16. Gagal total

163 47 60
                                    

Revan saat ini tengah asik bermain Play Station 5 di dalam kamarnya, sampai suara pintu kamar yang terbuka dan seseorang yang memeluknya dari belakang membuat Revan sedikit kehilangan fokus.

"Abang," ucap gadis cantik yang masih memeluk Revan.

Revan meletakkan stick PS nya ke atas karpet bulu tebal di mana ia duduk, lalu mengelus pipi sang adik dengan lembut. "Mau apa?" tanya pemuda itu yang langsung membuat Larisa tersenyum.

Revan sudah sangat hapal bagaimana tabiat sang adik, dan bagaimana gadis itu merengek ketika menginginkan sesuatu.

"Risa mau ke pesta ulang tahun temen, boleh ya?" ujar Larisa sambil mengeratkan pelukannya.

"Sini." Revan menepuk-nepuk pahanya meminta Larisa berbaring disana.

Gadis itu dengan senang hati menidurkan kepalanya di paha Revan lalu memeluk pinggang sang kakak. Revan meluruskan kaki, agar Larisa lebih mudah memeluknya. "Boleh ya?" tanya gadis itu sekali lagi.

"Boleh, tapi gue yang anter-jemput," jawab Revan sambil mengelus rambut Larisa lembut.

"Gue bareng temen-temen, bang."

Revan menghela napas, sebenarnya ia tidak mau mengekang sang adik, namun penyakit gadis itu membuatnya was-was. Apalagi orang tua mereka lebih sering menghabiskan waktu di luar kota dibanding di rumah, jadilah Revan yang bertanggung jawab atas Larisa.

"Pulang jam berapa?" tanya Revan.

"Gak tau."

"Pulang sebelum jam sepuluh, jangan minum alkohol atau sembarang nerima makanan dan minuman dari orang lain, sebelum berangkat minum obat dulu, jangan pake pakaian yang terbuka, ja—"

"Bacot," sela Larisa terkekeh sambil bangkit kemudian berlari keluar.

Namun baru beberapa detik gadis itu menghilang dari balik pintu, ia sudah kembali lagi dengan cengiran khas.

"Makasih, sayang Aa Revan." Larisa tersenyum lalu mencium pipi Revan dengan cepat lalu kembali berlari keluar.

Revan tersenyum sambil menggelengkan kepala heran, keceriaan dan kelakuan absurd adiknya adalah sumber kebahagiaan Revan maupun orang tua nya. Di dalam keluarga mereka, Larisa ibarat matahari yang menjadi pusat tata surya. Tidak ada yang lebih berarti dibanding keberadaan gadis itu di sisi mereka.

Sementara itu, Tania dan kawan-kawan sedang berkumpul di sebuah cafe. Gadis itu sedari tadi bersungut-sungut hingga membuat kedua sahabatnya jengah. "Tan, lo kenapa sih? sumpah ya, gue kesel liat lu dari tadi ngumpat gak jelas."

"Gue lagi kesel anjir. Udah dua hari gue gak ketemu Revan, dan dia sama sekali gak jenguk gue padahal tau kalo gue sakit." Tania cemberut. Kaki gadis itu sudah sembuh total karena rutin di urut selama dua hari ini, namun selama itu juga ia tidak bertemu Revan. Jangankan bertemu, menerima panggilan darinya saja Revan tidak mau.

"Gak usah berharap deh, Tan. Mau lo sakit keras dan absen berminggu-minggu juga kayaknya Revan gak bakal peduli," sarkas Sasha. Tania mendelik, kemudian mengumpat tertahan. Teman-temannya ini memang tak pernah mendukung usahanya untuk mendekati Revan.

"Lo berdua makin ngeselin sumpah, pengen gue lelepin rasanya ke empang," ujar Tania yang membuat kedua temannya itu justru tertawa.

"Kayaknya masa taruhan kita udah berakhir deh, Tan," ujar Indri mengingatkan.

"Sial, masih inget aja lo," ujar Tania.

"Belum berakhir kok, masih tersisa besok," ujar Sasha lalu menyeruput jus mangga di hadapannya. Tania mendelik, mau besok ataupun lusa sepertinya ia memang akan kalah taruhan.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang