48. Kembali

176 15 0
                                    

Beberapa bulan setelah rentetan kejadian yang menguras emosi, tenaga dan pikiran, baik Tania maupun Revan telah menjalani hari – hari dengan bahagia. Meski begitu Revan beserta kedua orang tuanya sering kali merindukan sosok Larisa, bagaimanapun hidup mereka tetap terasa berbeda tanpa kehadiran gadis itu. Keyra dan Reihan kini lebih banyak menghabiskan waktu dengan Revan, tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, dimana mereka terlalu sibuk bekerja lalu tiba – tiba kehilangan anak. Tania juga sering berkumpul bersama keluarga Sanjaya, seolah gadis itu sudah menjadi bagian dari mereka.

“Mantan, ayo foto!” Revan mendengus setiap kali Tania memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Mereka tidak balikan, dari dulu hingga sekarang. Ini sudah menjadi kesepakatan keduanya, namun Tania tetap saja dengan keusilannya.

Revan mencubit pipi gadis itu dengan gemas, kemudian memberikan sebuah buket bunga besar. “Happy graduation.”

“Makasih,” ujar Tania kemudian menarik Revan lebih dekat, Indri sudah siap di depan keduanya untuk mengambil gambar. Tania berpose berulang kali, namun Revan justru lebih banyak berdiri kaku, atau sesekali merangkul Tania, sesekali tersenyum tipis.

“Van, ini foto kelulusan bukan foto ktp! Muka lo bisa dibikin agak seneng dikit gak?” ujar Indri yang kini beralih profesi menjadi photographer, Sasha yang berdiri di samping gadis itu mengangguk menyetujui.

Tania terbahak mendengar ucapan Indri, “settingan mukanya emang udah gitu, In.”

Revan mendelik pada ketiga gadis itu, ia mendesah pelan. Tania memberi kode pada Revan agar tersenyum lebih lebar, namun ketika pemuda itu menuruti, bukannya senyum manis yang Tania lihat. “Malah serem, gak usah deh.”

“Salah mulu,” kesal Revan membuat ketiga gadis di dekatnya itu terkekeh. Mereka berempat kemudian berkumpul, meminta orang lain mengambil gambar. Revan kini berbalut kemeja batik dengan lengan pendek dan celana bahan hitam, rambut pemuda itu di tata rapi sehingga memperlihatkan jidatnya. Sementara ketiga gadis itu dengan kompak menggunakan setelan kebaya berwarna merah muda.

Setelah acara kelulusan sekaligus perpisahan itu selesai, mereka memutuskan untuk pergi ke sebuah restoran. Orang tua mereka beserta Riko juga turut ke sana, berkumpul merayakan kelulusan mereka.

“Kalian pada lanjut ke mana nih?” tanya Roy – Papa Sasha.

“Kita bertiga bakalan satu univ, Om. Kalo Revan, gak tau tuh ke mana,” balas Tania. Sebetulnya sejak lama ia juga penasaran tentang hal ini, namun terlalu sungkan untuk bertanya. Meski sangat dekat, namun Tania sadar akan statusnya dan Revan yang hanya sebatas teman saat ini.

“Revan bakalan ke Australia.”

Mendengar jawaban dari Keyra, Tania tak sengaja menyenggol gelas yang ada di sisi kanannya. Suara pecahan gelas memenuhi ruangan itu, namun pendengaran Tania seolah tuli. Revan akan meninggalkannya, hanya itu yang kini memenuhi pikiran Tania.

“Tania!” panggil Sasha sedikit keras hingga Tania tersadar. “Lo gapapa?”

“Gapapa, gue ke toilet dulu,” pamit gadis itu kemudian segera beranjak dari sana. Tania berlari menuju toilet, tangisnya tak terbendung mengetahui fakta bahwa Revan akan melanjutkan pendidikan ke luar negeri. Selama ini Tania tak masalah jika ia dan Revan tidak bersama sebagai seorang kekasih, asalkan pemuda itu selalu disisinya. Namun sekarang Revan justru akan benar – benar pergi, ia sama sekali tak siap akan hal ini.

Tania terisak, ingus gadis itu bahkan ikut keluar. Make up nya seketika rusak karena air mata, penampilan gadis itu berubah kacau. Ngomong – ngomong, luka goresan di wajah gadis itu kini telah hilang sepenuhnya. “Tai, tai! Bukannya ngajak gue balikan, dia malah mau pergi!"

“Revan sialan! katanya gak akan ninggalin gue, tapi ini apa?” maki Tania. Padahal ia sudah berusaha untuk berubah menjadi gadis yang lebih baik, namun usahanya itu malah berakhir seperti ini. Bukannya kembali bersama, hubungannya dengan Revan pasti akan semakin renggang karena kepindahan pemuda itu nanti.

“Tania, astaga! Tadi bilangnya gapapa, kok malah kayak setan gini tampilannya,” ujar Sasha yang baru saja memasuki toilet. Tania yang diejek seperti itu malah semakin menangis meraung, ia kemudian memeluk Sasha erat.

“Kok dia gak bilang mau ke Australia, Sha? Dia mau ninggalin gue, padahal gue nungguin banget diajak balikan,” adu Tania.

Shasa menahan tawa melihat tampilan dan rengekan Tania, antara kasihan dan lucu. “Revan mau ngejar mimpinya, Tan. Lo harusnya dukung aja.”

“Tapi kenapa sejauh itu? kan bisa di sini aja! Nanti kalo gue kangen gimana, kalo tiba – tiba lost contact sama dia, kalo dia kepincut bule di sana?” kata Tania. Ia benar – benar dibuat overthinking karena hal ini, banyak ketakutan menghantui gadis itu.

“Ya lagian, dulu siapa yang nolak diajak balikan? padahal mah cinta setengah mati, sekarang – sekarang baru ngerengek mulu karena gak ditanyain lagi perihal balikan.” Sasha sedikit kesal dengan tingkah Tania ini. Dia yang awalnya menolak, dia juga yang kini merengek. Perempuan memang ribet!

“Dulu gue masih ngerasa gak pantes buat balik ke dia, sikap gue masih buruk. Sekarang kan udah lumayan, walau ada waktunya kayak setan, tapi gue sekarang udah siap lahir batin bahkan kalau dia mau nikahin,” terang Tania. Ia menatap Sasha sembari menampilkan cengiran, kemudian mengelap wajahnya dengan tangan.

“Serah lo deh. Gak usah nangis lagi, sana cuci muka. Yang lain pasti pada nungguin kita,” titah Sasha.
Tania mencebikkan bibir, melepas pelukan pada Sasha lalu menuruti perintah sahabatnya itu. Tania mencuci wajahnya, merapikan penampilannya yang tadi sempat amburadul karena menangis. “Udah aman?”

Sasha menelisik menatap gadis di depannya itu dari ujung kepala hingga ujung kaki, tak lupa memutar – mutar tubuh Tania untuk memastikan penampilan gadis itu sekali lagi. “Oke, aman. Yuk keluar!”

Setelah keduanya kembali ke meja makan, Revan segera menanyakan keadaan Tania. Kekhawatiran terpampang jelas di wajah pemuda itu. “Gue gapapa,” ujar Tania.

Revan menggenggam tangan gadis yang duduk di sisi kanannya itu, tatapannya seolah menunjukkan ketidakyakinan dengan ucapan Tania barusan. Tania yang tidak tahan ditatap seperti itu dengan kesal memukul lengan Revan, matanya mulai berkaca – kaca. “Brengsek lo! Katanya gak akan ninggalin gue, kok malah mau ke Australia tanpa bilang – bilang.”

“Lo cinta sama gue, Tan?”

“Pake nanya!” murka Tania. Siapapun itu pasti dapat melihat rasa cinta Tania bahkan hanya dari tatapan saja, namun Revan malah mempertanyakannya.

“Ya udah, ayo balikan!” ajak Revan. Kali ini ia benar – benar akan memastikan jika mereka akan kembali menjalani hubungan seperti sebelumnya. Revan tak akan membiarkan Tania menolak lagi seperti yang sudah – sudah.

“Lo ngajak balikan disaat mau pergi?”

Revan terkekeh, ini semua gara – gara Keyra. “Bunda bohong, Tan. Gue gak ke Australia, gue tetap di sini sama lo.”

“Ha?” Tania bingung, jadi siapa yang benar? Ia seperti tengah dipermainkan. Jika Revan tidak ke Australia, jadi gunanya ia menangis tadi apa? buang – buang air mata saja.

Revan tersenyum melihat Tania yang terlihat bingung. Ini semua adalah rencana Keyra, padahal niat Revan adalah mengajak gadis itu balikan dengan cara biasa saja. Bicara dua mata dan intens, tapi Keyra dengan iseng melakukan hal seperti ini. Katanya sih biar lebih seru dan ada sensasinya. Agar Tania juga segera menerima pemuda itu lagi karena takut Revan benar – benar akan pergi. “Jadi mau kan balik ke gue? Jadi milik gue lagi, kita pacaran lagi. Kalau lo gak mau, gue beneran bakalan pergi ke Australia.”

“MAU!” sahut Tania cepat dan lantang, semua yang ada disana tertawa melihat reaksi gadis itu. Tapi Tania sama sekali tak peduli, ia tak ingin kehilangan kesempatan ini. Ia segera menepis jarak dengan Revan, memeluk pemuda itu dengan erat seolah takut jika dilepas sedikit saja akan langsung kehilangan.

Inesperado (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang