26. Tentang prioritas

88 16 0
                                    

Revan menoleh kesana-kemari, matanya menelusuri seluruh area tempat dimana Larisa mengirimkan lokasi terakhirnya. Ini di taman belakang sekolah mereka, pemuda itu menyesali dirinya yang lebih memilih pergi bersama Tania tanpa mengantar sang adik pulang terlebih dahulu. "Risa, lo dimana?"

Setelah panggilan itu, terdengar suara seperti sebuah ketukan. Revan segera menghampiri sumber suara yang berada di belakang pohon besar, dan benar Larisa disana. Wajah gadis itu pucat pasi, bibirnya bergetar dengan tangan yang kini menekan dada. Revan segera mengangkat tubuh Larisa, dengan tergesa membawanya menuju mobil. "Bertahan, dek. Gue mohon, tetap buka mata lo!"

"M-maaf. G-gue nyu – sahin," kata Larisa terbata. Revan menggeleng, dia tidak pernah merasa disusahkan karena sejak awal ini merupakan tanggungjawabnya. Larisa itu adiknya, semestanya, perempuan kedua yang paling ia cintai di dunia setelah sang bunda.

***

Revan berbaring di sisi kanan ranjang rumah sakit bersama sang adik di sebelahnya yang kini mendekap erat tubuh pemuda itu. Di saat seperti ini Larisa selalu ingin dipeluk, gadis itu takut tidak akan dapat merasakan kehangatan tubuh Revan suatu saat nanti. Sementara kedua orang tuanya duduk di sofa, menatap kakak – beradik itu dengan sendu.

"Abang udah jadian ya sama kak Tania?" tanya Larisa sembari mendongak menatap wajah Revan. Pemuda itu sedikit terkejut mendengarnya, lalu mengangguk pelan. Ia yakin jika berita perihal hubungannya dengan Tania sudah menyebar ke seluruh penjuru SMA Angkasa.

"Maaf ya, tadi pasti lagi jalan sama kak Tania. Harusnya gue gak nelpon lo, harusnya gue minta tolong ke Ika aja. Gue jadi ganggu aca—"

"Ngomong apa sih, lo lebih penting," potong Revan. Ia tidak suka jika Larisa sudah bersikap seperti ini, gadis itu terlalu memikirkan orang lain ketimbang dirinya sendiri. Revan mempererat dekapannya, satu tangannya mengelus lembut puncak kepala Larisa.

"Jadinya udah pacaran nih sama cewek yang waktu itu ke rumah?" ujar Reihan menggoda, pria itu berusaha mencairkan suasana. Ia tidak ingin suasana suram terus memenuhi ruangan putih ini, yang ingin pria itu lihat saat ini adalah senyum dari anak dan istrinya. Hal seperti ini sudah sering terjadi, Reihan yakin mereka kuat menjalani ini semua – terutama Larisa.

"Lagi nyoba," ujar Revan. Sebetulnya ada sedikit rasa malu dan salah tingkah dalam dirinya, namun pemuda itu berusaha menutupinya. Kali pertama ia digoda dengan urusan perempuan dan percintaan, Revan sedikit aneh dengan perasaan yang membuncah di dadanya.

"Pacaran kok dicoba-coba, mau bikin penelitian lo?"

Revan refleks mengetuk kening Larisa setelah mendengar perkataan gadis itu, sepertinya memang sudah menjadi kebiasaan Revan mengetuk atau menyentil dahi seseorang.

"Bun, liat! sakit tau," adu Larisa. Keyra menggeleng-gelengkan kepala sambil terkekeh pelan melihat kelakuan anak-anaknya.

"Aa Revan, jangan digituin adek nya!" Mendengar itu Revan terkekeh, ia mengangkat telunjuk dan jari tengah sebagai tanpa perdamaian.

"Tadi beneran lagi sama Tania pas kamu jemput Risa? Terus dia kamu tinggal dong?" tanya Keyra mencoba kembali pada topik pembicaraan di awal. Revan hanya mengangguk sebagai jawaban, matanya kini terfokus pada sang adik yang sepertinya mulai mengantuk. Tangan pemuda itu terulur ke pangkal hidung Larisa, membuat gadis itu semakin ingin menutup matanya.

"Samperin gih, temuin dia. Kasian tadi pacarnya ditinggal gitu aja, pasti kamu juga gak jelasin apa-apa kan, Aa?"

Revan menggeleng menanggapi ucapan sang Ibunda, ia sama sekali tak menoleh dan masih fokus pada sang adik yang diyakininya hampir memasuki dunia mimpi. "Udah Revan chat, dia bilang gapapa."

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang