Gadis itu berlari menyusuri lorong putih, namun langkahnya melambat begitu sosok yang dicarinya sedari tadi berjalan ke arahnya tak jauh dari sana. Pemuda itu terdiam di tempat, menatap Tania dengan tatapan yang sulit gadis itu artikan. Tania kembali mempercepat langkah, segera didekapnya tubuh Revan yang kini hanya diam tanpa perlawanan.
"Gue minta maaf, itu gak kayak yang lo lihat," ujar Tania. Suara gadis itu mulai bergetar, hingga akhirnya ia tak kuasa membendung air mata. Tangis gadis itu tumpah, namun Revan sama sekali tak tergerak untuk membalas pelukannya atau menenangkan Tania.
Tania mengangkat kepalanya, melonggarkan pelukan dan menatap Revan sendu. "Lo liat gue sama Jordi kan semalam? Itu kan yang bikin lo mutusin gue? Sekarang biar gue jelasin semuanya."
"Gak perlu," tolak Revan. Ia mendorong Tania pelan agar menjauh, kemudian melanjutkan langkahnya yang tertunda karena gadis itu.
Tania menahan lengan pemuda itu, ia kembali menangis kencang. "Masa lo tega ninggalin gue, lo gak bertanggungjawab banget. Gue sebatang kara, Van. Seenggaknya biarin gue jelasin dulu semuanya."
Revan mendesah pelan, semua orang di lorong tersebut kini menatap keduanya. Banyak dari mereka yang berbisik dan menyalahkan Revan seolah pemuda itu telah menghamili seorang gadis lalu hendak meninggalkannya. Tania semakin mengeraskan suara, membuat Revan memijit pelipisnya.
"Kita bicara di taman," ujar pemuda itu pada akhirnya. Tania otomatis menghentikan tangisnya, beralih menampilkan deretan gigi putihnya yang rapi. Segera ia peluk lengan Revan lalu menariknya menuju taman rumah sakit tersebut.
Keduanya duduk di bangku panjang yang tersedia di sana, dengan Tania yang masih terus memeluk lengan pemuda di sisi kanannya. Takut Revan kabur, pikirnya. Revan menarik tangannya, namun dengan cepat Tania mengeratkan pelukannya. Ia menggeleng, bibir gadis itu sudah maju beberapa senti. "Gak akan gue lepasin sampe gue selesai jelasin!"
"Cepet!" pinta Revan dengan wajah datar.
"Jadi gini ...." Tania mulai menceritakan kejadian kemarin malam tanpa menambah atau mengurangi sedikitpun, ia tak berniat menyembunyikan apapun.
"Gue tau gue salah, gak harusnya gue ngeiyain ajakan Jordi. Tapi seriusan gue gak maksud apa-apa, Van. Gue beneran cinta sama lo. Iya gue sadar kalau dulu gue suka mainin perasaan cowok, tapi enggak dengan lo. Gue tulus, gue pengen terus sama lo," jelas Tania panjang lebar. Tapi Revan hanya diam, masih memikirkan semua hal yang Tania baru saja ceritakan.
"Jangan putus ya, Van?"
Revan menoleh, kemudian menghela napas berat. "Kita tetap putus."
"Van, please. Gue udah jelasin semuanya tanpa kecuali, gue gak mau putus. Gue cinta sama lo, dan gue yakin lo juga udah mulai cinta kan sama gue? Kalau lo masih ngerasa kita beda, bukannya perbedaan itu ada biar kita bisa saling melengkapi. Kenapa sih, Van? Apalagi yang salah?" Tania kembali menjatuhkan air mata, kali ini bukan drama seperti yang ia lakukan tadi. Gadis itu benar-benar tak mengerti apa lagi yang membuat Revan tetap kekeuh untuk putus dengannya, padahal seharusnya masalah keduanya berakhir setelah Tania menjelaskan semuanya.
"Sama lo bikin gue seolah nelantarin Risa, gue juga gak bisa sepenuhnya sama lo. Kejadian semalam bisa terulang lagi, dan lo bakal pergi sama cowok lain lagi? Ini bukan hanya soal gue yang lebih memprioritaskan Risa, tapi soal lo yang gak punya pendirian buat nolak lawan jenis dan cukup sama gue." Baru kali ini Revan berbicara sepanjang itu terhadap orang yang bukan anggota keluarganya, namun perkataan itu terdengar begitu menyakitkan bagi Tania.
"Van, kasih gue satu kesempatan. Gue janji, gue janji bakalan cuma sama lo. Gue janji gak akan deket sama cowok manapun lagi, gue gak mau putus! Van, gue udah dicampakin sama Papa gue, dan sekarang lo tega ngelakuin hal yang sama? lo tega sama gue, Van? Yang gue ucapin tadi bukan hanya drama, gue beneran sebatang kara." Tania terisak, tangannya masih dengan erat memeluk lengan Revan. Dia tidak peduli lagi, persetan dengan semuanya, Tania hanya menginginkan Revan lebih dari apapun. "Sebelumnya gue gak mau dikasihani sama siapapun, Van. Tapi tolong, tolong kasihani gue buat kali ini aja," lanjut Tania.
Revan hendak membuka mulut, namun getaran di ponselnya membuat pemuda itu mengurungkan niat. Ia merogoh saku celana, mengeluarkan benda pipih itu dan membaca pesan yang dikirim oleh sang adik.
'Bang, semua orang punya kesempatan kedua buat berubah. Gue bisa lihat kalau kak Tania tulus sama lo, dan lo juga udah jatuh hati kan sama dia? Jangan pikirin gue, udah waktunya juga gue mandiri tanpa ada bayang-bayang lo di belakang. Gue janji bakalan lebih rajin pengobatan, tapi lo harus balik ya sama kak Tania, kejar kebahagiaan lo sendiri. Kalau gue butuh bantuan, gue bisa hubungin lo kayak yang udah-udah, jadi gak usah khawatirin gue.' Begitulah kira-kira pesan yang dikirim oleh Larisa.
Revan memutar kepalanya ke belakang, ia melihat Larisa berdiri tak jauh dari sana. Gadis itu tersenyum, ia mengangkat kepalan tangan ke udara, tanda memberi semangat kepada sang kakak satu-satunya. Revan menarik napas dalam, kemudian mengangguk dan membalas senyum Larisa. Gadis itu kemudian berbalik, berjalan pelan sembari memegang infus di tangan.
"Van, please. Kasih gue kesempatan," mohon Tania sekali lagi. Revan berdeham, kemudian memeluk Tania yang masih menangis tersedu.
"Jangan diulangi!"
Tania mengangkat kepalanya menatap Revan, hendak memastikan jika dirinya tak salah dengar. "Jadi lo kasih gue kesempatan? Kita gak jadi putus?"
Revan tersenyum tipis lalu mengangguk. Tania justru kembali menangis meraung, ia memeluk pemuda itu erat seperti jika dilepaskan sedikitpun makan Revan akan menghilang. "Kok makin nangis?" kata Revan bingung.
"Lo jahat sih," ujar Tania masih terisak, ingus gadis itu bahkan keluar. Ia menduselkan hidung di bahu Revan, membuat pemuda itu meringis karena ingus Tania kini menempel di bajunya.
"Jorok banget." Revan berdecak, sementara Tania justru terkekeh pelan. Ia melonggarkan pelukan, menatap Tania lembut lalu menyeka air mata di pipi gadis itu. Tania tersenyum, menarik kepala Revan mendekat lalu mengecup hidung pemuda itu.
"I love you, Revandra Sanjaya."
Revan sedikit terkejut mendengar pernyataan itu, namun ekspresinya kembali berubah datar dalam beberapa detik. Ia mengangguk-anggukan kepala, seolah meremehkan Tania yang jatuh cinta kepadanya sedalam itu.
Tania berdecak, dengan kesal mencubit perut Revan. "Bales kali!"
"Kali," ujar Revan dengan wajah tanpa dosa.
"Ah, terserah. Tetep aja ngeselin."
"Ya udah, putusin aja kalo ngeselin," kata Revan enteng.
"Eh hehehe ... enggak kok, bercanda Aa Revan." Tania kembali memeluk pemuda itu, lantas mencium pipi Revan berkali-kali.
_to be continue_
duh, kirain bakal putus beneran
padahal aku udah siap jadi pacarnya Aa Revan
bercanda wkwk
ig/tiktok : ktyuniex
jangan lupa baca "Back to December" ya
KAMU SEDANG MEMBACA
Inesperado (End)
Teen Fiction{Sequel Keyra's Style} {BELUM DI REVISI} Revan kira kehidupan SMA nya akan tenang dan damai seperti yang sudah-sudah, namun siapa sangka Tania memutarbalikkan semuanya begitu saja. Pemuda kaku dan pendiam itu terpaksa berurusan dengan Tania si tukan...