10. Awal

3.1K 322 52
                                    

Alec menghajar sandsack yang berada di depannya, hatinya sakit, terluka dengan parah. Kekecewaannya sudah tidak berarah, bertubi kehilangan itu begitu memberatkan hidupnya. Cintanya kepada Jully itu besar, tapi tertutupi oleh ucapan kasar di pertengkaran terakhir itu. Mengapa sama sekali tidak ada maaf. Alec sudah berusaha mencari hingga berbulan lamanya, tapi kenyataannya dia hanya memeras keringat, darah dan airmatanya sendiri.

"Alec berhenti Nak," panggil ayah ketika mengetahui putranya menghajar sandsack sejak siang hingga sore.

Alec tidak menjawab, pukulannya kembali menghantam sandsack itu hingga berayun. Luka ini entah dengan apa bisa dijelaskan, masih terbayang di pelupuk matanya. Ibunya yang cantik, cinta pertamanya, pujaan hatinya, disaat Alec membutuhkannya juga malah pergi. Kepergiannya juga serupa dengan Jully, tanpa pamit juga tanpa pesan. Jiwa Alec remuk redam, di usianya yang baru menginjak 14 tahun hidupnya sudah begini berantakan.

"Ayah juga merasa kehilangan, tapi kita gak boleh hilang kewarasan. Hidup masih harus tetap dilanjutkan, habiskan airmatamu hari ini, cukup hari ini saja. Dan tinggalkan semuanya di belakang," kata Robin yang tidak tega melihat putranya.

Alec masih juga mengunci bibirnya, entah penyesalan entah apa memenuhi ruang batinnya. Kepada siapa dia harus meminta maaf. Alec tidak menyangka, kebodohannya melakukan hubungan yang tidak seharusnya itu bisa berbuntut demikian besar. Pikiran Alec tentu tidak sampai ke sana, dia hanya berpikir tentang bermain dan bersenang-senang. Hingga akhirnya berita kehamilan Jully sampai di telinganya, dan hidupnya menjadi berubah sedemikian rupa.

Alec masih juga menghajar sandsack, hatinya pilu sementara harga diri juga hancur. Dia berusaha keras ingin mempersatukan kembali keluarganya dan memperbaiki semua. Tapi dia malah disodori surat cerai. Alec memang brengsek, tapi dia tidak akan menceraikan Jully. Sampai kapanpun tidak akan terjadi. Tidak ada pilihan lagi bagi Alec selain bertahan, seorang diri. Di sini hanya ada ayahnya, yang mana ayah juga cukup sibuk.

"Alec tolonglah, berhentilah Nak, ayah sudah gak sanggup lihat kamu begini," Robin akhirnya meratapi putranya.

Sementara pukulan Alec kembali menghajar sandsack, wajahnya tetap datar. Tanpa airmata.

***

Jully berdiri menatap bayi yang terbungkus dengan selimut hangat, tadi dia menangis kencang hanya karena aunty Lyssa terlambat sebentar memberinya susu. Makhluk yang selalu bergerak di dalam perutnya dan bermain bola ketika malam itu akhirnya keluar. Bayi kecil yang demikian lucu.
Wajahnya selalu mengingatkan Jully dengan daddy-nya. Sudah berapa lama bayi ini terlahir ke dunia, luka di perutnya juga sudah mengering. Jully sengaja tidak ingin membagi kabar apapun dengan Alec, bukankah jelas sekali Alec berkata, dia tidak menginginkan keberadaan Jully di sampingnya.

Bayi ini, rambutnya benar-benar seperti Alec. Dia juga terlahir panjang, mungkin nanti dia akan tumbuh jangkung seperti daddy-nya. Bayi ini tidur dengan tenang tanpa tahu apa-apa. Aleccia memang tidak perlu tahu apapun, dia bahkan tidak perlu tahu bagaimana bentuk rupa daddy-nya, juga kelakuannya. Bagi Jully ini akan lebih baik, bukankah di sekitar sini juga banyak anak yang lahir tanpa keluarga yang utuh, mereka bahkan tidak perlu menikah dan lingkungan menganggap itu hal yang normal.

"Jully mau gendong Aleccia?" tanya aunty Lyssa begitu melihat Jully hanya terdiam di samping baby crib.

"Gak aunty, Jully cuma pengen liat aja. Dia tidur nanti kalo bangun gimana?" tanya Jully dengan polos.

Jully tentu tidak ingin membangunkan si baby pterodactyl ini. Ketika menangis suaranya kencang terdengar hingga halaman. Tetangga sampai berdatangan menanyakan apa yang terjadi, apa bayinya baik-baik saja. Padahal Aleccia waktu itu hanya merajuk karena semuanya bicara sendiri dan dia tidak diperhatikan. Jully tidak tahu bagaimana cara mendiamkan bayi, ketika Aleccia menangis tidak mau diam, Jully akhirnya ikut menangis.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang