3. Pengganggu

231 56 162
                                    

Tungkai panjang itu berjalan pelan menuju sebuah kamar dengan pintu cokelat terang. Diketuknya perlahan benda keras yang terbuat dari kayu tersebut. "Dek, bangun. Udah pagi."

Pemuda itu terdiam di depan pintu, menunggu sahutan dari dalam namun tak kunjung juga ia dengar. Larisa-adiknya itu pasti masih tertidur lelap sekarang. "Lo gak bangun, gue tinggal nih!"

Karena tak kunjung mendapat respon, ia akhirnya membuka pintu tersebut. Revan menggeleng pelan melihat keadaan sang adik yang masih tertidur pulas. Cara tidur Larisa sama sekali tak menggambarkan gadis pada umumnya, dia begitu berantakan. Bantal yang sudah tak beraturan, terjatuh di lantai dan berada di ujung kaki Larisa, serta selimut yang hanya menutupi kepala sampai perut gadis itu.

Revan berjalan mendekat, menyibak selimut tebal berwarna cream yang menutupi wajah Larisa. Kelopak mata gadis itu berkerut, tampaknya merasakan cahaya terik yang tumpah ke wajahnya. "Dek, bangun!"

Hanya lenguhan yang terdengar, Larisa justru kembali mencari posisi tidur ternyaman. Revan menarik napas panjang, dengan lembut menepuk-nepuk pipi tirus sang adik.

"Gue tinggal ya!" ancam Revan namun masih tak ada pergerakan dari Larisa. Gadis itu masih bertahan dengan selimut kesayangannya.

"Ya udah, gue dul—" Larisa secara otomatis membuka mata, membuat Revan menghentikan ucapannya. Pemuda itu terkekeh melihat wajah bangun tidur Larisa yang menggemaskan.

"Masih ngantuk, bang," ucap Larisa kemudian hendak menenggelamkan kembali tubuhnya di dalam selimut, namun dengan cepat Revan tahan. Gadis itu mencebikkan bibirnya, melempar tatapan memelas pada Revan.

"Sana mandi!" Larisa masih saja cemberut, kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas. Revan yang mengerti pun hanya geleng-geleng kepala, lalu menarik tangan Larisa hingga gadis itu terduduk dengan sempurna.

Larisa mendekat pada Revan, ia peluk perut sixpack sang kakak. Revan terkekeh, mengelus lembut rambut panjang Larisa yang berantakan. "Udah sana, abang tunggu di bawah."

***

Suasana rumah ini begitu sepi sekarang, Revan duduk sendirian dengan segelas susu dan roti. Langkah kaki menuruni tangga membuat pemuda itu menoleh, adik kesayangannya dengan semangat berjalan mendekat.

"Good pagi, abang gue yang ganteng tapi gak laku-laku," ucap Larisa kemudian mencium pipi Revan disambung tawa puas.

Revan menatapnya tajam, mendaratkan sebuah jitakan manis di puncak kepala sang adik. "Hadooh ... kok gue dijitak sih, bang? Kasian ini otak jenius gue, ntar geser."

"Emang udah geser kali," sahut Revan santai lalu menyuap roti. Sementara Larisa kini memegang dada dramatis sambil menatap Revan dengan pandangan terluka.

"Kapan gesernya coba? Tapi ntar gue ronsen deh, kali aja beneran geser," ucap Larisa membuat Revan tak habis pikir, adiknya itu polos atau bego?

Setelah selesai sarapan, keduanya segera berangkat ke sekolah menggunakan kendaraan roda empat berwarna hitam. Mobil BMW milik Revan yang Ayahnya berikan ketika ia berulang tahun kemarin.

Jalanan pagi ini terasa lenggang, kemacetan yang sering terjadi kini tak ada. Syukurlah, mereka jadi punya waktu lebih banyak sebelum jam masuk sekolah.

"Bang, lo masih doyan cewek kan?" Larisa yang duduk di kursi penumpang samping Revan membuka pembicaraan. Revan itu sangat sulit membuka obrolan, kecuali hal penting. Ia lebih suka duduk diam dengan ketenangannya daripada banyak bicara dan bergurau seperti kebanyakan orang.

"Iya lah, bego!" kata Revan sedikit tidak santai. Dirinya masih normal, Revan juga ingin menikah dan punya keluarga bahagia suatu saat. Sekarang ia hanya ingin berfokus pada pendidikan dan menjaga Larisa, tidak ada waktu untuk meladeni para gadis.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang