29. Salah paham

133 14 0
                                    

Hari ini tepat satu bulan Tania dan Revan berpacaran, namun rasanya baru kemarin Tania mengejar-ngejar lelaki itu. Tania tersenyum sembari menatap pantulan dirinya di depan cermin, menambahkan sedikit polesan lipstik di bibir. Ia akan menghabiskan waktu di luar bersama Revan malam ini, gadis itu telah siap dengan balutan gaun merah.

"Revan beruntung banget bisa pacaran sama cewek secantik gue, " puji Tania sambil berdecak dan menggelengkan kepala takjub. Sangat narsis, namun tidak dapat dielakkan jika gadis itu memang sangat cantik.

Ia meraih ponsel pintarnya, membuka kolom obrolan dengan sang kekasih. Tania mengerutkan dahi, pesannya sedari sore sama sekali tak dibaca pemuda itu. Ia mengirimkan pesan kembali, mengabarkan bahwa dirinya telah siap. Jam yang tergantung di dinding kamar menunjukkan pukul 19.32, ini sesuai dengan janji temu mereka. Tania merasa sedikit khawatir, tidak biasanya Revan seperti ini. Meski pemuda itu cuek dan membalas pesan seadanya, namun Revan selalu online dan membaca pesannya.

"Dia kemana sih?" gumam Tania, senyumnya yang tadi terpatri kini berubah datar. Gadis bergaun merah itu lantas mendial nomor sang kekasih, namun puluhan kali ia menelpon, puluhan kali pula panggilan tersebut masuk ke kotak keluar.

"Jangan bilang dia lupa, atau ketiduran. Gak mungkin kan? ini hari spesial kita, dia pasti usaha buat dateng," ucap Tania berusaha meyakinkan diri. Ia bingung harus menghubungi siapa untuk mencari tahu keberadaan Revan, pemuda itu tidak punya teman dekat kecuali sang adik, sementara Tania sama sekali tak memiliki kontak Larisa.

Tania kembali mengotak-atik ponselnya, melakukan panggilan video grup bersama kedua sahabatnya. "Guys, Revan gak bisa gue hubungin. Lo pada tau dia kemana?"

"Buset, Tan. Lo gak liat muka bantal gue ini? gue ketiduran dari tadi sore, ini kebangun karna lo nelpon," balas Indri sembari mengucek matanya yang memerah, rambut gadis itu bahkan terlihat seperti singa sekarang.

"Gue juga gak tau, Tan. Lagian kita mana pernah berhubungan sama cowok lo, pas disapa aja cuma ngangguk dengan muka datar. Lo gak coba hubungin Larisa?" imbuh Sasha.

Tania berdecak kesal, tidak ada gunanya memang menghubungi kedua sahabatnya itu. "Masalahnya gue juga gak punya kontak Larisa."

"Kita juga gak ada, Tan. Lagian lo gimana sih? masa nomor calon adik ipar gak punya?" kata Indri, gadis itu kini bersandar di kepala ranjang. Rambutnya sudah tak seberantakan tadi karena ia sisir menggunakan tangan.

"Palingan bentar lagi ke sana, Tan. Selama sebulan ini gue liat-liat lo berdua baik-baik aja walau si Revan masih kayak kanebo kering. Btw, ini rekor terlama lo pacaran sama cowok," ujar Sasha berusaha menenangkan, gadis itu bisa dengan jelas melihat kecemasan di wajah Tania.

"Dia gak biasanya kayak gini, apalagi ini hari spesial kita. Gak usah bahas yang lain deh, mereka cuma gue anggap mainan."

"Jangan jatuh terlalu dalam, Tan. Sekalipun lo ngerasa dia baik dan beda dari yang lain, lo juga harus siapin ruang buat kecewa," ujar Sasha mengingatkan.

"Paling juga pas bosen langsung didepak sama Tania kayak yang udah-udah. Sekarang masih asik aja, ya gak, Tan?" tanya Indri.

Tania menggeleng ragu, ia juga tak yakin dengan hal itu. Ia sepertinya memang telah jatuh sejatuh-jatuhnya pada Revan, Tania tak ingin pemuda itu pergi dari hidupnya. Revan telah mengisi banyak ruang kosong di hati Tania, walau kaku dan menyebalkan namun pemuda itu punya banyak kejutan dan hal menarik yang membuat Tania semakin jatuh pada pesonanya.

Suara bel membuyarkan lamunan gadis itu, ia secara sepihak mematikan telepon. Dengan langkah sedikit terburu-buru menghampiri pintu depan apartemennya, berharap jika Revan lah yang datang.

"Lo?" Tania mengernyitkan dahi, merasa familiar dengan orang di depannya ini namun tak mengingat namanya.

Orang tersebut tersenyum manis, ia melambaikan tangan. "Hai, ternyata lo yang ngisi unit ini. Gue Jordi, baru pindah di unit sebelah. Kita terakhir ketemu di kantin, pas lo kehausan karna di hukum."

"Ahh ... i see. Ada perlu apa?"

"Tadinya gue mau nyapa tetangga sebelah aja, gak taunya itu lo. Btw, ini buat lo."

Tania menaikkan sebelah alis bingung, dengan sedikit ragu menerima sebuah kotak yang Jordi ulurkan. "For what?"

"Sebagai hadiah perkenalan," ujar Jordi sembari terkekeh kecil. Ia kemudian meneliti penampilan Tania, "lo mau kemana? rapi banget?"

"Tadinya mau dinner sama cowok gue, tapi dia ngilang," tutur Tania dengan wajah sedih. Moodnya benar-benar rusak sekarang, harusnya ia bisa bersenang-senang bersama Revan namun pemuda itu entah berada di mana.

"Mau pergi sama gue aja gak? Seengaknya dandanan cantik lo ini gak sia-sia."

***

Pemuda itu menghembuskan napas lega begitu gadis yang terbaring di ranjang itu membuka mata. Larisa - gadis itu drop sedari sore, membuat Revan begitu panik meskipun ini bukan kali pertama terjadi. Keduanya hanya tinggal berdua karena Reihan dan Keyra sedang berada di luar negeri mengurus beberapa proyek, jadilah hanya Revan sendiri yang menemani Larisa di rumah sakit.

"Bang," panggil Larisa begitu menangkap figur sang kakak satu-satunya yang saat itu tengah duduk di kursi sebelah ranjang, suara gadis itu serak.

Revan tersenyum tipis, menatap teduh sang adik. Dielusnya puncak kepala Larisa, menyalurkan rasa kasih kepada sang adik kesayangan. "Iya, abang di sini. Apa yang sakit? butuh sesuatu?"

Larisa menggeleng, ia meraih tangan Revan yang tadi mengelus puncak kepalanya lalu menggenggam erat tangan itu. "Lo dari tadi di sini? Bukannya lo ada janji sama kak Tania?"

Revan terdiam, ia melupakan janji itu karena terlalu fokus pada adiknya. Segera ia rogoh saku celana, mengambil ponsel pintar yang sialnya mati. "Gue lupa. Hp gue mati, hp lo juga ketinggalan di rumah."

"Nah kan, bego sih. Sono susulin," ujar Larisa. Bocah tengil, baru sadar sudah mengatai Revan bego.

"Tapi lo—"

"Gue gapapa, udah biasa juga. Ada dokter sama suster yang bakal jagain gue di sini. Cepet gih, pasti kak Tania udah lumutan nungguin lo," potong Larisa. Ia tak mau karena dirinya sang kakak harus bertengkar apalagi sampai melupakan pacarnya. Ia ingin Revan bahagia bersama perempuan pilihannya, Larisa tak mau pemuda itu terlalu fokus dengan dirinya hingga tak memikirkan kebahagiaannya sendiri. Toh hidup gue aja belum tentu lama, bang Revan harus mulai jauh dari gue biar gak terpuruk pas gue pergi.

"Oke, gue pergi. Kalau ada apa-apa langsung panggil doker atau suster, jangan ngelakuin hal aneh," cerca Revan. Jika soal Larisa, pemuda itu memang kadang berubah cerewet. Revan bangkit setelah mendapat anggukan dan acungan jempol dari Larisa, dengan cepat ia berlari keluar rumah sakit.

Untungnya jalanan malam ini sangat lenggang, Revan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi dari biasanya. Ia berharap Tania tak marah padanya, Revan akan segera menjelaskan semuanya begitu sampai di apartemen gadis itu.

Revan menghentikan laju mobilnya di lampu merah, namun mata tajam pemuda itu justru menangkap sosok seperti Tania yang baru saja lewat dari arah berlawan dengan mobil BMW putih bersama seorang pemuda yang tak ia ketahui namanya.

"Apa gue salah liat?" monolog Revan, namun ia yakin jika itu adalah Tania. Revan kembali melajukan mobilnya, lalu memutar balik guna mencari tahu apakah yang baru saja dilihatnya itu benar Tania.

Mobil yang membawa Tania itu berhenti di sebuah restoran, Revan memperhatikan dari sisi jalan. Pemuda yang duduk di kursi kemudi itu keluar, lantas mengelilingi mobil dan membukakan Tania pintu. Ya, gadis itu benar Tania, Revan tak salah lihat. Tapi dengan siapa dia pergi? Apa Tania main di belakangnya? itu lah yang ada di pikiran Revan saat ini.

Tania tampak senang, ia meraih uluran tangan pemuda yang tak Revan ketahui namanya itu. Keduanya berjalan bergandengan memasuki restoran tersebut.

"Bukannya dari awal memang dia sering mainin perasaan cowok? kenapa gue harus percaya dan ngasih dia kesempatan? Bodoh banget lo, Van. Kenapa cewek kayak dia yang lo pilih?" 

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang