"Ga niet allen Alec," kata Ibunya yang melarang Alec pergi sendiri.
"Ik wil haar ontmoeten," jawab Alec yang kumat keras kepalanya berkata dia ingin menemui Jully dalam bahasa Belanda.
Aline, ibu Alec tentu tidak ingin membiarkan putranya pergi sendirian melintasi samudera ke benua lain. Ibunya ingin mendampingi tapi kesehatannya tidak dalam keadaan baik, ayahnya juga tidak bisa meninggalkan ibunya juga pekerjaannya. Alec sudah tidak bisa dinasehati, ayahnya ingin mempekerjakan detektif saja mencari keberadaan Jully. Tapi jiwa polos Alec menolak mentah-mentah, dia ingin mencari anak dan istrinya di Aussie. Padahal bekal dia juga tidak banyak, Alec hanya tahu alamat apartemen Finn saja, tidak lebih.
"Wees niet koppig Alec," kata ibunya yang memperingatkan putranya agar tidak keras kepala.
"Bu, Alec hanya mau jemput Jully saja," kata Alec memelas meminta restu.
"Pergilah son, jemput istrimu. Tapi ayah tidak akan membiarkan kamu pergi sendirian. Pak Rajev, salah satu asisten ayah akan ikut bersamamu," kata ayah memberi solusi.
"Heel erg bedankt," balas Alec berterimakasih.
"Baiklah, pergilah sayang. Ibu bantu mengemas kopermu," kata ibunya akhirnya mengijinkan.
Ayah memeluk Ibu sebentar dan membisikkan kalimat yang menguatkan, putranya bila mempunyai keinginan memang tidak bisa dicegah. Dan lagi Alec sedang menunjukkan tanggung jawabnya sebagai seorang suami juga ayah. Tentu tidak sepatutnya keluarganya terlalu ikut campur segala keputusannya. Ayah hanya menyiapkan fasilitas saja untuk mempermudah mereka. Ayah segera menelpon asistennya, memintanya mempersiapkan segala tiket juga keperluan semua akomodasi selama di Melbourne.
"Kamu pergi sayang?" sapa Ibu ketika semua sudah siap.
"Ik zeg dag," pamit Alec kepada ibunya.
"Hati-hati sayang, Ibu akan tunggu kamu pulang," kata Ibu memeluk putranya.
"Jagoan, hati-hati Nak. Kalau perlu apa-apa telpon saja, ayah akan menyusul." Ayahnya memeluk putranya erat.
Alec tidak sempat mengucapkan banyak kalimat perpisahan, isi kepalanya hanya Jully seorang.
***
Tapi tentu saja tidak berjalan dengan lancar. Finn dengan rapat mengunci mulutnya. Amanat yang diberikan oleh Jully dia pegang dengan erat. Lagi pula Finn senang melihat Alec demikian menderita, setiap weekend berkeliling Melbourne hanya untuk mencari Jully. Finn hanya mengejek dalam hati, anak 13 tahun yang keras kepala. Finn ingin sekali menghajar anak itu setiap dia menampakkan batang hidungnya, tapi urung. Dia lebih menikmati Alec yang marah dan berteriak seperti orang gila. Finn menyiksa Alec secara psikologis, hal itu pantas dia dapatkan setelah apa yang dia lakukan kepada Jully.
Hingga bulan berganti Alec masih saja berotasi mencari Jully, entah kenapa dia seperti ditelan bumi. Dan makhluk kurang aja ini demikian rapat mengunci mulutnya. Alec tahu dia memang bersalah, tapi Jully sudah memutuskan pergi bahkan ketika Alec belum sempat mengucap maaf. Beban yang berada di pundaknya begitu berat. Teman seumurannya sedang asyik mengoleksi die cast atau balapan liar, tapi Alec sudah kesana kemari mencari istrinya.
"Finn, please let me know, where is Jully?" tanya Alec menanyakan keberadaan Jully.
"Kenapa tanya aku? Bukankah kamu suaminya??" tanya Finn dengan sinis.
"Jully pergi, aku sudah bilang berkali-kali," kata Alec masih keras kepala.
"Bagaimana dia bisa pergi? Apa yang sudah kamu lakukan bocah?" tanya Finn dengan senyum yang sulit diartikan.
"Aku ... memang salah, aku mau ketemu Jully, minta maaf dan memperbaiki semuanya." Alec mengungkapkan keinginannya.
"Terlambat," jawab Finn enteng.
"Kamu yang mengulur waktu!" balas Alec yang sudah emosi.
"Hak kamu sudah hilang waktu kamu mengusirnya bocah," kata Finn dengan tenang.
"Aku gak pernah mengusir Jully Finn, waktu itu emang kami bertengkar dan kalimat itu meluncur gitu aja. Aku mau minta maaf," jelas Alec berharap kakak iparnya mengerti.
Finn tersenyum sinis saja, bicaralah terus Alec. Sampai kapanpun telinga ini akan dengan senang hati mendengar kepiluanmu. Finn tertawa terbahak di dalam hatinya, baru kehilangan istri dan anak sudah seperti orang gila, seharusnya itu sepadan, karena Jully juga kehilangan banyak hal yang berharga karena iblis kecil ini. Betapa menyenangkannya melihat Alec begitu memelas memohon seperti ini, berucap maaf hingga berapa kali pun, tidak akan merubah apapun. Di mata Finn, Alec tetap seorang berandal kecil kurang ajar.
"Masuklah, duduk." Finn akhirnya membuka pintu dengan lebar.
"Jully ada di dalam?" tanya Alec penuh harap.
"Tentu saja tidak, duduk saja. Mau kopi?" tawar Finn berpura-pura ramah.
"Aku gak mau minum apapun buatan kamu," jawab Alec dengan kesombongan seperti biasanya.
"Baguslah, aku jadi tidak perlu repot," jawab Finn setelah menenggak minumannya.
"Di mana Jully?" tanya Alec lagi.
Finn hanya kembali melirik sinis dan pergi ke kamarnya sebentar, meninggalkan Alec yang masih menatapnya dengan tanda tanya yang besar. Apartemen ini begitu sepi, tidak ada tanda-tanda seorang ibu hamil berada di sini. Alec tidak menghiraukan smartphone di kantongnya yang terus bergetar. Alec lebih tertarik menunggu Finn yang baru kembali dari kamar dengan membawa sesuatu dan di letakkan di meja di hadapan Alec.
"Tanda tangani!" perintah Finn kepada Alec.
"Apa itu?" tanya Alec sedikit curiga.
"Surat cerai," jawab Finn dengan santai.
"Kau ... ?!" Alec memekik marah sementara Finn tertawa senang.
"Tanda tangani, dan pulanglah bocah kecil. Beli sekantung kelereng dan bermainlah dengan anak sebayamu. Jangan main perempuan!" kata Finn menusuk hati.
"Verdomd!" Alec memaki.
"Bicara apa kau? Aku tidak paham," kata Finn mengejek.
"Buughhh ... !" Sebuah pukulan mendarat di wajah Finn.
"Bocah sialan!" maki Finn ikut tersulut emosi.
Finn segera bangkit dan membalas pukulan Alec. Mereka berdua sudah sama tersulut emosi, gesekan kecil saja bisa memercikkan api. Alec yang unggul dalam taekwondo dengan mudah menjatuhkan finn. Tapi Finn tidak menyerah begitu saja, amarah yang dia pendam sejak lama kini tersalurkan. Finn berusaha membalas dan menghajar Alec habis-habisan. Keduanya sama-sama tidak ada yang mengalah, sementara smartphone Alec terus saja berbunyi.
Finn tertawa mengusap sesuatu yang merah mengalir dari sela bibirnya, bocah ini tidak bisa dia anggap enteng. Selain sombong juga keras kepala, ternyata dia juga jago bertarung. Berulang kali Finn harus susah payah menangkis serangan anak ini, wajahnya memar dan tidak jauh beda dengan Alec. Keduanya babak belur tapi tetap tidak ada yang mau mengalah. Hingga akhirnya smartphone Alec terjatuh dari kantong.
"Ayah?" gumam Alec yang urung menghajar Finn, ada 31 panggilan tidak terjawab.
"Angkat telponmu anak kecil, jangan menambah beban orang lain lagi," bisik Finn mengejek dengan kebenaran.
"Diam kau!" Sembur Alec dengan emosi dan bangkit mengambil smartphone itu. "Ya Ayah," kata Alec dengan smartphone di telinga.
"Alec, kemana saja kau Son? Pulanglah," suruh ayahnya dari telepon.
"Urusan Alec belum selesai Yah," kata Alec beralasan, Jully masih belum Alec temukan.
"Tapi ibu sakit, terbanglah malam ini. Ayah akan urus semua keperluan kamu, ayah tunggu ya Nak," kata ayah yang kemudian menutup telponnya.
Alec terdiam, ibu sakit?
Kesehatan ibu memang menurun belakangan ini, tapi ini berlebihan.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mommy, Please Say Yes !
RomanceProses terbit. Red Diamond Publisher. Open PO, Oktober 2024. * * * * * Mencicipi dosa ketika masih di bangku SMP menjadikan Alec dan Jully menjadi orang tua di usia yang masih belia. Pernikahan terlalu dini yang digelar tidak menyelesaikan masalah...