bagaimana mereka akan menghabiskan waktu seperti sepasang kekasih hari ini.
"Ihh, kok ke arah apart gue?" Tania melipat tangan di depan dada, mencebikkan bibir kesal. Revan yang tadinya tidak protes membuat Tania yakin jika pemuda itu hendak membawanya bersama, namun ternyata dugaan Tania salah.
"Turun!" titah Revan.
Tania menggeleng, masih cemberut. Gadis itu tetap diam di tempat saat Revan turun dan membukakan pintu untuknya. "Gak mau, Van."
Pemuda dengan balutan seragam itu mendengus, hendak menarik tangan Tania namun gadis itu memeluk lengannya erat. "Besok aja, Tan."
Tania mendongak, menatap Revan dengan wajah memelas. "Apa?"
"Ya itu."
"Yang jelas coba bilangnya," pinta Tania. Sebetulnya ia tahu maksud pemuda di hadapannya itu, namun Tania ingin mendengar Revan mengatakan secara rinci.
Revan tersenyum kecil, mengelus lembut puncak kepala Tania hingga gadis cantik itu menegang di tempat. Tania menahan napas begitu Revan mendekatkan wajahnya, hendak berbisik pada gadis itu. "Keluar atau mau gue panggilin satpam buat gendong lo ke dalam apart?"
Jangan pernah berharap pada manusia, apalagi manusia modelan Revan! Sepertinya kalimat itu perlu Tania tanamkan dalam-dalam di bedaknya. Berharap pada Revan sama saja dengan mengharapkan bongkahan batu menjadi pasir, butuh waktu lama dan sulit.
***
Tania dengan kesal berdiri di tengah lapangan sambil memberi hormat pada sang saka merah putih, matahari yang terik membuat keringat bercucuran di dahinya. Ia mendengus, jika saja Bu Desi tidak mengawasinya sedari tadi mungkin gadis itu sudah melarikan diri.
"BU, UDAH DONG! PANAS INI," teriak Tania. Ia terengah sembari menurunkan tangan yang terasa kebas, gadis itu juga belum sarapan sehingga membuat energinya terkuras habis.
Bu Desi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya, lalu kembali menoleh pada wajah lelah Tania. Hari ini benar-benar lebih terik dibanding biasanya, dan Tania sudah lebih dari 15 menit di siram sinar matahari. Wajah gadis itu benar-benar merah, rambutnya juga lepek. "SANA! ISTIRAHAT 5 MENIT, LALU KEMBALI KE KELAS!"
Tania menghembuskan napas lega, untunglah Bu Desi berbaik hati menyudahi hukumannya. Ia benar-benar sudah tidak kuat jika lebih lama berdiri di sana, dengan lesu menyeret kaki ke kantin.
"Air mineral dong, yang dingin." Tania mendaratkan kepalanya di atas meja kantin, bahkan suaranya sama sekali tak didengar penjual-penjual disana. Hari ini benar-benar sial untuknya, Tania merutuki Revan yang tak menjemputnya atau sekedar minta maaf karena kejadian kemarin.
Dehaman seseorang membuat Tania mendongak, ia menaikkan sebelah alis memandang orang di depannya. Pemuda dengan kulit sedikit gelap dengan senyum manis dan gigi putih, cukup tinggi tapi masih lebih tinggi Revan. Rambutnya sedikit ikal dengan mata bulat dan alis tebal. Siapa nih? Ganteng sih, tapi gantengan Revan.
"Nih, haus kan pasti." Pemuda itu menyodorkan sebotol air mineral dingin, meletakkannya di depan Tania sembari tersenyum manis.
Tania menaikkan sebelah alisnya, diam-diam tersenyum miring menyadari jika pemuda itu pastilah berniat mendekatinya. "Thanks. Lo siapa?"
"Jordi," ucap pemuda itu sembari menyodorkan tangan. Tania hanya tersenyum, tak berniat menyambut. Lagipula telapak tangannya ikut basah karena keringat, sangat tidak nyaman untuk bersentuhan dengan kulit orang lain.
Jordi tersenyum kikuk, beralih mendaratkan bokong di kursi panjang samping Tania. Keduanya terdiam cukup lama, dengan Tania yang meneguk air mineral dan Jordi yang hanya menatap gadis itu tanpa kedip.
"Gue emang cantik, tapi lo gak perlu liat gue segitunya," ujar Tania setelah menegak habis minumannya. Jordi yang diciduk seperti itu sama sekali tak terkejut, ia justru tertawa mendengar perkataan Tania barusan.
Pemuda itu menopang dagu, kali ini dengan sangat berani menatap Tania lebih dalam. "Iya lo cantik, cantik banget malah. Mirip pacar gue di masa depan."
Tania berdecih, gombalan seperti itu sama sekali tidak membuatnya baper, yang ada dirinya ingin muntah sekarang. Ia berdecak dalam hati, gombalannya kampungan banget, gue sampe bosen karena sering denger yang beginian.
"Gue harus balik ke kelas, thanks minumannya," ucap Tania sembari mengedipkan sebelah mata genit, kemudian berlalu meninggalkan Jordi yang salah tingkah mendapat serangan tiba-tiba tersebut. Tania tersenyum miring, laki-laki seperti Jordi sangat mudah ditaklukkan olehnya. Sayangnya, kini fokus gadis itu sudah tertuju sepenuhnya pada Revan, ia tidak punya waktu untuk bermain-main lebih jauh dengan pemuda sejenis Jordi.
Tania memasuki kelasnya tanpa permisi, sang guru yang mengajar di depan hanya menggelengkan kepala tak habis pikir. Namun ia memilih tak peduli, toh gadis itu juga tak akan mendengarkan setiap ocehannya. Tania mendudukkan diri, bukan di bangku miliknya melainkan di samping Revan.
"Jahat banget, gue gak di jemput." Tania menatap Revan kesal sembari melipat kedua tangan di depan dada dengan bibir yang maju beberapa senti.
"Bukan kewajiban gue," balas Revan acuh, matanya fokus ke depan memperhatikan Bu Riri – Guru Bahasa Inggris yang kini tengah mengajar.
Tania tersenyum kecut, memutuskan untuk merebahkan kepala di atas meja. "Lo serius gak sih pas bilang mau ngasih gue kesempatan? ucapan sama tindakan lo gak konsisten, Van."
Kali ini Revan menoleh, menatap tepat pada mata Tania. Ia mengangkat sebelah tangan, mengelus kepala gadis itu dengan lembut. "Jadi gue harus gimana? menurut lo dengan gue ngasih kesempatan, gue harus jemput lo tiap saat?"
Tania menggigit bibir, sedikit merona karena perlakuan Revan yang tiba-tiba manis. "Iya. Gue mau dijemput, mau disayang, mau diperhatiin, kita ngedate dan lakuin hal-hal selayaknya orang pdkt atau pacaran."
"Harus?" Revan menaikkan sebelah alisnya, jelas ia malas melakukan semua hal yang dikatakan Tania. Pemuda itu tak ingin membuang waktu berharganya dengan hal-hal seperti itu, hal ini pula yang menyebabkan ia tidak pernah berkencan atau berpacaran sebelumnya.
"Harus pake banget! kalo gak, gue sama cowok lain aja." Tania mengangkat kepalanya, kemudian kembali bersedekap dada. Gadis itu menunjukkan wajah merajuk, berharap Revan akan mengiyakan permintaannya tadi.
"Ya udah, sana!" balas Revan acuh yang membuat kekesalan Tania kembali naik ke permukaan.
"VAN!"
"TANIA! APA-APAAN KAMU, KALAU MAU BERISIK SILAHKAN KELUAR! JANGAN GANGGU REVAN!" teriak Bu Riri yang semakin menyulut kekesalan Tania. Ia berdiri, menatap Revan tajam sebelum melangkah keluar kelas. Sial sekali ia hari ini! Sementara Revan diam-diam tersenyum karena tingkah Tania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inesperado (End)
Teen Fiction{Sequel Keyra's Style} {BELUM DI REVISI} Revan kira kehidupan SMA nya akan tenang dan damai seperti yang sudah-sudah, namun siapa sangka Tania memutarbalikkan semuanya begitu saja. Pemuda kaku dan pendiam itu terpaksa berurusan dengan Tania si tukan...