12. Kerapuhan Tania

147 30 64
                                    

Tania sedari tadi bersumpah serapah di depan apartemennya, ia sudah ratusan kali menyuruh Revan untuk menjemputnya, namun pemuda itu tak kunjung datang. Dengan kaki yang dihentak-hentakkan kesal, Tania berjalan menuju mobilnya berada. Lalu berkendara dengan kecepatan di atas rata-rata sambil terus bersungut-sungut.

Karena caranya berkendara yang dianggap kebut-kebutan dan membahayakan pengendara lain, Tania mendapatkan berbagai umpatan dari semua pengguna jalan. Tapi bukan Tania namanya jika peduli akan umpatan mereka, yang selalu gadis itu pikirkan hanyalah dirinya sendiri. Entah sampai kapan Tania akan seperti itu, sombong dan tak pernah memikirkan orang lain.

"MANG WOI, BUKA GERBANGNYA!" teriak Tania ketika sampai di depan SMA Angkasa yang gerbangnya sudah tertutup rapat.

Terlihat Mang Mamat yang berjalan tergopoh menuju pintu gerbang. "Neng udah telat, gak bisa masuk."

"Mang, saya lagi kesel loh ini. Izinin saya masuk, atau pintu sialan ini saya tabrak?" ancam Tania. Jika dalam komik, sudah bisa dipastikan akan muncul asap di kepala gadis itu.

"Ehh, jangan neng. Ya udah, mamang buka, tapi neng harus lapor ke guru BK ya."

"Bacot, cepetan!" Dengan sedikit tergesa, Mang Mamat membuka pintu gerbang itu, membiarkan Tania masuk ke area sekolah.

Setelah memarkirkan mobilnya, Tania dengan langkah angkuh berjalan menyusuri koridor. Namun baru setengah perjalanan menuju kelasnya, terdengar suara seseorang yang memanggil namanya membuat Tania berhenti dan membalikkan badan.

"Kenapa sih, bu?" tanya Tania malas kepada Bu Desi-Guru BK nya.

"Kenapa ... kenapa, sudah jelas kamu terlambat. Ayo, ikut ke ruangan saya," balas Bu Desi.

Tania melangkah dengan malas mengikuti Bu Desi, guru itu terlalu terobsesi akan aturan menurutnya. Tania tak suka diatur atau ditentang, ia terbiasa bersikap seenaknya.

"Duduk!" titah Bu Desi ketika keduanya telah memasuki ruangan yang sering dianggap keramat oleh para siswa itu.

"Tania ... Tania ... Kamu gak capek apa selalu berurusan sama saya dan masuk ruangan ini? Saya aja capek liat kamu terus," kata Bu Desi sambil membuka sebuah buku dan menuliskan nama Tania disana.

Tania melipat kedua tangan di depan dada, lalu dengan nyaman duduk bersandar. "Capek sih, bu. Tapi kayaknya ibu yang pengen saya ke sini."

"Saya gak akan bawa kamu kesini kalau kamu tidak berulah," ucap Bu Desi menyerahkan buku tadi yang langsung ditanda-tangani oleh Tania.

"Saya sudah peringatkan kamu untuk tidak berpakaian ketat seperti itu, lalu ini ...." Bu Desi menunjuk rambut Tania yang kini terdapat beberapa bagian berwarna biru. "Jangan seenaknya Tania, jangan mewarnai rambut kamu disaat masih bersekolah di sini."

"Ibu kayak gak pernah muda aja," balas Tania santai, wajahnya sama sekali tak menunjukkan ketakutan atau rasa bersalah.

"Saya pernah muda, tapi masa muda saya tidak seperti kamu."

"Berarti main ibu kurang jauh," kekeh Tania membuat Bu Desi menahan amarahnya. Siswi di depannya itu memang sejak awal suka sekali mencari masalah, Bu Desi sampai lelah menegurnya.

"Tidak bisa kah kamu berubah? setidaknya perbaiki penampilanmu jika tidak bisa memperbaiki nilaimu," ujar Bu Desi. "Jika kami tidak memikirkan masa depanmu, mungkin kami sudah sejak lama mengeluarkanmu dari sekolah ini," ungkap Bu Desi dengan napas berat.

"Kenapa gak dikeluarin aja?"

"Tania, kamu tidak punya keluarga lagi, tidak ada yang memikirkan masa depanmu selain kami para guru. Jadi cobalah perbaiki dirimu, bukan untuk kami, tapi untuk masa depanmu sendiri," jawab Bu Desi.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang