Dalam keheningan malam Prim menelan 2 obat tablet, ia bersembunyi di kamarnya tanpa di ketahui Aneu dan Jefri. Meminum obat sudah menjadi hal yang wajib ia lakukan. Kalau tidak, itu sama saja memperparah kondisinya. Paling tidak obat tersebut cukup membuat rasa sakit di kepalanya mereda, walaupun entah sampai kapan ia akan bergantung dengan obat itu.
Padahal penyakit yang di derita Prim seharusnya lebih melakukan kemotherapy bukan selalu meminum obat yang hanya sekedar berfungsi sebagai pereda bukan penyembuh.
"Prim kamu lagi apa?" tanya Aneu tiba tiba masuk ke kamar putrinya itu.
"Mama." Prim terkejut ketika tatap matanya menatap Aneu. gadis itu segera menyembunyikan obat tersebut ke bawah bantal tidur.
"Kamu kok belum tidur?"
"Mama kenapa belum tidur?"
"Mama tiba tiba kepikiran Kamu."
"Prim baik baik aja Mah, apasih yang Mama pikirin?"
"Kamu beneran nggak apa apa?"
"Nggak Mah, emang Mama kepikiran apa tentang Prim?"
Aneu menatap kedua bola mata Prim, gadis itu tidak ingin menatap sang ibundanya terlalu lama. ia mengalihkan pandangannya ke arah layar ponsel. Prim menunjukkan sebuah gambar di ponselnya mengenai kegiatan camping. Aneu tersenyum setelah mendapatkan garis senyum di bibir anaknya.
Aneu sangat mengetahui hobi sang anak, yang merupakan hobi Zein juga. Mendaki gunung adalah kebahagiaan Prim, baginya dari kecil Prim sangat senang mendaki gunung. Tidak pernah mengeluh ketika mendaki ke daratan tinggi, ia sangat menikmati perjalanannya. Tentu saja mengingat moment tersebut, Aneu mendukung keinginan putrinya itu.
"AAAAAA MAKAASIH MAH."
"Iya sayang, asalkan Kamu jangan lupakan perutmu."
"Siap Ibu komandan!"
Jefri yang tak sengaja mendengar percakapan Prim dan Aneu langsung menghampiri tanpa permisi. ia menggelengkan kepalanya, tidak menerima apa yang di izinkan oleh Aneu. lelaki itu masih berdiri di depan Prim, matanya menatap Prim kesal. hingga Prim mendongak lalu mencolek lengan Aneu sebagai isyarat mengadu.
"Jefri duduk Kamu."
"Mah, kenapa Mama izinin Dia?"
"Ya nggak apa apa, itu kan hobi Dia dari dulu. Papa juga sering ajak Kamu kan, tau dong gimana Prim seneng mendaki?"
"Jefri tetep nggak izinin Prim Mah." Jefri tidak ingin mendengar permohonan Prim, ia berlalu dari keberadaan mereka.
"IH KAK JEF---"
"STOPP! GUE NGGAK MAU DENGER OMONGAN LO." teriak Jefri setelah keluar dari kamar adiknya itu.
"MAMAAAAAAA." Prim merengek manja kepada sang Mama.
Aneu mengangguk pelan, meyakinkan gadis itu untuk tetap tenang. Sementara itu Aneu menyusuli Jefri ke ruangan keluarga. Aneu mencoba memberi pengertian kepada Jefri, agar tidak terlalu mengekang adiknya.
Jefri bukan mengekang sebagai kakaknya, tapi ia selalu mengingat amanah Zein bahwa dirinya harus benar benar menjaga Prim. secara tidak langsung ia menjadi penanggung jawab keluarga setelah Zein tiada. Namun Aneu menepis pikiran Jefri yang selalu bersembunyi di balik kata amanah Zein. Aneu mengubah pikiran Jefri agar lebih bisa membedakan mana mengekang, mana menyayangi.
***
Di temui di rumah sakit, Prim melihat Emily. kini ia sedang duduk di kursi roda sembari membaca sebuah buku. Prim menghampiri gadis itu yang sedang di temani Ayahnya, Prim tersenyum saat Emily menyapa dirinya. Ayah dari perempuan itu menyambut Prim sangat baik, senyuman Ayah dan anaknya sangat sama.
Teringat seketika saat Prim tersenyum bersama Zein, keluarga dari Zein selalu mengatakan keduanya sangat mirip saat tersenyum. Ah sungguh itu menjadi moment yang paling di rindukan oleh gadis pemilik nama Primilly itu.
"Kamu lagi ngapain disini?" tanya Emily.
"Nggak, Prim abis nengokin temen." Prim berbohong pada Emily, padahal
ia sedang kontrol soal penyakitnya. Karena obat yang ia makan sudah hampir habis."Ohh gitu, hmm Gibran kemana?"
"Gibran lagi anterin Lala, katanya mau kursus balet."
"Lala siapa?"
"Adeknya Gibran."
Emily mengangguk pelan setelah tahu kabar Gibran.
Emily sangat merindukan lelaki itu, lelaki yang memiliki hobi yang sama dengannya. Sudah 8 hari ini Emily tidak lagi bertemu dengan Gibran. padahal biasanya Gibran selalu menyempatkan waktu sepulang sekolahnya ke rumah sakit untuk menemui Emily.
Prim meminta agar Emily tidak terlalu memikirkan Gibran, karena itu bisa membuatnya lelah. Prim sebetulnya cemburu ketika Emily membahas soal Gibran, apalagi ketika Emily mengatakan rindu dengan lelaki itu.
"Prim kamu sekolah dimana?" tanya Beni, ayah Emily.
"Di SMA NIGRAYA Om."
"Satu sekolah sama Gibran Pah." sambung Emily.
"Ohh satu sekolah."
"Lebih tepatnya satu kelas juga."
"Wahh, kalau gitu Prim bisa kan sampein sesuatu buat Gibran?"
"Apa?"
Emily merobek selembar kertas yang sedang ia genggam sedari tadi, meski tangannya kesulitan untuk bergerak. Gadis itu berusaha menulis surat rindu untuk Gibran.
Prim menatap Emily kesal, tapi ia tidak bisa menunjukkan rasa kesalnya kepada Emily. Entah mengapa, ia sulit marah kepadanya. Mungkin karena kondisi Emily yang lebih rapuh dari dirinya atau mungkin Emily sangat baik kepadanya, sehingga ia tidak tega kepada Emily. Lagi pula Prim tidak berhak marah, karena Gibran belum resmi menjadi pacarnya Prim.
Prim tersenyum ketika sebuah surat yang di buat Emily itu sudah berada di genggaman tangannya. Prim mengangguk pelan saat Emily meminta untuk menyampaikan surat itu kepada Gibran. gadis itu mengarah ke arah jarum jam di pergelangan tangannya, ia memohon pamit kepada Beni dan Emily seusai bercerita singkat dengan keduanya.
Prim memperhatikan surat yang baru saja Emily tulis, di hatinya sedikit terbesit rasa penasaran denga nisi surat tersebut. Rasanya tidak sopan jika ia membuka tanpa izin, Prim akhirnya menjaga surat itu di dalam totebagnya sampai surat itu benar benar ada di tangan Gibran.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.HAYO GIMANA INI? APA MAU JADI TIM GIBRAN- EMILY? YANG JELAS HARUS DUKUNG TERUS CERITA INI. MAKASIH.
KAMU SEDANG MEMBACA
GIBRAN UNTUK PRIMILLY
RomansaMencintai manusia paling cuek bukanlah keinginan Prim, tapi di cintai oleh Gibran adalah impiannya. "Senyumnya jangan sering di lihatin ke orang orang Gibran, buat Prim aja." "Kenapa?" "Senyum Gibran bikin mereka lupa diri. padahal kan Gibran udah...