Gadis itu menggeliat dari balik selimut, matanya perlahan terbuka lalu mengerjap menyesuaikan dengan cahaya. Ia menatap jam berwarna merah muda yang tertempel di dinding kamar, kemudian membolakan mata. "Anjir, lima belas menit lagi jam tujuh!"
Tania bergegas bangkit, sedikit sempoyongan bahkan hampir menabrak pintu kamar mandi. Gadis itu bergegas gosok gigi dan cuci muka, ia memutuskan untuk tidak mandi dan hanya memakai banyak parfum saja karena takut terlambat. "Sial sial, baru kali ini gue takut telat. Bukan takut telat sih, takut Revan gak suka terus marah lagi."
Tania tak henti mendumel selama bersiap, hanya butuh kurang dari lima menit gadis itu telah siap dan bergegas menuju sekolah. Salahkan dirinya yang menyuruh Revan untuk tidak menjemputnya kali ini. Rumah sakit tempat Larisa dirawat berlawanan arah dengan apartemen Tania, gadis itu tak tega jika harus membuat Revan bolak balik demi menjemputnya. Revan pasti sudah cukup lelah menemani Larisa sendirian, Tania tak mau semakin membebani pemuda itu.
Tania tiba di SMA Angkasa, untung saja pintu gerbang belum di tutup. Ia melihat jam yang melilit pergelangan tangannya, masih tersisa lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Gadis itu segera turun, berlari menuju kelasnya di lantai dua.
"Hah huh hah, untung gak telat," ujar Tania dengan napas ngos-ngosan begitu gadis itu mendaratkan bokong di bangkunya.
Indri dan Sasha yang duduk di depan gadis itu menatapnya bingung, biasanya juga telat tapi bersikap biasa saja, pikir keduanya. "Kenapa lo, Tan? sampe segitunya."
"Gapapa gapapa," balas Tania, tangannya melambai-lambai. Napas gadis itu masih memburu, ia benar-benar lelah karena sedari tadi tergesa-gesa.
"Hari ini ada razia atribut, Tan. Dasi lo mana? Jangan sampe lo dihukum terus makin bermasalah sama Revan." Ya Tuhan, biarkan Tania istirahat sebentar. Baru saja napas gadis itu teratur, kini jantungnya sudah dibuat berdentuman kencang lagi karena ucapan Sasha.
Tania menegakkan badan, merogoh tasnya mencari sebuah dasi. Ia mengeluarkan seutas kain panjang tersebut, kemudian kembali terduduk lesu. Ia dan kedua sahabatnya tak bisa mengikat dasi, sial sekali Tania hari ini.
"Kenapa?" Suara bariton dari sebelahnya membuat Tania mendongak, Revan berdiri disana dengan dahi mengernyit bingung. Tania berdiri, memeluk Revan lalu merengek pada pemuda itu.
"Katanya ada razia atribut, gue gak bisa iket dasi, Van."
Revan mendesah pelan, dia pikir ada masalah apa sampai Tania terlihat tidak punya semangat hidup seperti tadi. Revan mengelus kepala gadis itu, mengambil alih dasi yang ada di genggaman sang kekasih.
"Sini, liat!" Revan mulai memasangkan dasi tersebut pada Tania, jemari pemuda itu dengan lihai mengikat seutas kain itu. Tania terdiam sembari menahan napas, mata gadis itu bukannya memperhatikan tangan Revan yang mengikatkan dasi untuknya justru tertuju pada wajah tampan pemuda itu. Alis tebal, hidung mancung dan bibirnya yang sehat membuat Tania benar-benar kagum dengan struktur wajah sempurna Revan.
Hanya butuh waktu sebentar, Revan telah menyelesaikan kegiatannya. Ia menyentil dahi Tania yang tidak fokus memperhatikan caranya memasang dasi, bagaimana gadis itu bisa kalau tidak belajar? Revan menggeleng-gelengkan kepala tak habis pikir.
Revan mensejajarkan wajah dengan Tania, membuat gadis itu kembali menahan napas gugup. "Belajar dari sekarang, nanti lo yang harus pasangin dasi buat gue," kekeh Revan kemudian dengan tanpa dosa berlalu dari sana.
Tania membeku di tempat, pipi gadis itu merona dengan dekat jantung yang tak keruan. Ini benar-benar gila, Revan berucap seolah dirinya akan menjadi pendamping hidup Tania. Tania berteriak saking salah tingkahnya, membuat seisi kelas yang tadinya ikut terdiam memperhatikan kegiatan Tania dan Revan menjadi terkejut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inesperado (End)
Teen Fiction{Sequel Keyra's Style} {BELUM DI REVISI} Revan kira kehidupan SMA nya akan tenang dan damai seperti yang sudah-sudah, namun siapa sangka Tania memutarbalikkan semuanya begitu saja. Pemuda kaku dan pendiam itu terpaksa berurusan dengan Tania si tukan...