24. Unespected

125 23 1
                                    

Tania berbaring di sofa panjang rooftop, kakinya ia goyang-goyangkan. Gadis itu melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, sudah jam istirahat. Ia bosan menunggu di sini, tapi terlalu malas untuk pergi ke kantin. Suara langkah kaki membuat Tania tersenyum, namun sama sekali tak merubah posisinya.

"Hai, Tan. Kebetulan banget ya." Senyum Tania yang tadi mengembang seketika luntur digantikan wajah jutek begitu melihat pemuda di depannya ini.

Tania bangkit, terlalu rawan berbaring di depan pemuda spesies buaya macam Bara. Gadis itu beralih ke pinggir sofa, menyilangkan kaki ketika Bara ikut mendaratkan bokong di sana. "Mau apa lo?"

Pemuda itu mengedikkan bahu tanda tak tahu, kemudian tersenyum aneh. "Mau lo, mungkin."

"Lo gak kapok gue tolak di depan umum?" decih Tania tak suka.

"Sayangnya belum," ujar Bara sembari terkekeh. Ia tiba-tiba mendekat, mengikis jarak keduanya. Diraihnya dagu Tania, memaksa gadis itu menatap ke arahnya. "Gue juga bisa nekat, gak cuma lo!"

Tania menatap nyalang sosok menyebalkan di depannya, ia sama sekali tak takut. Bara tersenyum miring lalu mendekatkan wajah hendak mencium Tania namun gagal karena tamparan keras yang gadis itu layangkan. "Cowok brengsek kayak lo, jangan harap bisa deketin apalagi pacaran sama gue!"

Bara mengusap ujung bibirnya yang sedikit mengeluarkan darah karena tamparan Tania, tenaga gadis itu memang tak terduga kuatnya. Ia lalu mencengkram pipi Tania, dengan pelan namun penuh penekanan berkata "semakin lo nolak gue, semakin gue pengen dapetin kemudian hancurin lo!"

"Lepasin!" Keduanya mengalihkan pandangan pada sosok yang baru saja mengeluarkan suara. Bara berdecih, melepaskan cengkramannya pada Tania. Gadis itu segera berlari menghampiri Revan, memegang lengan pemuda itu sambil berlindung di tubuh tegapnya.

"Van, dia gangguin gue. Pipi gue sakit," adu Tania sembari merengek layaknya anak kecil, padahal sebelum kedatangan Revan ia dengan wajah menantang menghadapi Bara. Memang benar kata orang, perempuan akan berpura-pura lemah ketika bersama laki-laki yang ia inginkan. Perempuan selalu punya rasa ingin dilindungi oleh laki-laki yang ia cintai.

"Gue gak mau nyari ribut, jadi sebaiknya lo pergi dan gak usah ganggu Tania lagi," ujar Revan dengan mata yang menatap Bara tajam.

Bara terkekeh, berjalan ke hadapan Revan. "Sayangnya gue suka nyari ribut, apalagi kalo sama lo. Gue heran, kenapa lo mau sama cewek yang udah bekasan banyak orang? katanya lo pinter, tapi kok bodoh milih cewek. Ehh ... tapi kan, Tania yang ngejar-ngejar lo."

Revan menghela napas panjang, berusaha untuk tidak terbawa emosi. Ia tak ingin membuat masalah, Revan paling anti dengan hal itu. "Cewek gue, urusan gue. Lo gak bisa dapetin dia, jadi berusaha jelek-jelekin dia? Terus kenapa kalo dia yang ngejar gue duluan? Dia pacar gue sekarang, dan jangan pernah lo ganggu dia!"

Tania melongo dengan apa yang baru saja Revan ucapkan, mata gadis itu berkedip berulang kali berusaha memastikan jika dirinya tak salah mendengar. Tangannya ditarik dengan tiba-tiba membuat gadis itu tersadar dari lamunan, ia menoleh ke belakang dan menjulurkan lidah sebelum kakinya semakin jauh melangkah meninggalkan Bara. Bisa Tania lihat pemuda yang kemarin ia tolak itu kini tengah berdecak lalu mengumpat.

"Jadi? gue pacar lo nih? udah diakui?" Tania menatap pemuda yang kini tengah menggenggam tangannya itu dengan alis turun naik tanda menggoda, ia tersenyum merekah mengingat perkataan Revan pada Bara barusan. "Tapi kan lo belum nembak gue?"

Revan menghentikan langkah, beralih menatap Tania. Ia melepaskan genggaman keduanya, lantas mendekat ke arah gadis itu hingga membuat Tania mundur dan terpojok di dinding. Pemuda itu sedikit menunduk menyamakan diri dengan sosok di depannya, ia tersenyum tipis sambil menaikkan sebelah alis. "Jadi mau di tembak?"

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang