➳ o n e ✧

216 18 0
                                    

"Junhyeok, tunggu!"

Rei berlari cepat, ini bukan pertama kalinya ia harus begitu ketika mengejar langkah Junhyeok.

Pria yang ia suka, juga pria yang menjadi tunangannya.

Junhyeok didepannya berhenti berjalan, lalu berbalik dengan wajah jengah.

"Bisa gak sih, lo gak ngikutin gue terus?!" sentak Junhyeok pada Rei saat gadis itu berada tepat dihadapannya.

Rei terdiam, namun langsung tersenyum.

"Maaf, tapi gue udah lupa sama jalan ke kelas. Kelamaan dirumah sakit kayaknya, hahaha." ucap Rei.

Gadis itu jelas berbohong.

Walau puluhan minggu dihadapinya dengan bernaung dibawah ruangan serba putih yang didominasi oleh bau obat-obatan, gadis itu tak melupakan kenangan sekolahnya.

Junhyeok berdecak, kemudian berjalan lagi dan berusaha tak menghiraukan Rei.

Tapi Rei tetap mengikutinya.

"Hari ini pulang bareng yuk?"

"..."

"Junhyeok,"

"Jun?"

"Jun-aduh!" Rei meringis saat seseorang tak sengaja menabrak bahunya.

Pemuda berseragam serupa dengannya itu membantu Rei berdiri. Sementara Junhyeok melangkah semakin jauh.

"Lo gak papa?" tanya orang itu.

Rei menggeleng pelan dan tersenyum kecil,"Iya gak papa. Maaf gue gak liat-liat jalan." ucap Rei.

Tapi si pemuda pun menggelengkan kepalanya."Harusnya gue yang minta maaf, gue buru-buru tadi, mau ke perpus."

Ia menunjuk tumpukan buku yang ada dilantai. Beruntung tak berjatuhan saat keduanya bertabrakan tadi.

Rei mengangguk dengan canggung. Dirinya menatap ke depan dan menghela nafas panjang.

"Yaudah kalo gitu, gue duluan ya!" pamit si pemuda.

Melambaikan tangan pada Rei yang lebih asik melamuni kepergian Junhyeok.

"Mau sampe kapan kayak gini?" setelah kepergian lelaki pembawa buku, lelaki lain mendekati Rei.

Gadis itu berbalik dan tersenyum kecil."Hai, Ruto!" sapanya cerah.

Yang dipanggil ikut tersenyum lalu mengusap puncak kepala Rei.

"Sepupu gue kapan keluar rumah sakit? Om selalu bilang, lo gak ada waktu kalo buat gue. Sedangkan buat si bajingan itu, pasti ada aja." cetusnya terdengar kesal.

Rei memberengut sebal."Jangan ngomong kayak gitu tentang Junhyeok, Haruto. Lo tau, karena dia-"

"Karena dia lo bisa bertahan gitu? Ah bosen gue dengernya." pemuda tinggi bernama Haruto itu mencebik.

Pemuda itu kembali berbicara."Kedengeran banget bullshit-nya."

Rei lantas menundukkan kepala, ia berusaha tetap tersenyum tapi bibirnya bergetar.

"Ja-jangan ngomong gitu, Ruto..."

Haruto melirik Rei, lalu menarik nafas panjang. Ia merangkul perempuan itu, yang sudah ia anggap bak adik kandungnya sendiri.

"Jangan nangis, gue minta maaf."

Gak papa, kali ini gue nyerah aja. Lagian ngomong sama orang bucin juga buat apa?































"Denger-denger, sepupu lo udah keluar rumah sakit ya To?"

Haruto menoleh pada Jeongwoo dan mengangguk.

"Sepupu yang mana?" tanya Jungwon. Jeongwoo menunjuk salah satu figuran yang tertempel di dinding ruangan yang mereka tempati."Si Rei, siapa lagi."

"Oh, udah sehat lagi?" balas Jungwon cepat.

"Lumayanlah, udah sekolah juga hari ini." sahut Haruto sembari memainkan ponselnya.

"Gila, gue masih keinget gimana paniknya Ruto pas tuh cewek pingsan." tukas Baekseung, ia menatap Haruto yang kini balas menatapnya.

"Eh, peace boss."

"Untung masih bisa sekolah lagi ya?" celetuk Jeongwoo.

Haruto menoleh pada pemuda itu."Maksud lo?" tanyanya agak keberatan dengan kata-kata sahabatnya itu.

"Lo tau-penyakit kanker itu-hampir susah buat disembuhin, To." Jungwon berujar serius.

"Calon dokter kita nih!" puji Baekseung bangga. Jungwon mengangguk-angguk."Semua pengidapnya, cuma punya kemungkinan hidup lama sebesar, eum...berapa ya? Kayaknya gak sampe lima puluh persen deh." lanjutnya pesimis.

"Ya, gue gak keberatan buat fakta yang satu itu." Haruto melemaskan dirinya, dan kembali tenang.

Suasana pun tak lagi tegang.

"Lo yakin, dia udah sehat bener?" tanya Baekseung tiba-tiba.

Jungwon, Jeongwoo dan Haruto kompak menoleh pada pemuda itu. Jeongwoo jadi yang pertama mendekati Baekseung yang rupanya tengah mengamati keadaan lapangan sekolah dari jendela ruangan.

Ada Rei yang tengah berlarian mengejar-ngejar Junhyeok, dengan sebungkus plastik di tangannya.

"Maksud lo, dia gila?"

Jeongwoo amat merutuki mulut Jungwon. Untuk yang satu ini, ia tidak mendukung kejujuran Jungwon yang luar biasa berlebihan.

Tapi ternyata Haruto mengangguk dibelakang mereka. Pemuda itu juga melihatnya.

Ia menarik nafas dalam,"Dia sehat buat sekarang, kalo kalian tanya masalah kankernya. Tapi kalo masalah si Junhyeok-gak akan ada kata sehat buat Rei. Tuh anak emang udah obses sama Junhyeok kayaknya."

Baekseung berdecak pelan.

"Sayang ya, padahal dia cantik."

"Udah punya tunangan bego!" Jungwon memukul belakang kepalanya.

"Ya mengagumi dalam diam emangnya salah??" balas Baekseung tak terima.

Baru saja akan terjadi pertikaian, satu pemuda masuk ke dalam ruangan.

"Siapa yang mengagumi siapa nih?" tanyanya ikut penasaran.

Sedikit, tadi ia mencuri dengar apa yang teman-temannya itu bicarakan.

"Ini nih, si Baek."

Pemuda itu menatap Baekseung bingung."Bukannya lo lagi deket sama Youngeun ya?"

Baekseung menepuk dahinya pelan, salah satu kawannya ini memang tak pandai menyembunyikan rahasia.

"Gak usah deketin Rei, kalo gak mau gue gorok." ucap Haruto dengan tenang. Baekseung lah yang tak tenang.

Baekseung menelan ludahnya sulit, lalu berpamitan untuk pergi dari sana.

"Lo darimana Yong?" tanya Jeongwoo pada pemuda yang baru datang itu.

Pemuda itu tersenyum sambil melepas jas sekolahnya. Ia melemparnya asal sebelum duduk disalah satu kursi."Jadi babu guru, biasa."

"Naro buku lagi?" Jungwon memastikan, dan dibalas dengan anggukan.

"Kerajinan sih lo." cibir Haruto yang sudah menutup matanya.

Pemuda tadi tertawa pelan, dan menyandarkan kepalanya pada bahu kursi.

"Gak papa, yang penting nilai aman."

Jeongwoo berdecih,"Dasar penjilat."

"Kim Yeonkyu, si babu guru. Cocok juga." ucap Jungwon, iseng dan tertawa saat Yeonkyu memberikan tatapan datar padanya.

"Jangan berisik, gue ngantuk."

Dan Yeonkyu, mulai menutup matanya.

Because of you[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang