Revan berjalan menuju parkiran dengan tas yang terselempang di sebelah bahunya, beberapa siswi menyapa pemuda itu yang hanya ia balas anggukan singkat tanpa senyum sedikitpun. Setidaknya Revan sudah berusaha merespon.
Sejauh ini tak ada lagi yang mendekatinya secara terang-terang, selain Tania tentunya. Sepertinya gadis lain segan karena kehadiran Tania di sekitar Revan, mereka hanya berani mengirimkan pesan kepada Revan melalui WhatsApp. Revan juga tak peduli, membaca pesan gadis-gadis itu saja dirinya malas apalagi harus membalas dan meladeni mereka.
Ada untungnya juga Tania mendekati Revan. Tania yang terkenal arogan dan tak mau kalah, gadis itu juga akan melakukan segala cara agar keingannya tercapai sekalipun hal tersebut tak dibenarkan, hal inilah yang membuat siswi lain tak mau berurusan dengannya.
Meski terbebas dari gadis-gadis lain, namun kerugian yang Revan dapat justru lebih banyak. Tania lebih mengganggu daripada lima gadis sekaligus yang mendekatinya. Apalagi setelah Tania mengklaim bahwa mereka telah berpacaran, Revan yakin kehidupan sekolahnya semakin tak tenang sekarang. Tujuan pemuda itu sedari awal hanya satu, menimba ilmu sebaik mungkin tanpa ada satupun catatan masalah serta menjaga adik kesayangannya.
Revan berdecak begitu langkahnya terhenti di parkiran, seorang gadis dengan pose bak model yang duduk di atas kap mobilnya sudah mengganggu penglihatan Revan. Gadis itu melambai dengan jari-jari lentiknya. "Hai, Pacar."
Revan merotasikan bola matanya malas sembari mengumpat dalam hati, berjalan cepat mendekati Tania lalu menarik gadis itu turun. Ia menatap tajam netra kecoklatan di hadapannya, namun Tania sama sekali tak gentar, gadis itu tersenyum manis pada Revan.
"Pacar jangan kasar-kasar dong," ucap Tania dengan mencebikkan bibir lucu.
Revan akui, Tania itu cantik. Tapi ia tak membutuhkan wanita cantik yang penuh masalah dengan kewarasan di bawah rata-rata. Setidaknya bagi Revan, gadis manapun itu harus punya sedikit ilmu di otaknya. Bukan seperti Tania yang hanya mengandalkan kecantikan dan harta.
Revan hendak melangkah menuju pintu kemudi, namun Tania tentu saja tak akan tinggal diam. Dengan cepat ia tarik lengan Revan dan membalikkan tubuh pemuda itu kembali menghadapnya, ia lalu bersedekap dada. "Pacar, kok gue ditinggal mulu sih? Anterin gue pulang lah."
"Gak," sentak Revan, ia kembali melangkah guna memasuki mobil hitam di sampingnya itu.
Bukan Tania namanya jika membiarkan Revan pergi begitu saja, ia kembali menahan Revan. Gadis itu dengan nekat menghimpit Revan, membuat punggung pemuda itu menempel pada pintu mobil.
"Pacar, jangan jahat-jahat dong," rengek Tania. Revan menatap gadis itu tak percaya, semakin tak nyaman dengan sikap agresif gadis itu. Segera ia dorong dahi Tania dengan telunjuknya, memaksa gadis itu sedikit menjauh darinya.
"Dengerin gue!" pinta Revan dengan mata yang menusuk tajam retina Tania.
"Yang pertama ... Gue bukan pacar lo!"
"Lo pacar gue, tadi kita udah jadian," balas Tania sembari berkacak pinggang.
Revan mendengus, gadis di depannya itu memang kepala batu. "Kedua ... Gue gak suka sama lo!"
"Gue bisa bikin lo suka sama gue."
Revan menghela napas kasar, menghadapi Tania memang harus punya banyak kesabaran. "Ketiga ... Jauh-jauh dari gue!"
"Gak bisa, kan lo pacar gue. Masa pacaran jauh-jauh," ucap Tania lalu mengalungkan kedua tangannya di leher Revan, hanya beberapa detik sebelum dirinya di dorong kasar oleh pemuda itu.
"Aa Revan." Tania merengek, ia mencebikkan bibir sembari menarik-narik ujung jaket yang dikenakan Revan. Pemuda itu mengusap wajah frustasi, memikirkan bagaimana lagi ia harus memberitahu Tania agar menjauh.
"Harga diri lo kemana sih? Cewek itu dikejar, bukan mengejar!" sarkas Revan.
"Karna lo gak mungkin ngejar-ngejar gue. Jadi ya gue aja yang ngejar lo," jelas Tania tanpa sedikitpun merasa sakit hati mendengar kalimat Revan barusan.
Revan hanya bisa memijit pelipisnya yang berdenyut, kemudian secepat kilat membuka pintu mobil di belakangnya.
"Van, Jangan tinggalin gue! Anterin pulang." Tania berteriak sambil mengetuk-ngetuk kaca mobil Revan.
"Van, kalo gue nanti diculik gimana? masa lo tega." Tania tersenyum ketika Revan membuka kaca mobil, dalam hati ia bersorak girang. Ia yakin Revan akan memintanya masuk dan mengantarnya pulang.
"Gue gak peduli, minggir!"
Demi apapun, Tania ingin sekali mencabik-cabik wajah datar Revan sekarang. Untuk kesekian kali ia ditolak oleh pemuda itu. Ia mencak-mencak di tempat begitu mobil Revan melaju meninggalkan parkiran sekolah. Beberapa murid yang melihat kejadian tersebut tampak berbisik membicarakan keduanya terutama Tania.
"Revan sialan! Gue pelet tau rasa lo!"
Indri dan Sasha yang sedari tadi memperhatikan Tania dari kejauhan akhirnya mendekat, keduanya menepuk bahu Tania kompak. "Mundur aja lah, Tan."
"Enak aja. Gue bakal bikin dia jatuh sejatuh-jatuhnya dalam pesona gue." Tania mengibaskan rambut ke belakang, lalu menatap tajam Indri yang baru saja membuka mulut.
"Dia yang bakal jatuh ke pesona lo? atau lo yang bakal jatuh di permainan yang lo buat sendiri?" tanya Sasha dengan nada meledek.
"Lo berdua harusnya bantu dan dukung gue, ini kenapa malah bikin down?" kesal Tania kemudian menjitak kepala kedua sahabatnya.
"Kita cuma bicara fakta, Tan."
"Lagian kalo kita dukung lo, terus lo beneran berhasil dapetin Revan. Kita bakal kalah taruhan dong." Indri menunjukkan cengiran lebar.
"Buang orang ke Antartika ada hukum pidananya gak ya?" kata Tania sembari menatap kedua sahabatnya itu tajam. Bisa-bisanya mereka masih memikirkan taruhan itu disaat Tania berusaha keras meluluhkan Revan.
***
"Assalamu'alaikum." Revan mengucapkan salam begitu memasuki rumah besar tersebut. Seperti biasa, Keyra menyambut kedatangan sang anak dengan senyum hangat.
"Wa'alaikumsalam."
Revan mencium punggung tangan Keyra. "Risa mana, Bun?"
"Katanya lagi kumpul sama temen-temennya, kamu kenapa gak ikut dia?"
"Revan gak tau kalo mereka kumpul-kumpul dulu, kirain langsung pulang." Pemuda itu berjalan menuju ruang tengah, diikuti Keyra di sisi kirinya. "Apa kita perlu batasi Risa buat kumpul sama mereka, Bun?"
Keyra menatap sang putra sendu sembari menggeleng pelan, lalu mengelus pipi Revan. "Jangan. Bunda tau kalo Risa bosan karna harus bolak-balik Rumah Sakit dan selalu minum obat. Dengan dia kumpul sama temen-temennya, Risa bisa bahagia dan melupakan penyakitnya sejenak. Yang terpenting kita tau dia dimana dan sama siapa, jadi kita bisa terus pantau lewat temannya."
"Tapi, Bun, Risa it—"
"Shuut ... sudah lah. Ada Ika, sepupu kamu disana yang bisa kabarin kita soal Risa. Bunda tau kamu sangat menyayangi Risa, tapi jika kita semakin mengekang dia bisa saja itu memperburuk keadaannya." sela Keyra. Revan mengangguk, membenarkan ucapan sang Bunda dalam hati. Lagipula adiknya itu keras kepala, sulit bagi Revan untuk menasihati atau melarang keinginan Larisa. Asal Larisa bahagia, Revan tak masalah. Pemuda itu hanya berharap, Larisa tak akan pernah pergi darinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inesperado (End)
Teen Fiction{Sequel Keyra's Style} {BELUM DI REVISI} Revan kira kehidupan SMA nya akan tenang dan damai seperti yang sudah-sudah, namun siapa sangka Tania memutarbalikkan semuanya begitu saja. Pemuda kaku dan pendiam itu terpaksa berurusan dengan Tania si tukan...