45. Hilang

98 14 1
                                    

Setiap kali kembali ke rumah ini, Revan merasa asing. Karena tidak ada lagi tawa dan suara menggelegar Larisa yang mengisi kesunyian tempat ini. Kedua orang tuanya sudah bersikap biasa saja, namun raut kesedihan masih terlihat jelas di wajah mereka.

Banyak hal di rumah ini yang membuat dejavu, namun pada akhirnya hanya tersisa kekosongan. Tentang kursi di sebelahnya yang setiap kali makan tak pernah terisi lagi. Tentang sebuah ruangan di depan kamarnya yang kini kosong tak berpenghuni.

“Udah pulang? Kok Bunda gak denger apa – apa dari tadi.” Suara itu membuat Revan membuyarkan lamunan, ia tersenyum pada Keyra lalu mencium punggung tangan wanita itu.

“Maaf, Bun. Revan langsung masuk tanpa salam,” ujar Revan.

Keyra tersenyum, tangannya terangkat mengelus bahu sang putra. “Gapapa, jangan dibiasain aja! Istirahat gih!”

Revan mengangguk, kemudian melenggang pergi dari hadapan sang Ibunda. Saat hendak memasuki kamar, langkah pemuda itu terhenti. Ia berbalik menatap pintu di depan kamarnya, menatap lurus ke sana. Pedihnya masih sama, walau kini keikhlasan mulai ia tanamkan dalam jiwa.

Setelah menarik napas berulang kali, ia melanjutkan langkah memasuki kamar. Merebahkan diri sebentar ke atas ranjang besar. Pikirannya melalang buana, tentang Larisa, keluarganya, juga perihal Tania. Setelah ini, apa yang sebaiknya ia lakukan? Mencoba memperbaiki hubungan dengan Tania atau biarkan saja seperti ini - asing dan saling menjauh? Ia lihat, Tania juga baik-baik saja tanpa dirinya.

“Kayaknya emang lebih baik gini,” monolog Revan. Walau perasaan – perasaan tak nyaman sering kali muncul setiap kali ia tak sengaja menangkap figur Tania, namun ia yakin perlahan akan terbiasa. Seperti dia yang awalnya tak menyukai gadis itu dan perlahan terbiasa dengan kehadiran Tania yang mengusik ketenangannya. Semua pasti akan kembali seperti semula, entah itu karena waktu yang membuat terbiasa atau karena perasaan mereka yang nantinya akan perlahan hilang.

Ponsel di sakunya bergetar, membuat Revan kembali tersadar dari lamunan. Meraih benda yang akhir – akhir ini ia jadikan alat penghilang sendu itu, Revan yang dulu jarang menggunakan ponsel, kini lebih sering mengarungi sosial media hanya untuk melihat adakah hal lucu yang bisa menghiburnya.

From Tania :

Gue tau kemarin kita sama – sama emosi.
Gue juga mau minta maaf perihal kejadian kemarin, harusnya gue ngertiin keadaan lo.

Enggak, gue gak akan ngajak balikan dan memperbaiki hubungan kita.
Justru gue yang harusnya memperbaiki sifat gue.
Karena lo bener, gue terlalu egois dan mikirin diri sendiri.

Tapi tolong buat sisain setidaknya sedikit ruang di hati lo buat gue.
Nanti, setelah gue ngerasa pantas buat lo.
Gue bakal datang dengan percaya diri, sebagai Tania yang akan mengejar cinta lo lagi.
Tapi dengan Tania yang lebih baik, yang gak egois dan kekanakan.

Revan terdiam untuk beberapa saat, tidak menyangka jika Tania akan mengirim pesan seperti itu kepadanya. Perpisahan memang menyakitkan, tapi ada kalanya diperlukan untuk menjadi pelajaran. Seperti sekarang, mereka berpisah walau masih saling menginginkan. Namun itu adalah pilihan terbaik agar semuanya tak semakin rumit.

Di sisi lain, Tania dengan gelisah menunggu balasan pesan dari Revan. Sebetulnya ada harapan agar Revan menahannya, agar pemuda itu yang lebih awal berinisiatif memperbaiki hubungan mereka. Karena Tania akan senang hati menerima, ia ingin memperbaiki sifatnya sembari ditemani Revan jikalau bisa. Namun harapannya itu sia – sia begitu balasan dari pemuda itu dia terima.

From Calon Imam :

gue juga minta maaf

Tania mengerjapkan mata, mencoba menunggu beberapa saat karena mungkin saja pesan berikutnya akan masuk. Namun hampir satu menit ia menunggu, hanya pesan itu lah yang muncul di kolom obrolan mereka. Tania berdecak, dengan kesal melempar ponselnya ke sembarang arah. “Asem! gue ngetik panjang kali lebar malah dibales kayak gitu. Gue doa-in lo gak dapet pacar selain gue!”

“Revan sialan! Agh ... nyebelin!” maki Tania. Gadis itu mencak – mencak di tempat, kekesalan membuncah dari dadanya. Aksi gadis itu terhenti ketika dering ponsel memasuki indra pendengarannya.

Tania meraih ponsel yang tergeletak di karpet bulu, melihat siapa yang baru saja melakukan panggilan pada nomornya. Gadis itu berdecak, dengan malas – malasan menggeser ikon hijau di layar. “Apaan?”

Gadis itu tampak mengernyitkan dahi mendengar balasan seseorang di balik sana, “gue ke sana!”

***

Di bawah langit abu – abu, kaki panjang itu mulai melangkah menyusuri pemakaman. Berencana mengunjungi sesosok yang ia rindukan setiap waktu, yang selalu mengisi ruang kosong di pikirannya. Ia terdiam beberapa saat, mulai berjongkok dan meletakkan buket bunga yang sedari tadi dibawa ke atas tanah basah yang menggunung.

Revan merapalkan doa, berharap sang adik bahagia di sana. Setelah itu ia mulai berceloteh menceritakan banyak hal, pemuda yang mulanya pendiam itu berubah cerewet kali ini. Sayangnya, kecerewetan pemuda itu tidak berguna. Larisa tidak akan bisa lagi mendengarnya, hanya batu nisan yang menjadi saksi bisu kebodohan pemuda itu.

Revan menyadari betapa menyedihkan dirinya setelah kepergian Larisa. Sebab sedari awal hidupnya berpusat pada gadis itu, sejak kecil Larisa adalah semestanya. Jadi ketika gadis itu pergi, dunia Revan porak – poranda.

Getaran dari balik sakunya mengalihkan perhatian pemuda itu, nama Sasha tertera disana. Ia mengerutkan dahi bingung, tidak biasanya gadis itu menghubunginya.

“Van, lo sama Tania gak? Atau lo ngeliat Tania? Lo tau gak dia ke mana?” Cecar Sasha begitu panggilan itu Revan terima, suaranya terdengar begitu panik.

“Gak,” balas Revan sekenanya.

Sasha terdengar semakin gelisah, gadis itu tampak berbicara dengan seseorang di seberang sana – sepertinya Indri. Revan tak bisa mendengar obrolan mereka dengan jelas, namun nada bicara keduanya menunjukkan kerisauan. “Ada apa?”

“Kita tadi ke apart Tania, tapi dia gak ada. Nomornya gak aktif, Bang Riko juga gak tau dia ke mana,” jelas Sasha.

“Udah di cari ke tempat yang biasa dia datengin?”

“Udah, Van. Udah kita cari ke mana – mana tapi gak ada. Dia biasanya selalu ada kabar, mau ke manapun juga pasti koar – koar di grup chat. Ini pertama kalinya, bantuin kita cari please,” pinta Sasha. Ia benar – benar khawatir dengan Tania, terlebih takut gadis itu melakukan hal yang tidak – tidak. Meski gadis itu terlihat baik – baik saja, namun tidak ada yang tahu isi hati dan pikirannya. Sasha juga khawatir jika gadis itu dijahati oleh orang lain.

“Oke,” balas Revan singkat. Ia segera beranjak dari sana, dengan langkah tergesa menuju mobil BMW hitamnya. Kekhwatiran tercetak jelas di wajah tampannya, beberapa nama terlintas di otak pemuda itu. Tio, Jordi atau Bara?

_To be continue_

Kira - kira siapa yang nelpon Tania tadi ya?

Terus Tania kemana, kok tiba - tiba menghilang?

Hayooo, penasaran kan

Tunggu next update nya ya

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang