Sendiri di halte bersama hembusan angin, langit semakin mendung tak ada matahari yang menyinari. Prim menatap jarum jam di pergelangan tangannya, gadis itu mencari cari taxi tapi tak kunjung datang.
"Prim bareng gue yuk?" tanya Alga yang berhenti secara tiba tiba.
"Nggak Kak, nanti ada yang lihat jadi gosip."
"Udah mau ujan loh, masih mikirin ini bakal jadi gosip?" tanya Alga seolah olah membujuk.
"Iya sih, yaudah Prim nebeng yah."
Hari itu Alga merasa menang dari Gibran, akhirnya ia bisa membocengi Prim untuk yang kedua kalinya. Gadis itu memperhatikan jalan ketika motor melaju, kedua mata Prim seketika berhenti pada seseorang yang sedang mengayuh sepeda.
"Gibran."
"Mana?" tanya Alga.
"Itu tuh di depan."
"Mau bareng Dia?"
"Nggak Kak."
Prim menoleh sembari memanggil nama lelaki itu, gadis itu melambaikan tangan kepada Gibran setelah melewatinya. Namun Gibran tetap memandang Prim begitu datar.
***
Rasa sakit di kepalanya kembali kambuh, selain itu Prim mendadak tak bisa menggerakkan tangan kirinya. semuanya terasa menyerang bersamaan, teringat kembali moment saat Zein sedang di serang rasa sakit. Penyakit yang di deritanya itu sungguh bukan penyakit biasa pada umumnya, penyakit itu perlu pengobatan yang sangat rutin. Karena menurut yang sudah Prim baca di internet, ia mengalami penyakit kanker otak.
"Kak Jeff." lirihnya pelan bangkit dari tempat tidur.
Prim tidak tahu harus apa, penyakitnya kambuh saat jarum jam menunjukkan pukul 1 malam. Sudah 20 menit ia merasakan itu. hingga pukul setengah 2 sakit nya memudar. Gadis itu menyembunyikan tangisnya di kamar sendiri.
"Ya Allah Prim nggak mau gini."
Prim berjalan menuju toilet ia mengambil air wudhu, mungkin dengan shalat malam ia bisa tidur dengan nyenyak tanpa adanya rasa sakit yang kembali menyerang. Prim sangat ingin melepaskan penat yang selama ini ia simpan. Terasa capek? Iya itu pasti. Berusaha baik baik saja itu tidak mudah, tapi Prim begitu pintar memerankannya. Tidak semua orang pandai seperti Prim, menangis di balik kata Tidak apa apa,
***
Prim turun dari tangga, ia kembali mengenakan seragamnya, gadis itu di sambut hangat oleh Jefri. Kakaknya yang terbilang menjengkelkan tapi perhatian terhadap adiknya tak pernah hilang. Aneu tersenyum memperhatikan kedua anaknya terlihat akur.
"Halllooo Prim sini sarapan dulu." ata Jefri.
"Siapa yang masak?"
"Roti buatan gue, susu nya bikinan Mama."
"Mama nggak jualan?"
"Mama lagi nggak enak badan aja sayang, tiba tiba Mama pusing."
"Mama kecapean mungkin yah? Yaudah istirahat yang cukup ya Mama."
"Prim mata Kamu sembab gitu, Jujur sama Mama. Kenapa?"
"Lo habis nangis ya?"
"Nggak, Prim nggak apa apa. cuma tadi malem Prim habis gadang jadinya kurang tidur."
"gadangin siapa lo? Gibran?"
"Tugas Kak."
Pintar sekali bukan gadis itu, seolah olah tingkahnya tidak ingin membuat orang rumah khawatir. Sedikit terdengar bodoh, rela menyembunyikan rasa sakitnya demi menghindari beban untuk orang orang di sekitarnya. Prim tidak ingin menjadi perempuan yang tidak berguna hanya karena penyakit yang di deritanya. Seusai pulang sekolah pun Prim akan konsul ke dokter sendiri.
Prim kalau kamu punya masalah cerita ya sama Mama. Kamu udah lama nggak cerita panjang sama Mama.
"Siap Mama. Nanti Prim cerita ya."
"Gibran lagi pasti. Sambung Jefri."
"Cemburuan banget sih Kak Jeff. Makanya cepet punya calon, biar nggak sibuk ganggu adiknya." ledek Prim.
"Heh. Sini lo!!" ucap Jefri seketika menghampiri Prim, gadis itu berlari pelan menghindari serangan dari Jefri.
Tiba tiba kepalanya terasa sakit lagi, Prim terdiam lalu duduk kembali di kursi meja makan. Ia menghela nafas, memejamkan matanya sekejap. Mendengar Jefri yang terus mengocenh kemudian mencubit kedua pipi Prim, tapi Prim tidak mencoba membalasnya. Prim langsung berlari ke toilet dengan kepalan tangannya yang sedang menahan rasa sakit di kepalanya.
"Prim.." panggil Jefri melihat keanehan pada tangkah Prim.
"Prim nggak kuat mau buang air besar dulu Kak."
"Anjir, jijik gua."
Di dalam toilet Prim mengacak ngacak rambutnya hingga berantakan, karena apa? karena sakitnya terlalu menekan kepala dirinya. Tubuhnya seakan menjadi lemah tak berdaya, apa yang harus ia lakukan? Padahal jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah 7. Terlambat lagi? tentu, tapi itu sudah menjadi kebiasaan seorang Prim. di toilet ia hanya sedikit ingin menenangkan dulu sampai sakit di kepalanya benar benar hilang.
***
Ternyata memang benar Prim masuk sekolah terlambat, sudah hampir setengah 8 ia menunggu gerbang terbuka, Hamid sebagai satpam di sekolah tetap tidak memperbolehkan Prim masuk meski rasanya tidak tega.
"Pak Hamid, nanti Prim kasih bekal deh. Gimana?"
"Bekal apa?"
"Ini Prim punya dua bekal roti keju plus susu kotaknya. Yakin nggak mau?"
"Ah Prim Kamu bisa aja menggodaku dengan makanan kau itu, yasudah Bapak coba buka gerbangnya."
Prim tersenyum lalu memberikan satu kotak berisi bekalnya, padahal itu akan ia beri kepada Gibran. namun dirinya masih memiliki satu bekal lagi untuk di berikan kepada Gibran. gadis itu berlari kencang melewati lapangan.
"Assalamualaikum." Ucap Prim mendapati Jeni yang tengah mengajar.
"Prim kesiangan Kamu?" tanya Jeni.
"Iya Bu soalnya macet, maaf ya Bu.*
"Yasudah duduk Kamu."
"Untung bukan Pak Muhtar yang ngajar?" ucap Bella,
"Prim demen banget kesiangan, Gibran nggak ngajak lo bareng emang?" ledek Apin.
Terlihat Prim melihat Leo yang sudah mulai masuk sekolah, dan itu hari pertamanya kembali masuk lagi bergabung di kelas itu setelah beberapa hari di rawat di rumah sakit.
"Leo." ucap Prim melambaikan tangan.
"Prim."jawab Leo tersenyum melihat Prim.
Prim senang melihat Leo Kembali belajar, karena jika bisa di bilang Leo sudah ia anggap sebagai teman dekatnya oleh Prim
.
.
.
.
.YUUKKK LANJUT, DUKUNG TERUS CERITA INI YA.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIBRAN UNTUK PRIMILLY
RomanceMencintai manusia paling cuek bukanlah keinginan Prim, tapi di cintai oleh Gibran adalah impiannya. "Senyumnya jangan sering di lihatin ke orang orang Gibran, buat Prim aja." "Kenapa?" "Senyum Gibran bikin mereka lupa diri. padahal kan Gibran udah...