5. Bully

143 39 61
                                    

Gadis dengan rok span selutut dan baju ketat itu berjalan santai menyusuri koridor sekolah sembari bersenandung ria. Ia berbelok, namun detik berikutnya jatuh terhentak ke lantai. Seseorang dari arah berlawanan tanpa sengaja menabrak Tania.

"Sialan! Jalan liat-liat dong!"

Gadis itu menunduk takut setelah mendapat bentakan dari Tania, dirinya juga terjatuh ke lantai. Dengan suara bergetar, ia berusaha menjelaskan. "M-maaf, kak. S-saya buru-buru."

"Maaf, maaf. Pantat gue sakit tau gak? Kalo jalan tuh pake mata! Lo pikir ini jalan nenek moyang lo yang bikin." Amarah Tania memuncak, masih pagi seperti ini justru harus merasakan sakit yang luar biasa di bokongnya. Bisa saja tulang ekornya patah karena hal ini.

Keduanya kini sudah menjadi tontonan bagi para murid yang hendak lewat, mereka berbisik membicarakan. Tania bangkit berdiri, menatap tajam pada gadis lugu yang sedari tadi menundukkan wajah takut. "M-maaf kak, saya beneran gak sengaja."

"Gak sengaja kata lo? Makanya jangan main hp! Hp buluk kayak gini juga," ucap Tania lalu menendang ponsel gadis itu yang tergeletak di lantai. Tidak keras, namun mampu membuat benda pipih tersebut bergeser cukup jauh dan berhenti tepat di depan sepatu seseorang. Di raihnya ponsel berwarna hitam tersebut, kemudian berjalan ke arah Tania dan Lia-begitu nametag yang tertera di seragam gadis culun itu. Pemuda tersebut berjongkok, mengembalikan benda tersebut pada sang pemilik lalu berdiri menatap Tania tajam.

"Van, gu—"

"Gue gak suka cewek kasar," sela Revan dingin. Setelah mengatakan hal itu Revan berlalu dari sana, meninggalkan Tania yang terdiam memperhatikan punggung tegapnya yang semakin menjauh.

"Sial! Ini semua gara-gara lo!" umpat Tania sambil menunjuk Lia dengan geram. Ia yakin, Revan akan semakin menjauh dan tak membiarkan Tania mendekatinya.

***

Kegaduhan selalu saja terjadi di tempat ini. Tania dan kawan-kawan duduk di bangku tengah kantin, tempat yang selalu mereka duduki sedari kelas 10. Sudah menjadi hak paten, tak seorang pun yang boleh atau berani mengambilnya. Ketiga gadis itu sudah selesai makan, saat ini tengah asik mengobrol.

"Tan, kita taruhan yuk," tutur Indri membuat Tania mengerutkan dahi.

"Taruhan apa?"

"Dalam dua minggu ini lo harus bisa jadiin Revan pacar. Kalo berhasil, gue bakal kasih 10 juta. Sasha juga sama."

Sasha yang sedang asik menyeruput es jeruk tersedak, Ia menunjuk diri sendiri. "Lah, kok gue dibawa-bawa sih?"

Indri merangkul Sasha, membuat gadis itu sedikit was-was. Bisa jadi Indri sudah belok. "Udah, ikut aja. Kalo Tania gagal, kita boleh pilih satu barang branded-nya. Lo tau sendiri berapa harganya kan? bisa kebeli mobil itu."

Sasha tampak berpikir sebentar, kemudian mengangguk semangat. Kapan lagi bisa mendapat barang branded secara gratis? lagipula ia yakin jika Tania akan gagal.

"Gimana, Tan? Deal?" Indri menyodorkan tangan sambil tersenyum remeh.

"Oke deal," balas Tania menjabat tangan Indri. Ia tak masalah kehilangan barang-barang, tapi harga diri yang menjadi point utama. Ia tak mau kedua gadis itu meremehkan dirinya. Tak masalah jika kalah, jangan sampai menyerah sebelum memulai.

"Ehh ... ehh, si Jimah tuh. Kerjain kuy!" celetuk Sasha tiba-tiba sembari menunjuk seorang gadis dengan kacamata tebal yang membawa sebuah nampan. Tania dan Indri mengikuti arah pandangan Sasha, saling memberi isyarat mata lalu tersenyum.

"Jimah, sini lo!" teriak Tania sambil melambaikan tangan ke arah gadis culun tersebut. Jimah terlihat sangat ragu, sebab Tania dan kawan-kawan selalu mengerjainya.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang