41. Larisa

110 12 2
                                    

“Van, Risa mana? Kok dari tadi gak keliatan batang idungnya?” tanya Reihan begitu Revan datang dan mendaratkan bokong di sampingnya.

Revan menaikkan sebelah alis, ia juga tak mengetahuinya dan baru keluar kamar sekarang. “Masih tidur kali.”

“Coba di cek, Aa. Kalau masih tidur, dibangunin aja, udah jam 9 tuh.” Keyra yang baru datang membawa beberapa buah dan cemilan menyahut, meletakkan nampan ke atas meja ruang keluarga.

Revan mengangguk, segera melenggang menuju kamar sang adik. Pemuda itu mengetuk pintu beberapa kali, lalu memasuki kamar Larisa. Ia mendapati Larisa masih bergelung di bawah selimut, dengan senyum tipis ia mendekati gadis itu.

“Dek, bangun!” ujar Revan sambil menyibak selimut yang menutupi tubuh sang adik. Ia mengernyitkan dahi begitu melihat wajah pucat Larisa, lalu dengan cepat menepuk-nepuk pipi gadis itu.

“Dek, bangun! Dek?” Kali ini Revan panik, tak biasanya Larisa sesusah itu untuk dibangunkan. Ia sadar jika gadis itu tengah pingsan sekarang, dengan cepat diangkatnya tubuh Larisa.

“AYAH! BUNDA! RISA PINGSAN!” teriak Revan sembari menuruni tangga menggendong Larisa.

“Kamu bawa Risa sama bunda ke RS, nanti Ayah nyusul. Ayah ambil dompet segala macem dulu,” ujar Reihan yang langsung disetujui Revan dan Keyra.

Mereka semua bergegas menuju rumah sakit. Revan berkendara dengan kecepatan tinggi, meski begitu ia tetap harus waspada dan hati – hati. Sementara Keyra menangis selama perjalanan ke sana.

Entah mengapa ketakutan Revan begitu besar saat ini, perasaannya tidak enak. Ia berharap tidak ada hal buruk yang terjadi. Derap langkah kaki mengisi lorong putih itu, dengan Revan yang masih menggendong Larisa.

Gadis itu segera dibawa ke instalansi gawat darurat untuk mendapat pertolongan pertama serta pemeriksaaan. Revan dan sang Ibunda menunggu dengan cemas di depan ruangan, disusul Reihan yang kini berlari menghampiri mereka. “Gimana?”

“Lagi di periksa, yah,” jawab Revan. Hatinya benar-benar gelisah, pikiran – pikiran buruk menghantui pemuda itu. Revan menatap kedua orang tuanya sendu, kini Reihan tengah memeluk Keyra yang menangis sesenggukan. Ia tak akan bisa membayangkan bagaimana keluarga ini tanpa kehadiran Larisa. Gadis itu bak matahari yang menjadi pusat kehidupan keluarga Sanjaya.

Ia beralih mendekati keduanya, meminta mereka untuk duduk dan menenangkan diri di kursi tunggu. Dari luar pemuda itu terlihat tenang, padahal sebenarnya kalut.

Setelah beberapa saat, seorang dokter yang menangani Larisa keluar dari ruangan. Ketiganya segera mendekat, dengan cemas menanyakan keadaaan Larisa. “Apa pasien pernah melakukan operasi pada jantungnya sebelumnya?”

“Iya, Larisa punya penyakit jantung bawaan sejak lahir dan sempat melakukan operasi. Apa ada masalah dengan itu?” jelas sang kepala keluarga – Reihan. Penyakit jantung gadis itu sudah sembuh sejak lama, namun mengapa sang dokter malah membahas hal demikian.

“Operasi yang dilakukan mungkin memang berhasil, tapi kondisi jantung pasien tidak baik saat ini. Kami akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, sementara pasien dapat dipindahkan ke ruang inap.”

“Tapi semua akan baik-baik saja kan, dok? Anak saya juga punya leukimia, tolong lakukan hal yang terbaik,” mohon Keyra. Jejak air mata tercetak jelas di pipi wanita paruh baya itu, ia menampilkan wajah sendu.

“Sebagai seorang dokter, kami pasti akan melakukan yang terbaik.”

***

Ruangan itu senyap bak tak berpenghuni, hanya suara elektrokardiogram yang mengisi kekosongan. Keyra duduk di samping brankar sembari menggenggam tangan sang putri kesayangan, sementara Revan menatap keduanya sendu. Reihan kini tengah menemui dokter yang menangani gadis itu, hendak mengetahui hasil pemeriksaan dan tindakan apa yang sebaiknya dilakukan untuk Larisa.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang