39. Gembul

81 15 0
                                    

Pelajaran di kelas 12 IPA 2 tengah berlangsung, masing-masing dari siswa diminta untuk membaca dan memahami buku di hadapannya. Tania duduk sebangku dengan Revan, sebetulnya sedikit memaksa untuk tetap di sana.

Bukannya fokus ke buku, Tania justru menopang dagu menatap pemuda di sampingnya itu. Ck ck ... ganteng banget pacar gue.

Revan melirik Tania, menyadari jika gadis itu tak benar-benar belajar. Ia menepuk-nepuk buku di hadapan gadis itu, membuat Tania mengalihkan pandangannya. “Baca, Tan!”

“Udah, tapi bikin ngantuk,” balas Tania. Keduanya berbicara dengan suara pelan, ditambah posisi mereka yang duduk paling belakang membuat tak ada yang menyadari hal itu.

Revan kini menatap gadis itu dengan tajam, sementara Tania nyengir tanpa dosa dengan kedua mata mengedip lucu. “Kasih gue hadiah ya, gue janji bakal baca dengan seksama!”

“Mau apa?”

“Ngeliat sunset bareng,” kata Tania antusias.

Revan mengangguk, itu bukan hal yang sulit baginya. “Oke.”

Tania bersorak dalam hati, ia kemudian meraih buku tersebut mendekat. Digenggamnya tangan Revan, membuat pemuda itu mengerutkan dahi. “Biarin gini, biar fokus.”

Revan mendesah pelan, tahu betul kalau kekasihnya itu hanya modus. Tapi tak urung ia membiarkan gadis itu berbuat semaunya, lalu memilih kembali fokus pada bacaannya.

***

Tania menghela napas berat, ia duduk bersandar di bangku halaman belakang sekolah bersama Revan yang kini asik membaca buku. Kemarin ia sibuk di kantor karena Riko yang memaksanya untuk datang menandatangani banyak berkas. Walaupun pemuda itu adalah CEO yang bertanggungjawab atas jalannya perusahaan, namun tetap saja Tania sang pemegang seluruh saham alias pemilik perusahaan tersebut. Gadis itu diperlukan untuk mendatangani berkas-berkas penting yang memang tak bisa diwakilkan oleh Riko.

Tania menatap Revan dari ujung matanya, menggeser tubuh sedikit demi sedikit mendekati pemuda itu. “Van, peluk.”

Revan melirik sekilas, namun kembali fokus pada buku dihadapannya. Buku bagi pemuda itu sudah seperti game bagi orang lain, Buku baginya lebih candu dibandingkan gadget.

“Aa Revan, gue butuh banget pelukan dan kehangatan ini.” Tania merentangkan tangannya menghadap Revan, berharap pemuda itu segera memeluknya. Namun Revan tetaplah Revan, meski terkadang bersikap manis, pemuda itu tetaplah kaku dan cuek.

Merasa diacuhkan oleh Revan, Tania merubah niatnya. Ia duduk di ujung bangku, kemudian merebahkan diri dengan paha Revan sebagai bantalan. Pemuda itu sedikit terlonjak karena pergerakan tiba-tiba Tania, lalu dengan cepat melepas jaket yang ia kenakan untuk menutupi paha gadis itu yang terekspos karena roknya yang tersingkap. Tania tersenyum, lalu memeluk perut Revan sembari menyembunyikan wajah merona di sana.

Revan memindahkan buku yang dipegangnya di tangan kiri ke kanan, lalu mengelus rambut gadis yang berbaring itu. Pemuda itu memang sering kali terlihat cuek namun sebenarnya ia sangat peduli dan perhatian, seperti sekarang contohnya.

“Van, abis lulus nikah yuk.” Setelah mengatakan hal itu, Tania mendapatkan sentilan indah di dahinya. Revan tak habis pikir mengapa gadis itu sampai berpikiran demikian, bagi Revan itu adalah hal yang konyol. Ia masih ingin kuliah dan meraih cita-citanya, bukan membangun rumah tangga di usia dini.

“Ish ... sakit tau!” keluh Tania sembari mengelus dahi.

“Pikiran lo kejauhan,” tutur Revan. Usia mereka masih begitu muda, perjalanan hidup mereka masih sangat panjang. Revan akan menikah ketika semuanya telah matang baik dari segi usia maupun materi.

“Jadi lo gak mau nikah sama gue?” Tania memasang wajah sedih, matanya menatap Revan dengan sendu. Tidak, Tania tidak benar-benar sedih. Ia mengerti mengapa Revan mengatakan hal demikian, lagipula gadis itu juga tak serius dengan ucapannya. Ia masih terlalu takut menjalin hubungan yang serius karena kegagalan yang dialami sang Ibunda.

Sekali lagi, Tania mendapat sentilan di dahi. Benar-benar ya Revan ini! Bisa-bisa benjol kening Tania karena ulah pemuda itu. “Van ihh ... iya iya, gak akan ngomong kayak gitu lagi.”

***

Sepasang kekasih itu tengah menikmati suasana sore dengan duduk bersantai di balkon apartemen Tania, ditemani dua gelas teh hangat yang kini sudah tersisa setengah. Tania meraih ponselnya, hendak memotret pemandangan langit yang mulai berwarna jingga. Tadinya gadis itu hendak mengajak Revan ke pantai, namun pemuda itu menolak dengan tegas sehingga mereka berakhir di sini.

“Ayo foto, Van,” ajak gadis itu sembari memegang pipi Revan, memaksa pemuda itu menoleh pada kamera ponselnya. Tania terkekeh melihat hasil foto keduanya, wajah Revan yang lempeng dengan kedua pipi yang menggembul karena diapit jari Tania membuat pemuda itu terlihat menggemaskan.

Sementara itu, Revan meringis melihatnya. Hilang sudah kesan kaku dan cuek di wajahnya karena ulah gadis itu. Tapi biarlah, Revan juga yakin jika Tania tak akan mengunggah foto tersebut ke media sosial.

“Btw, gue keliatan gemukan ya?” tanya Tania sembari meneliti wajahnya di foto tersebut. Ia kembali membuka fitur kamera, memastikan apakah dirinya memang terlihat lebih berisi.

“Iya,” balas Revan singkat.

Tania mendelik, alisnya sudah mengkerut tanda tak suka. Dengan kesal gadis itu memukul kepala bagian belakang Revan, masalah berat badan adalah hal yang sensitif untuk sebagian perempuan termasuk Tania. “Ini semua gara-gara lo, tau gak? Lo sih suka bawain gue makanan sama masakin gue!”

“Kenapa gue?” beo Revan. Ia hanya berbuat baik agar gadis itu tak selalu membeli makanan cepat saji, lagipula apa yang salah dengan bertambah gemuk? toh pertambahannya tidak terlalu signifikan.

Tania mendengus, “ya pokoknya salah elu! Gue harus diet nih”

“Gak usah nyiksa diri.”

Tania menggeleng cepat, dia tidak ingin tubuh idealnya menjadi melar nantinya. Lebih baik menjaganya dari sekarang, mumpung berat badannya tidak naik drastis. “Tapi nanti gue jelek, Van.”

“Lo lucu kayak gini, gembul,” puji Revan menarik pipi Tania yang memang terlihat lebih berisi dibanding sebelum-sebelumnya.

“Jangan bohong, Van!” peringat Tania sembari melepas tangan Revan dari pipinya.

Revan tertawa pelan, saking jarang memuji hingga gadis yang berstatus pacarnya itu tak percaya dengan ucapannya. “Lo cantik mau gimanapun itu.”

Tania mengatupkan bibir, berusaha menahan senyuman karena pujian Revan barusan. “Serius? Lo suka gue kayak gini?”

“Hm ... tapi kalau lo yang gak suka, kita gym bareng. Jangan diet!”

“Oke, kita gym bareng.” Tania menyodorkan pipinya ke arah Revan, kemudian menepuknya dengan jari telunjuk. “Cium dulu kalau gitu,” sambungnya.

Namun bukannya ciuman di pipi yang gadis itu dapatkan, Revan justru mengecup bibir ranum Tania kilat. Mendapat perlakuan seperti itu, Tania segera berakting bak seseorang yang lemas dan hampir pingsan. Revan yang melihat tingkah gadis itu terbahak, ada-ada saja memang.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang