46. Sebuah kebenaran

145 18 2
                                    

Gadis itu perlahan membuka mata, ia menyipit menyesuaikan cahaya terang yang menusuk retina. Tania mengernyit, melihat sekeliling yang tampak asing. Tangan serta kakinya terikat pada satu kursi, ruangan ini begitu kosong, sunyi, luas dan hanya menyisakan dirinya di tengah. Tania tak dapat mengingat apa yang terjadi hingga ia bisa sampai ke tempat seperti ini.

Baru saja gadis itu akan berteriak meminta pertolongan, sebuah pintu di pojok ruangan itu perlahan terbuka. Tania membulatkan mata begitu melihat dua sosok pemuda yang begitu ia kenali muncul.

“Wah, udah bangun ternyata.”

“Lepasin gue, maksud kalian apa nyekap gue gini hah?” teriak Tania pada kedua pemuda itu.

Pemuda itu nampak tertawa remeh, ia menunduk mensejajarkan wajah dengan Tania lalu mencengkram pipi gadis itu. “Kayaknya lo tahu tujuan gue tanpa perlu gue jelasin.”

Tania mengalihkan pandangan, membuat pemuda itu melepaskan tangannya. Ia beralih menatap pemuda lain yang sedari tadi diam dengan tatapan yang sulit untuk Tania baca. “Jordi, kenapa lo ikut – ikutan Bara ngelakuin ini ke gue? Kenapa lo bantu dia? Gue punya salah sama lo?”

Bara kembali tertawa, entah apa yang menurut pemuda itu lucu. Ia menggeleng – gelengkan kepala. “Asal lo tau, ini semua rencana Jordi. Berhubung gue juga dendam karena dipermaluin waktu itu, jadi gue dengan senang hati bantuin dia.”

Tania membolakan mata karena terkejut, sementara Jordi tersenyum miring. Ia mendekati gadis itu, berjongkok di depan Tania. “Kayaknya kita perlu kenalan lagi, Tania Algandra. Nama gue Jordi Algandra, anak kandung Tio Algandra. Orang yang udah lo dan Mama lo hancurin hidupnya.”

“Gak, gak mungkin,” ujar Tania sembari menggelengkan kepala menolak percaya. Ia memang mengetahui jika Tio memiliki istri dan anak lain, namun Tania tak pernah menyangka jika itu adalah Jordi. Jadi ini tujuan pemuda itu mendekat? bukan untuk berteman melainkan membalas dendam. Tapi apa salah Tania? Apa maksud Jordi? Tania tak pernah merasa menghancurkan hidup Jordi dan keluarganya, justru hidup gadis itu lah yang hancur karena Tio yang berselingkuh.

“Apanya yang gak mungkin? Jelas – jelas Mama lo yang udah ngerebut Ayah dan ngehancurin keluarga gue yang awalnya bahagia.”

Tania menggeleng, tidak! bukan seperti itu yang ia tahu. Tiara juga bukan perebut suami orang, Mamanya adalah wanita bermoral dan elegan yang tidak mungkin melakukan hal demikian. “Enggak! Justru kalian yang udah hancurin keluarga gue, kalian yang udah bikin Papa jadi jahat.”

Jordi tertawa remeh, namun mata pemuda itu kini memancarkan kepedihan yang tersirat. Seperti ada kenangan pahit yang beranjak naik ke permukaan, memenuhi pikiran dan membuat dadanya sesak. “Gue tiga tahun lebih tua dari lo. Jadi menurut lo, anak yang lebih dulu lahir ini adalah anak dari perselingkuhan? gue bukan anak di luar nikah!”

“Mama lo yang udah ngerusak semuanya. Ayah jalin hubungan dan nikahin nyokap lo tanpa sepengetahuan kita. Pada akhirnya dia tetap milih kalian, karena nyokap lo kaya,” ujar Jordi sembari tertawa getir, sebelum akhirnya ia menyambung kalimat. “Kita dicampakkan gitu aja. Ibu yang fisiknya lemah terpaksa kerja buat ngidupin dua anaknya."

Tania terdiam mendengar cerita Jordi, setetes air mata jatuh di pipinya mengetahui fakta ini. Karena selama ini yang ia tahu adalah Tio berselingkuh dari Tiara, bukan Tiara yang menjadi selingkuhan. “Gue gak tau apa – apa soal ini.”

“Karna lo gak tau, jadi sekarang biarin gue kasih tau semuanya,” ujar Jordi. Ia bangkit dari posisinya yang berjongkok, kemudian berjalan ke sudut ruangan. Pemuda itu menarik sebuah kursi dan membawanya ke depan Tania, duduk berhadapan dengan gadis yang ternyata adalah adiknya itu.

“Awalnya keluarga gue bahagia dan harmonis, walau kami bukan orang berada. Tapi semakin lama, Ayah jadi jarang pulang ke rumah. Sampai akhirnya dia ketahuan selingkuh dan punya anak, lo tau kan siapa? iya, itu lo dan mama lo – Tiara,” ungkap Jordi. Sebetulnya kenangan pahit ini tidak mau ia buka kembali, sebab bekas lukanya belum kering sempurna meski sudah bertahun – tahun. Namun Tania harus tahu semuanya, bahwa gadis itu adalah penyebab dari segala duka Jordi.

“Bukannya minta maaf dan berubah, Ayah justru marah sampai mukul kita. Dia buang kita gitu aja dan lebih milih kalian. Ternyata uang memang segalanya,” ujar Jordi sembari terkekeh.

“Setelah pisah sama Ayah, Ibu yang awalnya cuma IRT harus berjuang nyari nafkah. Fisik Ibu yang lemah, bikin dia terhambat setiap kerja. Hidup kita makin ancur karena kondisi ekonomi, buat makan aja susah. Gue terpaksa putus sekolah dan kerja biar kita bisa tetap makan dan adik gue tetap sekolah. Nyokap juga jadi suka sakit – sakitan dan akhirnya meninggal.” Tania hanya bisa kembali diam mendengar semua cerita Jordi, menyadari jika di sini keluarga pemuda itu lah yang lebih menderita. Ia tergugu di tempat, tak pernah menyangka dengan semuanya.

“Maaf, gue gak tau. Gue juga yakin kalau Mama gak akan mau nikah sama Papa seandainya dia tau kalau Papa udah punya keluarga lain,” ujar Tania.

“Sayangnya semua itu gak akan bisa merubah apapun. Untungnya waktu itu ada keluarga baik yang mau ngangkat gue dan adik gue sebagai anak mereka, kalau gak ... mungkin sekarang gue tetap luntang – lantung kerja sana – sini dan gak bisa ngerasain masa SMA.”

“Gue minta maaf, Jor. Tapi ini semua diluar kemauan kita, ini gak ada sangkut pautnya sama kita. Lepasin gue, kita bisa berdamai dan mulai semuanya dari awal sebagai saudara,” mohon Tania. Walau Jordi tampak terlihat tenang sekarang ataupun selama menceritakan semuanya tadi, namun Tania bisa merasakan aura tak menyenangkan dari pemuda itu.

“Berdamai? Gak akan! Lo juga harus menderita, Tan. Dan gue bakal hancurin hidup lo, baik itu sekarang atau masa depan.” Jordi berdiri, memundurkan kursi yang tadi ia duduki cukup jauh dari hadapan Tania. Ia memberi kode pada Bara agar pemuda itu bisa memulai aksinya.

Bara tersenyum senang, mengeluarkan sebuah pisau dari balik sakunya. “Tadinya gue mau lakuin pas lo pingsan, tapi kayaknya kurang seru. Gue pengen denger teriakan dan permohonan lo soalnya.”

“Bar, please. Gue minta maaf, jangan kayak gini.” Tania memohon dengan wajah memelas, jejak air mata tercetak jelas di pipinya. Ia menggeleng berulang kali, meronta di atas kursi sembari berusaha melepaskan ikatan di tangan dan kakinya.

“Telat. Lo udah permaluin gue di satu sekolah, bahkan SMA lain juga tau masalah itu. Gak ada maaf buat lo, Tan. Sekarang kita lihat, setelah gue hancurin muka cantik lo ini, apa lo tetap bakalan angkuh dan seenaknya?” tutur Bara. Ia mengelus pipi Tania, dengan perlahan menggoreskan pisau di sana. Pemuda itu tersenyum senang melihat Tania yang meringis kesakitan dan mulai menangis, gadis yang biasanya angkuh itu kini tak punya kekuatan untuk melawan.

“TOLONG,” teriak Tania setiap kali pisau itu menyentuh kulitnya. Bara tertawa, ruangan ini kedap suara sehingga sekencang apapun gadis itu berteriak tak akan terdengar ke luar. Ia menikmati setiap kali menorehkan benda tajam itu ke tubuh Tania.

“Udah!” titah Jordi yang sedari tadi hanya menonton. Tania sedikit lega, walau kini wajah, leher, tangan dan kakinya sudah terluka. Pemuda itu mengeluarkan ponselnya, lalu memposisikan benda pipih itu seperti hendak merekam. “Step kedua,” kekehnya.

Tania mengernyitkan dahi, baru saja hendak menarik napas namun harus kembali was – was. Gadis itu membolakan mata begitu melihat Bara melepas atasannya. “LO MAU NGAPAIN? Please ... gue mohon jangan lakuin itu, gue minta maaf. Lepasin gue, Jordi please. Gue bakal lakuin apa aja, bunuh aja gue sekalian tapi jangan kayak gini.”

“Tujuan gue buat bikin lo menderita, bukan buat bikin lo mati.”

_to be continue_

waduh waduh ... ikutan ketar ketir gak tuh?

maaf ya kalo updatenya jadi lama, ada kesibukan soalnya

see u next week

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang