36. Saingan

111 15 5
                                    

Gadis itu berlari kecil menghampiri mobil BMW hitam, kaca mobil tersebut turun begitu ia sampai di depannya.

“Hai, kak Tania,” sapa Larisa kepada pacar kakaknya itu sembari melambaikan tangan.

“Hai.” Tania membalas lambaian tangan Larisa sembari tersenyum lebar, kemudian membuka pintu di samping kemudi dan mendaratkan bokong di sana.

Tania mencondongkan wajah ke arah Revan, dengan cepat mengecup pipi pemuda itu yang berhasil membuat sang empunya mendengus. “Pagi, pacar.”

Larisa yang duduk di kursi penumpang tersenyum melihat keduanya, mereka yang pacaran tapi malah dia yang salah tingkah sendiri. Andai saja cintanya tak bertepuk sebelah tangan, pasti Larisa juga akan merasakan indahnya berpacaran. “Yuk, berangcus. Jangan bucin dulu, masih ada orang jomblo di sini.”

Tania terkekeh mendengar hal itu, sementara Revan hanya menatap adiknya datar. Ia melajukan kendaraan beroda empat tersebut, dengan Tania dan Larisa yang mulai mengobrol. Dua gadis cerewet nan banyak tingkah bertemu, untung saja Revan menyayangi keduanya, kalau tidak sudah dia lempar mereka ke luar saking berisiknya.

Larisa berangkat ke sekolah bersama mereka kali ini karena tidak ada tumpangan, biasanya ia akan bersama teman-temannya namun hari ini mereka absen menjemputnya. Revan tidak akan membiarkan Larisa berangkat menggunakan kendaraan umum, toh Tania juga tak keberatan berangkat bersama adiknya itu. Larisa dan Tania sudah akrab sejak pertama kali bertemu, hal itu karena Larisa yang mudah bergaul dan sifat keduanya yang hampir sama.

“Kak Tania kalo berduaan sama ni batu kali ngapain aja? Jangan bilang dia cuma diem kayak patung pancoran,” ujar Larisa mulai berpindah topik dari hal-hal random ke persoalan kakaknya dan Tania.

“Dia emang lebih banyak diem sih, tapi dibanding dulu ada peningkatan lah,” balas Tania sembari melirik Revan nakal. Ini mah namanya ghibahin orang di depannya langsung.

“Walau banyak diem, tindakannya oke banget. Udah berani nyium duluan sekarang,” lanjut Tania sembari terkekeh pelan. Revan reflek menginjak rem begitu mendengar kalimat terakhir Tania, sementara Larisa membelalakkan mata. Untung saja tidak ada kendaraan lain di belakang mereka, sehingga tidak terjadi hal buruk.

“Revan anjir, kalau mau mati jangan ngajak-ngajak!” umpat Tania sembari memukul lengan bagian atas pemuda itu. Revan menoleh pada gadis itu, mata hitam kelamnya menyorot tajam.

“Ngomong apa tadi?” tanya pemuda itu dengan ekspresi yang menyeramkan di mata Tania, sudah seperti harimau yang hendak menerkam mangsanya.

“Ehehe ... enggak,” ujar Tania, ia mengacungkan dua jari yang membentuk huruf v sembari menampilkan cengiran.

Larisa memincing memperhatikan kedua insan di depannya, kemudian dengan tanpa dosa menggeplak kepala sang kakak. “Gak usah sok galak, ayo jalan lagi! Mau telat lo berdua, gue sih kagak.”

Revan meringis mengelus kepala bagian belakangnya yang baru saja menjadi korban, sementara Tania terbahak di tempat. Benar-benar hiburan pagi ini bisa melihat seorang Revandra Sanjaya digeplak. Pemuda itu menatap Larisa tajam, namun sang adik justru menjulurkan lidah tanda mengejek. Revan menghela napas lelah, lalu kembali melajukan mobilnya.

***

“Hai, Revan.” Pemuda yang sedang asik membaca buku itu mengangkat kepala menatap seseorang yang baru saja menyapanya. Revan hanya mengangguk kecil, lalu kembali fokus pada benda persegi di tangannya.

Gadis itu tersenyum kecut, kemudian ikut mendaratkan bokong di bangku panjang samping Revan. Ia menopang dagu menatap sosok yang tengah fokus membaca kata demi kata di buku tebal itu, sosok yang sejak dulu ia sukai. “Apa kabar, Van? Kelas sepuluh sama sebelas kita sekelas, lo inget gue kan?”

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang