➳ t e n ✧

46 11 0
                                    

Rei menatap langit-langit kamarnya. Ia termenung. Kemarin, dia baru bisa pulang dari rumah sakit.

"Sakit mulu." keluhnya sambil sedikit memukul kepala.

Kepalanya masih saja berdenyut nyeri-itu membuatnya tak mampu melakukan apapun selain berbaring dan memperhatikan televisi kalau sangat-sangat bosan. Ponsel untuk sementara waktu, dijauhkan darinya terlebih dulu.

Rei tidak suka berada di kondisi ini. Tentu saja, Rei ingin segera kembali ke sekolah jika keadaan memungkinkan. Setidaknya dia tidak sendiri saat berada di sekolah.

Membayangkan kembali kegiatan bersekolah membuatnya mengingat Won Bin dan Wonyoung.

Rei tersenyum kecil.




















"Reiii! Ayok jajan, jangan cemberut terus, cemungutt!!"

"Ayoo Reeii! Masa gini aja udah nyerah, katanya Junhyeok cinta yang akan selalu kamu kejar!"

"Cinta-cintaan mulu lo, inget masih piyik!"

"Tinggi gue 173 kalo lo lupa! Gue bukan piyik!"

Setelahnya, Wonyoung dan Bin saling mengejar lalu berusaha untuk mendorong satu sama lain. Berusaha untuk menghibur Rei yang lagi-lagi tak ditanggapi oleh Junhyeok.

Rei tertawa kecil. Melihat mereka yang berusaha untuk membuatnya tersenyum lagi, Rei terenyuh. Dia mau tak mau berhenti bersedih dan bergabung dengan kedua sahabatnya itu.

"Hahahahaha! Liat Rei, rambut Wonyoung kayak rambut nenek sihir, gimbal! Hahahaha!"

"WOONNN BIINNNNNN!!!"
















Tapi sekarang-tidak ada lagi Wonyoung dan Bin karena mereka tidak bertemu. Wonyoung dan Bin pun sedang disibukkan oleh urusan sekolah, tak memiliki waktu senggang untuk menjenguk Rei meski mereka ingin.

Rei menghela nafas lalu menyeka air matanya lembut.

"Mamah, aku takut...aku masih belum mau nyusul mamah. Maafin aku, tapi banyak hal yang belum aku capai. Kalau aku pergi sekarang, besok atau lusa, di tempat Mamah nanti, aku pasti gak akan bisa tenang." monolognya sedikit mengisak.

Denyut di kepalanya semakin menjadi-jadi, Rei ketakutan. Ia meremas selimutnya kuat-kuat, dan menggigit bibir bagian bawahnya.

"Papah...Rei, mau bahagia sama papah. Rei..gak mau sakit terus.."




Karena tak kuat menahan rasa sakit dalam kepalanya, Rei membiarkan rasa kantuknya menguasainya dan ia menutup mata hanya agar sakit itu pergi dari dalam kepalanya.





















































BRAK!

Sebuah bola basket memantul pada papan dibelakang ring, gagal masuk sehingga tak bisa mencetak poin.

Junhyeok meringis dan berdecak. Akhir-akhir ini fokusnya terbagi-bagi.

Tentang sekolah, tentang perjodohan juga tentang Rei sendiri.

Junhyeok ingin Rei berhenti. Junhyeok pun tidak bisa ditinggal lagi. Tapi untuk menerima, Junhyeok juga mengalami kesulitan. Junhyeok tidak bisa berada pada posisi yang sama, sebanyak dua kali.

Satu kali itu sudah cukup menyakitkan. Dua kali? Mungkin Junhyeok akan memilih untuk ikut mati jika ia menyukai Naoi Rei lalu ditinggal pergi.

"Coba pake perhitungan dong." Yeonkyu tiba-tiba muncul. Mendekatinya dan mengambil bola yang dibawa oleh Junhyeok.

Pemuda itu mendribble bola, lalu membawanya ke dekat ring. Yeonkyu melakukan jump shoot, dan berhasil mencetak poin. Junhyeok berdecih melihatnya.

"Rumusnya gampang." kekeh Yeonkyu.

"Kenapa lo selalu ikut campur?"

"Maybe, karena gue peduli..."

"Sama gue? Heuh-" tanya Junhyeok lalu mendengus geli. Tapi Yeonkyu pun segera menjawab.

"..Sama Rei."

Yeonkyu menatap Junhyeok dengan wajah datar.

"Tapi gue juga peduli sama lo. Seenggaknya, Rei berusaha buat ada disamping lo selama ini. Jangan lo pikir gue gak tau, siapa yang udah bantu lo move on dari Bae. Rei nganggap lo segalanya yang bisa bantu dia membaik, kalo sejujurnya dia boleh ngomong, dia juga gak mau jadi kayak gini karena lo. Jangan terlalu meninggi, coba untuk merendah sedikit. Langit gak akan pernah bisa lo capai."

Setelah itu Yeonkyu pergi dari sana, membuat Junhyeok diam sambil mengepalkan tangannya erat. Junhyeok kemudian berdecih dan melempar bola basket sekuat tenaganya, membuatnya melambung ke arah tembok dari lapangan basket indoor di sekolah mereka.

Ia juga ikut pergi setelah berhasil mengeluarkan segala emosinya.











































"Om, Rei masih bisa sembuh, kan??" Haruto menatap pintu kaca yang menghalanginya untuk bisa bertemu Rei, yang saat ini sedang mendapat penanganan dokter.

Sejak tadi sore, gadis itu pingsan. Dan saat dibawa ke rumah sakit, dokter Ji Changmin menyatakan jika kondisi Rei cukup buruk.

Ini membuat Haruto dan ayahnya panik, cemas dan resah.

Mereka takut kalau kehilangan lagi.

"Om..." ayah Rei yang ingin berbicara, jadi urung. Ia tak kuasa dan hanya membiarkan tetesan air matanya membasahi pipi.

Padahal, niat mereka malam ini adalah membuat pesta barbeque sebagai salah satu agenda yang ingin dilakukan oleh Rei. Namun sayang seribu sayang, tak akan ada pesta barbeque sepertinya. Kondisi Rei sudah tidak memungkinkan.

Haruto sendiri melihat pamannya, ia merasa pesimis. Tapi Haruto enggan menyerah. Tujuh hari ini cukup berat. Ia menahan diri untuk tidak menghajar Junhyeok yang sama sekali tidak peduli pada Rei, juga untuk tidak mempertanyakan kondisi Rei agar ia bisa bertanya sendiri pada Rei.

Tapi jika sudah begini, mau bertanya bagaimana? Gadis itu tak terlihat akan segera bangun.

Lalu saat dokter Changmin keluar, Haruto dan pamannya buru-buru mengerubungi lelaki itu.

"Kondisi Rei belum sepenuhnya membaik, tapi untuk sekarang tidak kritis. Saat ini Rei sedang mengalami koma sementara, saya tidak bisa memastikan kapan Rei akan bangun, tapi kemungkinan secepatnya, begitu pun dengan harapan saya. Saya permisi pak." pamitnya setelah memaparkan kondisi Rei.

Dokter Changmin terlihat begitu terburu-buru. Sehingga Haruto yakin, jika lelaki itu memiliki pasien lain yang cukup penting juga.

Tak lama, dua perawat menyusul sambil membawa brankar Rei, memindahkannya kembali ke kamar inap.

Sepanjang perjalanan, Haruto terus menggenggam tangan Rei, enggan melepasnya.

"Lo harus sehat pokoknya, Rei. Gue gak mau liat lo kayak gini terus.." gumamnya nanar.

Because of you[✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang