10. Bukan Gangguan Biasa #2

153 48 74
                                    

Revan duduk diam di kursi taman belakang sekolah sambil membaca buku dan satu tangan yang menyuap sebungkus roti. Fokus pemuda itu terpecah ketika bayangan Tania muncul di pikirannya. Dan hal itu membuatnya kesal.

Revan sadar jika gangguan yang akan Tania berikan bukanlah gangguan biasa. Tak seperti gadis-gadis sebelumnya yang mengejar Revan, Tania sangat sulit ia buat mundur. Gadis itu selalu punya cara untuk menggangunya dan tak pernah menyerah sekalipun diabaikan Revan, bahkan ketika ia berbicara pedas pun, Tania tetap saja tak goyah. Kini hidup Revan yang dulunya tenang menjadi kacau. Tania mengusik ketentramannya, dan ia harus lebih keras untuk mengusir jauh-jauh gadis itu.

Baru saja ia ingin kembali memfokuskan diri, seseorang yang tiba-tiba memeluk lehernya dari belakang membuatnya mendengus sebal dan dengan sekali tarikan melepas tangan lembut yang melingkari lehernya itu.

"Tadi gue nyariin lo di rooftop, ehh ternyata disini," kata Tania di samping telinga Revan. Pemuda itu hanya diam dan seperti biasa, wajahnya datar.

"Van." Tania menarik pelan rambut Revan hingga membuat pemuda itu mendongak.

Revan menaikkan sebelah alisnya tanda bertanya, yang membuat Tania berdecak kesal. Tak bisa kah Revan mengeluarkan setidaknya satu patah kata? pikir Tania.

Namun selanjutnya ekspresi gadis itu berubah, ia tersenyum manis dan dengan cepat mengecup kening Revan. Revan melotot, ini bukan pertama kalinya Tania mencium Revan, tapi tetap saja ia tak terima akan hal itu. Tania terkekeh, lalu memutari kursi taman dan duduk di samping Revan.

"Lo kenapa gak pernah ke kantin sih. Kerjaannya baca buku mulu," ucap Tania sambil melihat sekeliling Taman.

"Kalo gue tau lo dari kelas sepuluh, atau mungkin sebelas, pasti sekarang lo udah jadi salah satu dari ratusan mantan gue," kekeh Tania. Revan melirik sekilas dengan tatapan jengkel, lalu memilih mengabaikan Tania dengan membaca buku di tangannya.

"Emang kenyang ya, makan sebungkus roti sama minum sebotol air mineral doang?" tanya Tania, Revan hanya mengedikkan bahu acuh.

"Kebetulan gue jualan banyak kata plus kalimat, Van. Lo mau beli gak?" Tania sudah kelewat kesal sekarang karena Revan yang tak pernah membalas ucapannya. Dan lihat lah, sekarang yang ia dapatkan hanya wajah tanpa dosa Revan yang sedang menaikkan sebelah alisnya.

"Bodo, Van."

Revan tampak bingung, namun dengan acuh kembali membaca buku.

'Senderan enak nih kayaknya,' batin Tania. Namun baru saja Tania mendekatkan kepalanya ke bahu Revan, pemuda itu sudah mendorong kepalanya.

"Van, ihh," rengek Tania. Gadis itu kemudian tersadar, saat bersama Revan ia lebih banyak merengek. Tania juga menunjukkan sisi yang berbeda kepada pemuda itu, entah itu sengaja atau tidak.

Revan mendelik tajam, "jauh-jauh!"

"Gak mau," tolak Tania sambil menaikkan sebelah kakinya ke kaki Revan. Dengan cepat, Revan menampar paha Tania. Tidak keras, namun cukup membuat paha Tania terasa pedas.

"Ihh, sakit Van." Tania menurunkan kakinya dan mengelus paha. "Lo jahat banget sih."

"Udah tau jahat, kenapa dikejar?" ucap Revan lalu bangkit dan berjalan meninggalkan Tania. Gadis itu tersenyum lalu berlari menyusul Revan.

"Karna lo beda," ujar Tania lalu memeluk tangan Revan.

"Lepasin," pinta Revan dengan menurunkan tangan gadis itu, namun tentu saja tak Tania biarkan begitu saja. Revan menarik napas kasar, sedikit kasar Revan melepas tangan Tania yang bertengger di lengannya. Lalu dengan langkah cepat berjalan menjauhi gadis nakal itu.

"Ihh, Van. Tungguin! Masa calon makmumnya ditinggal," kata Tania kemudian berlari mengejar Revan. Tapi sialnya, Tania tersandung kakinya sendiri hingga membuat ia terjatuh dengan lutut membentur ubin.

"Revan," rengek Tania membuat Revan berhenti namun tak berbalik.

"Revan, bantuin!" Sekarang Tania sudah menjadi pusat perhatian beberapa orang yang lewat di koridor itu.

Revan menoleh, hanya melirik sekilas lalu kembali melanjutkan langkah. Ia tak peduli, toh itu salah Tania sendiri yang mengejarnya. Lagipula, pasti banyak pemuda lain yang akan membantu Tania.

Mulut Tania menganga ketika punggung Revan benar-benar menjauh bahkan menghilang di belokan koridor. Harga dirinya benar-benar sudah anjlok karena Revan, dan ia harus membuat pemuda itu jatuh cinta untuk mengembalikan harga dirinya.

"Tan, sini gue bantu," tawar seorang pemuda membuat Tania tersadar dari lamunan.

"Gue bisa sendiri," balas Tania lalu bangkit berdiri. Ia hendak melangkah pergi, namun suara pemuda tadi membuatnya berhenti.

"Tan, balikan yuk." Tania terkejut, dan ingin menyeburkan tawa disaat bersamaan. "Lo mantan gue? Gue aja gak inget nama lo."

"Iya, gue mantan lo. Nama gu—"

"Udah udah, gue gak mau tau nama lo lagi. Kalo udah jadi mantan gue, gak bisa lagi balik jadi pacar gue." Tania memotong ucapan pemuda tadi, lalu berjalan menjauh dengan sedikit meringis karena lututnya yang lebam.

***

Revan berdiri dari duduknya, bel pulang baru saja berbunyi dan guru mereka sudah berlalu keluar kelas. Baru saja Revan hendak melangkah, seseorang sudah terlebih dahulu bergelayut di lengannya.

"Pokoknya hari ini lo harus anter gue pulang," ucap Tania dengan senyum lebar.

Revan memutar bola mata malas, berusaha melepaskan tangan Tania dari lengannya walau pada akhirnya percuma. Tania kembali memeluk lengan Revan. "Gue gak punya kewajiban buat anter lo," sahut Revan dingin.

"Jelas wajib dong, kan lo pacar gue."

"Gue bukan pacar lo," ucap Revan lalu berjalan keluar dengan Tania yang masih bergelayut padanya.

"Ish ... apa susahnya sih ngakuin gue pacar? Lagian lo beruntung tau kalo jadi pacar gue."

Revan berhenti berjalan, menatap Tania dengan tatapan tajam yang justru dibalas senyum manis oleh Tania. Revan menunduk, mensejajarkan wajahnya pada Tania yang membuat gadis itu menahan napas. "Keberuntungan gue adalah disaat gak berurusan sama cewek bandel kayak lo."

"Gue gak bandel, Van. Gue tuh cewek spesial."

Revan semakin memperpendek jarak wajah mereka, membuat jantung Tania seakan ingin loncat seketika. "Gak ada yang spesial tentang cewek murahan yang mau dipacarin sama semua cowok."

Untuk pertama kalinya, Tania merasa tertohok akan perkataan seseorang. Ia bungkam, terdiam kaku hingga tak sadar jika Revan telah berjalan menjauhinya.

"GUE BUKAN CEWEK MURAHAN, REVAN!" teriak Tania memancing perhatian orang-orang. Namun Revan tampak tak peduli, ia terus saja berjalan menjauhi Tania.

"Gue punya alasan," lirih Tania pelan.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang