17. Kesempatan?

119 45 25
                                    

Segerombolan orang itu duduk mengelilingi sebuah makam, menabur bunga lalu berdoa. Nisan bertuliskan Raka Gery Abraham, sosok yang sampai kini cerita hidupnya masih Revan kagumi. Sang penyelamat Ibundanya, lelaki yang rela meregang nyawa demi seseorang yang dia cinta. Sejak kecil ia selalu bertekad ingin menjadi seperti Raka, tangguh dan tulus. Walau hanya mendengar cerita tentang lelaki itu dari Keyra, Revan belajar tentang arti kata cinta yang sebenarnya. Bahwa cinta yang tulus bukan tentang kepemilikan, itu tentang perjuangan membuat seseorang yang dicintai bahagia walau tanpa kita di hidupnya.

"Raka, lihat ... mereka sudah dewasa, sudah sama seperti terakhir kali kita bersama." Keyra meneteskan air mata sembari tersenyum. Sudah belasan tahun sejak kepergian sosok yang kini menjadi satu dengan bumi itu, namun namanya masih terus mengisi sisi lain hati Keyra.

"Kamu selalu menjadi sosok yang luar biasa di keluarga ini, Raka. Anak-anakku bahkan lebih mengagumi dirimu ketimbang Ayahnya sendiri," ucap Reihan dengan kekehan pelan.

Setelah beberapa saat menceritakan banyak hal, mereka semua berlalu dari tempat itu. Menyisakan kesunyian tanpa ujung. Revan tak ikut pulang, kali ini memilih untuk pergi menyendiri sebentar.

Mobil hitam itu berhenti di depan sebuah gedung tua bertingkat, tampak sangat usang tapi masih berdiri dengan kokoh, mungkin karena terbuat dari beton. Ia memasuki gedung tua itu, menaiki tangga menuju lantai 5.

Dua hal yang paling Revan suka di dunia, Rooftop dan Senja.

Ia duduk di pinggiran tempat itu, menikmati warna jingga yang perlahan membentang di antara kelabunya angkasa. Mengeluarkan ponsel dan headset dari saku celana, Revan perlahan menenggelamkan diri dalam alunan piano yang disetelnya.

Disela-sela kegiatannya, sosok Tania tiba-tiba melintas dipikiran Revan. Ia menggeleng pelan, tak mau terpengaruh dengan segala hal tentang gadis itu. Tak bisa ia tampik, keberadaan Tania di sekitarnya perlahan merubah warna baru di hidup Revan. Tingkah absurd dan kecerewetan Tania sepertinya membuat Revan mulai terbiasa. Haruskah ia membuka hati seperti yang Adiknya inginkan? Apakah Tania orang yang tepat? Revan bimbang, tak tahu tentang perasaannya sendiri.

Sementara di tempat lain, Tania tengah menekuk wajah melihat kedua gadis yang kini mengobrak-abrik lemarinya. Segala macam barang seperti pakaian, tas dan sepatu tergeletak tak berdaya di sembarang arah. "Lo berdua kalo mau ambil barang gue, ya ambil aja. Tapi gak udah diberantakin gitu kali! Siapa yang mau beresin?"

"Yaellah, Tan. Biasanya lo juga manggil orang buat beresin semua kekacauan di apartemen ini," ujar Indri tanpa menoleh, masih sibuk mencari barang branded yang sekiranya bagus dan bernilai tinggi.

"Ngelunjak ya, jadi pengen gue tabok deh," kata Tania dengan nada gemas, namun wajahnya terlihat begitu berapi-api. Ia lalu merebahkan tubuh ke atas kasur, mengotak-atik ponsel sekadar mengirim sebuah pesan melalu WhatsApp kepada sebuah kontak teratas yang ia sematkan.

Calon Imam Tania :

Van, tolongin! Lemari gue dirampok sama dua ekor monyet.

Send ....

Setelah mengirim pesan tersebut, Tania terkikik layaknya orang gila. Gadis itu berguling tak keruan sambil tersenyum lebar, Indri dan Sasha yang melihat tingkah Tania bergidik ngeri, mereka yakin jika sahabatnya itu sudah semakin gila sekarang.

Tania kembali mengetik seuntaian kata tak berguna lalu mengirimnya pada Revan. Walau berakhir tanpa balasan, tapi Tania tetap suka melakukannya.

Calon Imam Tania

Ini semua gara-gara lo. Karna lo gak mau jadi pacar gue, mereka jadi ambil barang-barang gue deh. Fyi : monyetnya tuh Indri dan Sasha.

Maaf yah, lo gue jadiin bahan taruhan. Tapi cintaku padamu gak ada taruhannya kok, wkwkwk.

Tania tertawa puas setelah mengirim pesan tersebut, lalu memutuskan untuk memperhatikan kedua sahabatnya saja. Ia khawatir lemari dan barang-barangnya akan rusak karena ulah mereka berdua.

***

Hari ini Tania datang teramat pagi hingga membuat semua orang menatap bingung sekaligus tak percaya kepada gadis yang selalu langganan terlambat itu. Ia sudah duduk manis di bangku samping tempat Revan biasanya duduk. Tania merindukan pemuda itu, kemarin ia tak mendekati dan mengganggu Revan karena kesal.

"Widdih ... abis dapat hidayah, Tan?" Indri yang baru saja masuk ke kelas tersebut terkejut mendapati Tania yang sudah terlebih dahulu datang, biasanya ia harus Indri gertak terlebih dahulu agar masuk sekolah tepat waktu. Gadis dengan mata bulat itu terkekeh melihat keniatan sahabatnya dalam mendapatkan hati Revan.

"Udah kali, Tan. Lo kayak gak ada kerjaan aja." Sasha yang berdiri di belakang Indri menatap jengah Tania.

"No way! Sebelum gue dapetin dia, gue gak akan berhenti!" Usai mengatakan hal itu, Revan yang menjadi topik utama perbincangan tiba-tiba masuk. Ia mengerutkan dahi begitu melihat semua orang menoleh ke arahnya.

"Hai Aa Revan," sapa Tania sembari melambaikan tangan dengan anggun. Ia lalu menepuk-nepuk bangku di sebelahnya sebagai tanda agar Revan segera duduk di sana. Pemuda jangkung itu mendengus namun tak urung menyeret langkah menghampiri Tania, bagaimanapun itu adalah bangkunya sedari awal.

"Ihh ... gue kangen sama lo," pekik Tania dengan tangan terentang, berusaha memeluk Revan yang baru saja mendaratkan bokongnya. Revan tak membiarkan hal itu terjadi, dengan cepat ia menahan kepala Tania dan mendorong pelan gadis itu.

Seperti biasa, Tania hanya bisa menekuk wajah sambil mengumpat dalam hati. Tiada hari tanpa emosi ketika bersama dengan pemuda di sisi kanannya ini. "Lo gak kangen gitu sama gue? Kita udah tiga hari gak deket kayak gini loh, Van."

"Gak," balas Revan singkat. Ia mengeluarkan beberapa buku, peralatan menulis, serta ponsel dan earphone dari dalam tas.

Tania berdecih, ia sangat yakin jika Revan sebenarnya hanya gengsi. Gadis dengan rambut tergerai panjang itu merebahkan kepalanya ke atas meja dengan kedua tangan sebagai bantalan, ia menatap lembut ke arah pemuda yang kini hendak menyumpalkan earphone di telinga. "Kali ini gue gak main-main, Van. I wanna be your girl, gue bakal berubah kalo lu mau."

Revan balas menatap Tania, sedikit terkejut mendengar pengakuan tiba-tiba gadis itu. "Buktiin!"

"Apanya?"

Revan mendelik, mempertanyakan dalam hati mengapa gadis di sebelahnya itu tiba-tiba berubah lemot. "Berubah lebih baik."

Tania tersenyum senang, "artinya lo ngasih gue kesempatan?"

Revan berdeham mengiyakan, membuat Tania hampir saja memekik dan melompat kegirangan, untung saja masih bisa ia tahan. "Itu artinya kita pacaran seka--"

"Gak." Revan dengan cepat menyela, sudah tahu kemana arah jalan pikiran Tania.

"Tadi katanya mau ngasih gue kesempatan," decak Tania.

"Gak harus pacaran," ujar Revan, ia ikut membaringkan kepala ke atas meja. Ditatapnya Tania dengan mata tajam namun teduh itu, membuat Tania merasa waktu seakan berjalan lambat. Ada rasa hangat yang tak bisa Tania jelaskan setiap kali mata tajam itu bertemu dengan retinanya.

"Maksudnya? Lo mau ngefriendzone-in gue gitu? Van, masa iya gu—"

"Berisik." Revan memotong ucapan Tania sembari menyentil dahi gadis itu pelan. Meraih sebelah earphone yang tergantung di udara, Revan menyumpalkan benda kecil tersebut di telinga Tania. Gadis petakilan itu berusaha menahan senyum dengan menggigit bibir bawahnya, tiba-tiba pipinya terasa begitu panas. Sial, ini kali pertama gue blushing gara-gara cowok.

Ia menutup matanya sambil terus menahan senyuman. Walau Revan hanya berbagi earphone dengannya tapi Tania sudah terbawa perasaan hingga rasanya ingin mencak-mencak di tempat. Ini berasa udah pacaran beneran, batin Tania teramat senang.

_to be continue_

lapak ku ini sepi banget, serius dah

tapi gapapa, aku akan tetap update walau gak ada yg baca wkwk

semoga nanti pas partnya udah makin banyak, banyak juga yang tertarik ya

bantu doa guys

see u 

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang