Tak ada yang perlu disalahkan, ini sudah terjadi dan terlanjur ruwet. Seperti kaca yang sudah retak, menyatukannya lagi tak akan membuatnya sempurna. Belum lagi luka yang mungkin akan ada, entah fisik juga hati. Aleccia dititipkan kepada Finn untuk mengalihkan perhatiannya. Sejak pagi dia berteriak memprotes kenapa bapaknya tidak menelpon dan juga tak bisa ditelpon. Pikiran Jully semakin ruwet seperti benang kusut.
"Mau apa? Kemana? Aku bantuin duduk," tawar Jully.
Alec menggeleng, "Aku bisa sendiri," jawabnya.
"Aku ... harus pastikan kamu napas yang bener, bukan pendek-pendek seperti itu. Seperti kata Anggi," kata Jully.
"Gak perlu, aku bisa sendiri," jawab Alec.
"Kamu, gak mau kubantu?" tanya Jully.
Alec menggeleng dan tersenyum, "Aku bisa sendiri Jully."
Jully hanya bisa melihat dari tempatnya berdiri, Alec sedang membetulkan posisinya dengan susah payah. Jelas sekali terlihat betapa tersiksanya ketika dia menarik napas sesuai dengan permintaan dokternya. Kembali Jully tak diijinkan menyentuhnya, hanya bisa menatap Alec menggeser tangannya memegangi dada kiri ketika mencoba mengambil napas lagi. Rasanya tak tega, tanpa sengaja Jully memegang tangan Alec yang masih memegangi dadanya.
"Gak perlu Jully, aku bisa menanggungnya sendiri," kata Alec pelan.
"Gak perlu ditahan kalo gak mampu Alec," kata Jully sedih.
"Aku mampu, sesakit apapun ini milikku sendiri." Alec bicara dengan dingin.
"Akan ku minta pereda nyeri," kata Jully.
"Gak perlu, mungkin aku juga perlu merasakan sakit, agar semua orang paham kalau aku juga manusia seperti mereka." Alec lirih berkata.
"Alec bicara apa kamu?" tanya Jully tercekat.
"Bicara apa? Bukankah ini yang kalian inginkan? Menghukumku sampai mana ujungnya aku sendiri tidak tahu?" tanyanya setengah emosi.
Jully memandang lelaki yang terbaring itu, yang belasan tahun lalu pernah menghamilinya dan semua merumit dengan segera. "Alec kamu bicara apa?"
"Aku tahu, aku salah. Sudah berapa lama aku coba perbaiki semua. Kamu pergi, aku susul ke rumahmu tapi kamu ada di mana? Kamu ke Aussie, aku susul kamu juga ke sana. Kamu ada di mana? Berapa lama kamu juga menghukumku? Aku menyesal, aku minta maaf, seandainya ada yang perlu aku lakukan kalian tinggal bilang. Tapi rupanya kalian lebih suka menyiksaku." Alec berusaha mengambil napas lagi, sakit.
"Alec tidak begitu," balas Jully.
"Selama ini, kalian anggap aku brengsek kan? Termasuk kamu. Berapa kali aku minta maaf, ada kah kesempatan yang kalian beri? Kamu beri?" tanyanya memandang nanar ke depan.
"Aku, maafin kamu kok. Sungguh," jawab Jully.
"Aku tau aku memang brengsek, bukankah kalian semua tahu aku brengsek? Semua juga bilang aku brengsek?" tanyanya. "Maaf, kamu memang sudah beri. Kamu memeluk, juga menusuk, kamu menarik, kamu mengulur. Aku sudah payah berkali-kali, apa kali ini aku juga harus sembuh biar bisa kamu sakiti lagi?"
"Lec," gumam Jully dengan perasaan tak karuan.
"Semua yang buruk sudah melekat erat padaku, aku juga sudah berusaha semampuku. Tapi aku bisa apa? Tetap saja aku tak bisa mengubah masa lalu." Alec kembali dikuasai emosi.
"Gak ada yang bisa ubah masa lalu Alec," kata Jully berusaha mengimbangi.
"Seandainya aku memeras habis darahku, apakah cukup? Apa cukup bagimu? Atau kalian masih minta hal yang lain? " tanya Alec perlahan dengan pandangan putus asa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mommy, Please Say Yes !
RomanceProses terbit. Red Diamond Publisher. Open PO, Oktober 2024. * * * * * Mencicipi dosa ketika masih di bangku SMP menjadikan Alec dan Jully menjadi orang tua di usia yang masih belia. Pernikahan terlalu dini yang digelar tidak menyelesaikan masalah...