9. Bukan gangguan biasa

164 54 92
                                    

Tania berjalan dengan langkah angkuh menuju kelasnya, dua sahabatnya berada di belakang mengikuti layaknya dayang. Para siswa menatap Tania memuja, sedangkan para siswi nya menatap gadis itu sinis.

Terlalu sulit memang menjadi idaman semua pemuda, hingga membuat gadis-gadis itu iri, ya begitulah pikir Tania.

Ngomong-ngomong soal pemuda, mungkin sudah lebih dari seratus orang pemuda yang telah ia patahkan hatinya. Bukan apa-apa, Tania tak pernah sungguh-sungguh dengan mereka. Rekor terlama Tania berpacaran hanyalah dua minggu, dan tentu saja semua itu tanpa cinta.

Tania belum pernah jatuh cinta, tapi sekarang Revan telah berhasil menarik perhatiannya. Yah, bisa dibilang Tania mulai menyukainya. Ingat loh, ini baru menyukai bukan mencintai. Definisi suka dan cinta itu beda bung, itu menurut pemahaman Tania.

Tapi ingatkan lagi kepada Tania, bahwa membuat Revan memutar balik adalah hal yang sulit. Cukup besar tenaga yang Tania kuras untuk membuat pemuda itu sekadar meliriknya. Bukan Tania namanya jika menyerah begitu saja. Ia akan terus mendekati Revan hingga pemuda itu yang bertekuk lutut di hadapannya.

Dan lihatlah sekarang, Tania dengan anggun berjalan ke arah bangku dimana Revan duduk. Meninggalkan teman-temannya yang menggeleng tak habis pikir dengan gadis itu.

"Hai, calon imam," sapa Tania lalu duduk di bangku samping Revan. Pemuda itu tampak diam saja, bahkan matanya masih terfokus pada ponsel.

"Sebagai calon makmum yang baik, jadi gue duduk bareng lo ya." Itu bukan pertanyaan atau meminta perizinan tapi sebuah pernyataan yang tak menerima penolakan.

"Gak," tolak Revan tanpa melirik sedikitpun.

"Bodo amat, gue bakal tetep duduk disini," balas Tania. Revan mendengus, menatap gadis disampingnya dengan tatapan tajam. Harus berapa kali ia memperingatkan Tania menjauh, Revan sangat muak dengan semua hal menyangkut gadis itu.

"Mau lo apasih?"

"Diakuin pacar sama lo," jawab Tania sambil mengedip-ngedipkan matanya. Ingin sekali rasanya Revan memukul kepala Tania dengan kaki meja, agar gadis itu segera sadar dengan semua tindakan tak tahu malunya itu.

Revan menatap Tania malas, lalu dengan datar membalas, "Mimpi."

"Makanya, lo bantuin biar jadi kenyataan," sahut Tania. Revan tak habis pikir dengan gadis itu. Sepertinya kewarasan Tania memang hanya tersisa sepuluh persen saja.

"Lo ganggu ketenangan gue," ungkap Revan.

Tania tersenyum, lalu menopang dagu menatap Revan. "Sini gue tunjukkin, seberapa mengganggunya gue. Gue gak bakal ganggu hidup lo doang. Gue juga bakal ganggu pikiran dan hati lo."

"Cari orang lain, jangan gue!" ujar Revan datar, lalu bangkit dan berjalan meninggalkan kelas.

Tania hanya tersenyum, menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi dan melipat kedua tangan. Terkadang mengganggu Revan adalah sesuatu yang sangat menyenangkan. Ya walau sebagian besar menjengkelkan, tapi Tania suka melakukan hal itu.

Ini adalah pengalaman pertamanya, dimana ia harus rela menurunkan harga diri untuk membuat Revan jatuh cinta. Dan sekaligus menjadi pengalaman pertama, di mana Tania ditolak mentah-mentah oleh seorang pemuda.

Tania merasa Revan berbeda. Ia tau jika pemuda itu tak sedingin dan sekasar yang ia lihat. Terbukti dari bagaimana Revan memperlakukan Adiknya. Ya, beberapa kali Tania melihat bagaimana Revan begitu perhatian kepada Larisa. Entah itu ketika Larisa melupakan barangnya dan dengan sabar Revan mengantarkannya ke kelas gadis itu, atau disaat Revan menunggu Larisa keluar kelas di parkiran. Dan jangan lupakan bagaimana dulu mereka bertemu saat di minimarket, Tania cukup yakin jika pembalut yang Revan beli waktu itu adalah untuk Larisa. Tania bisa melihat kasih sayang yang besar dari sorot mata Revan saat menatap gadis cantik yang terkenal humoris itu, dan Tania menyukai hal itu.

Jika Revan bisa bersikap demikian kepada Adiknya, tentu saja gadis yang menjadi pacar Revan nanti akan mendapat perlakuan yang sama, begitulah pikir Tania. Tapi tentunya gadis itu harus mendapat cinta Revan terlebih dahulu, Tania tengah mengusahakan itu sekarang.

***

Pada akhirnya, Tania harus kembali ke tempat duduk asalnya. Bukan karena paksaan atau penolakan Revan, tapi karena Guru Kimia mereka yang mengancam. Wanita paruh baya bernama Bu Eti itu bilang, jika Tania tak ingin pindah dan tetap mengganggu Revan, ia akan dipindahkan ke kelas lain. Tentu saja Tania tak mau itu terjadi, jadilah ia terpaksa kembali ke tempat duduknya.

Memang susah mendekati Revan di depan para Guru. Revan itu murid pintar yang menjadi kesayangan Guru, sedangkan Tania murid yang sangat teladan—teladan dalam hal bolos dan membuat keributan tentunya. Para Guru itu tentu saja tak mau jika nanti Revan terpengaruhi oleh sikap buruk Tania.

Tania yang sedari tadi bersungut-sungut akhirnya tersenyum lebar ketika mendengar bel istirahat berbunyi. Dengan semangat ia berdiri.

"Tania, kenapa kamu berdiri?" tanya Bu Eti.

"Ibu Eti Kusdandang yang terhormat. Ini udah waktunya istirahat, jadi saya siap-siap buat keluar kelas," balas Tania sambil mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Kamu panggil saya apa? Kamu baru boleh keluar ketika saya sudah keluar duluan," ucap Bu Eti dengan sorot mata tajam.

"Ya udah, kalo gitu ibu cepet-cepet keluar dong. Kan saya mau pacaran sama Aa' Revan." Diakhir kalimat, Tania menoleh dan mengedipkan sebelah matanya pada Revan.

"Tania, Tania ... Bangun kamu, ini sudah siang. Mana mau Revan sama kamu," kekeh Bu Eti membuat Tania kesal.

Sepertinya di dunia ini memang tak ada seorangpun yang mendukungnya untuk mendekati atau berpacaran dengan Revan.

'Huh, liat aja. Kalo gue udah dianggap pacar sama Revan, mulut kalian bakal ternganga sampe gak bisa tertutup lagi,' batin Tania kesal.

"Baiklah anak-anak, silahkan beristirahat. Dan Tania ...." Bu Eti menunjuk Tania. "Jangan halu," sambungnya geli. Tania semakin kesal karena Guru itu, hingga ia terus mengumpat dengan mengabsen beberapa jenis hewan.

"Sabar, Tan." Sasha menoleh ke belakang, menatap kasihan sahabatnya itu. "Tapi yang dibilang Bu Eti bener sih," sambungnya kemudian sembari nyengir kuda.

Dengan kesal Tania menjitak kepala sahabatnya itu. "Jahat lo semua, gak ada yang support gue."

"Realistis aja lah, Tan. Lo gak bisa naklukin Revan," sahut Indri.

"Bener tuh. Lo nyerah aja lah, terus biarin kita ambil barang-barang branded lu," timpal Sasha.

"Enak aja, gak akan!"

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang