15. Apartemen Tania

153 55 95
                                    

Mobil yang Revan kendarai berhenti di depan sebuah gedung bertingkat tempat Tania tinggal. Namun setelah beberapa menit berhenti, tak ada satupun dari mereka yang beranjak keluar.

"Turun," ucap Revan tanpa melirik Tania.

"Astaga, Van. Lo gak liat kaki gue lagi kayak gini, gue mana bisa jalan ke apart," ujar Tania.

Revan menunjuk seorang satpam di depan sana dengan dagunya. "Tuh sama dia."

"Van, gue kayak gini juga gara-gara ngejar lo tau," kata Tania dengan mencebikkan bibir.

"Siapa yang nyuruh ngejar?" Revan menaikkan sebelah alisnya.

"Ya ... Gak ada. Tapi kan gu—"

"Apa?" sela Revan membuat Tania semakin cemberut. Gadis itu merengek memanggil nama Revan sambil menari-narik ujung lengan baju pemuda itu.

Revan berdecak sebal, dengan terpaksa turun. Ia memutari mobil, lalu membuka pintu samping di mana Tania duduk. Ia membungkuk, menggendong Tania ala bride style. "Nyusahin."

"Tapi lo sayang kan?" kata Tania menaik turunkan alisnya menggoda.

"Gak," balas Revan yang membuat Tania mendengus. "Lain kali gak usah ngejar gue."

Tania menggeleng, "berarti lo yang ngejar gue?"

Tatapan Revan menajam, bukan itu yang dia maksud. "Gak."

"Ya udah, kalo gitu biar gue yang ngejar," ujar Tania.

Revan menghela nafas, Tania memang keras kepala. "Lo cewek, gak pantes ngejer cowok."

"Cowok gue gak mau ngejar, ya gue aja lah."

"Terserah, kamar apartement lo dimana?" ucap Revan, ia menyerah menghadapi sikap keras kepala Tania.

"Lantai delapan, nomor 548."

Selama perjalanan menuju kamar apartemen milik Tania, banyak orang yang memperhatikan keduanya. Mereka berpikir jika keduanya berpacaran dan Revan sangat romantis. Tania sedari tadi juga tak berhenti mengoceh, menceritakan segala hal yang menurut Revan tak penting.

"Van, odol gue kemarin tiba-tiba ilang masa," ucap Tania. Lihat lah, perihal odol saja gadis itu ceritakan. "Gue cari-cari kagak ada. Kira-kira kemana ya?"

"Bukannya lo makan?" ucap Revan asal.

Tania tergelak, lalu menjitak kepala Revan. "Lu kira gue apaan makan odol?"

Revan hanya acuh tak acuh mendengar ucapan Tania. Begitu sampai di depan kamar dengan nomo 548, ia hendak menurunkan Tania, namun gadis justru semakin mengeratkan kalungan lengannya di leher Revan. "Ihh, Van ... gak mau. Turunin di dalem."

Revan berdecak, "Buka."

"Apanya?" tanya Tania, ucapan Revan sedikit ambigu.

Revan menghela nafas, harus ekstra sabar menghadapi Tania. "Pintu."

"Ohh, bentar." Tania menekan beberapa digit angka, membuat pintu di depan keduanya otomatis terbuka. Revan segera berjalan masuk, tidak mau berlama-lama bersama gadis aneh di gendongannya itu.

"Van, tau gak? Gue i- ... Van, gak mau disini," ujar Tania ketika Revan hendak menurunkannya di sofa.

"Ribet lo ahh," decak Revan. Sial sekali ia hari ini, terpaksa menuruti segala kemauan Tania.

"Kamar, Van," rengek Tania.

"Mana?"

Tania menunjuk sebuah pintu berwarna putih di ujung ruangan. Dengan cepat Revan menuju kamar tersebut lalu menghempaskan Tania begitu saja di atas kasur. "Revan, sakit woi," pekik Tania.

"Bodo," balas Revan kemudian hendak berjalan keluar, Tapi segera Tania tahan.

"Mau kemana?"

"Jauh-jauh dari lo." Revan melepas tangan Tania kemudian berlalu pergi.

"VAN ... MASA LO TEGA NINGGALIN GUE SENDIRIAN DALAM KEADAAN KEK GINI," teriak Tania yang hanya mendapat lambaian tangan dari Revan, pemuda itu bahkan tak melirik sedikitpun.

Tania cemberut ketika punggung Revan telah menghilang dari balik pintu kamar. Memang sudah biasa jika seorang Revan meninggalkannya, namun tetap saja Tania tak suka terabaikan. Sudah cukup selama ini ia hidup sendiri dan kesepian, Tania hanya ingin orang-orang memperhatikan dan peduli padanya.

Beberapa saat bergelung dengan pikirannya, sebuah ringtone menyadarkan Tania. Kak Riko, begitulah nama yang tertera di layar ponsel Tania.

"Apa? Gue sibuk," ucap Tania setelah menggeser ikon hijau di ponselnya.

Terdengar helaan napas di seberang sana, kemudian suara berat seseorang memasuki pendengaran Tania. "Halo, Tan. Gue butuh tanda tangan lo."

"Gak bisa lo sendiri apa? Kan gue udah bilang, gue gak mau ngurus perusahaan," ucap Tania dengan nada malas.

"Tapi ini perusahaan nyokap lo, Tan. Lagian kalo gak dari sini, lo gak bisa beli barang-barang bermerk lo itu bahkan mungkin lo gak bisa makan."

Riko adalah orang kepercayaan Mama Tania, Tiara Algandra. Sejak Mamanya meninggal, Riko lah yang mengurus perusahaan itu. Dan untuk Papanya, Tania bahkan tidak tahu pria itu ke mana dan ia pun tak mau mencari tahu. Jika bagi gadis lain seorang Ayah adalah cinta pertama untuknya, berbeda dengan Tania. Bagi Tania, Papanya adalah laki-laki pertama yang menghancurkan hatinya.

"Kan lo bisa urus. Kalo lo ada, kenapa harus gue coba? Gue males, dan lo tau itu," ujar Tania.

"Lo cukup baca perjanjiannya dan tanda tangan doang, Tan," kata lelaki berumur 29 tahun itu.

Tania menghela napas berat, ia benar-benar tak mau untuk berhubungan dengan masalah perusahaan. Ia tidak mau memikirkan hal-hal berat semacam itu, yang Tania mau hanyalah bersenang-senang dan menikmati masa SMA nya. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa sekarang, karena satu-satunya sumber penghasilan Tania adalah perusahaan itu. "Lo kesini deh, kaki gue lagi sakit."

"Emang kaki lo kenapa?" tanya Riko, dari suaranya terdengar khawatir walau tak terlalu kentara.

"Abis jatoh."

"Makanya jan petakilan, ja—"

"Bacot," sela Tania lalu mematikan panggilan secara sepihak.

Gadis itu kemudian melempar ponselnya ke segala arah, ia tak peduli, toh jika rusak ia bisa membelinya lagi. Tania menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, lalu menerawang menatap langit-langit kamar.

Pikiran gadis itu melayang jauh pada kejadian-kejadian pahit yang dulu ia alami. Hidup Tania tak semulus dan sebahagia yang orang lihat, nyatanya gadis itu hanya bersembunyi di balik topeng badgirl dan pecicilannya.

Papa Tania, Tio Algandra. Sosok laki-laki yang Tania anggap paling kejam di dunia. Tio selalu bersikap kasar pada Tania dan Mamanya, pria itu tak pernah menyayangi dan mencintai keduanya. Tio hanya memanfaatkan kekayaan Tiara, ia suka mabuk-mabukan, berjudi, dan gonta-ganti wanita. Tania benci Papanya, dan karna itu juga Tania menjadi playgirl. Bagi Tania, semua laki-laki sama saja, mereka tidak akan puas dengan satu wanita.

Tapi setelah mengenal Revan, entah bagaimana Tania merasa pemuda itu berbeda. Revan memang dingin,tapi Tania bisa melihat kelembutan dan perhatian dari pemuda itu. Dan untuk pertama kalinya juga, Tania merasa tertarik pada seseorang. Jika dengan pemuda lain ia hanya main-main, maka berbeda dengan Revan. Tania ingin benar-benar menjadikan pemuda itu kekasihnya dalam artian yang sebenarnya dan dalam waktu yang lama.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang