"Kalo gak bisa lepasin, aku bisa bantu kok," kata Alec yang kian mendekat.
"Ya bisa sendiri, eh kamu ngapain masih di sini?" tanya Jully masih menutupi bagian dada sekenanya.
"Ya kan sejak tadi di sini gimana sih?" tanya Alec terus saja mendekat dan Jully semakin mundur.
"Alec, stop, aku teriak nih ... !" Jully mengancam dengan galak.
Alec berhenti, tapi berkacak pinggang berpikir sebentar. "Terus kalo teriak, ada yang dateng, kamu gak malu cuma pake begitu?" tanyanya mengejek.
"Ya makanya jangan begitu," protes Jully.
Astaga ini terlalu cepat meskipun dirinya ingin. Siapa yang tidak ikut panas memandang tubuh yang sepertinya terpahat dengan sempurna itu. Yang ada di dalam pikirannya tidak lagi itu, tapi sesuatu yang lain. Mereka akan menikah sebentar lagi dan persiapan itu sudah mulai berjalan meski tanggal itu masih kerap bergeser.
Alec tidak lagi bicara, cahaya yang meremang itu tetap mampu menampilkan jelas apa yang tersaji di depannya. Dahulu tubuh itu belum sebagus ini, curva yang meliuk cantik itu membuatnya terpaksa menelan ludah berulang kali. Kalau bersama wanita lain, hanya ada nafsu saja dan hanya karena mereka wanita. Di sini begitu berbeda, iya sama ada nafsu, tapi dia lebih menggelora dan terpantik menyala.
Rasa tertariknya membuatnya ingin mendekat lagi dan lagi, menikmati wajah yang terlihat malu memelas itu juga tubuh yang hanya tertutup dua lembar benda tipis itu. Belahan yang berada di sana itu begitu menggoda, juga leher yang entah kenapa mengundang untuk disentuh. Langkah itu maju satu kali lebih mendekat, membuatnya semakin jelas dan dekat dengan indahnya makhluk yang berada tepat di hadapannya kini.
"Why? Kenapa kamu begini cantik?" tanya Alec menyentuh rambut, dan membetulkan yang tergerai asal itu dan menyelipkan di belakang telinga.
"Alec please," gumam Jully, tangan itu masih juga berada di dada, berusaha menahan benda yang pengaitnya telah habis dibukanya.
"Please? Bukannya kamu yang sejak tadi menyiksaku? Sejak dulu aku menginginkan kamu, dan tadi kamu membuat sebuah pertunjukan yang membuat bulu kuduk merinding, kamu pasti tidak menyadari betapa seksi dan sensualnya ketika pakaian tadi satu persatu jatuh ke lantai?" tanya Alec setengah berbisik.
"Aku ... lupa tadi ada kamu," gumam Jully serak, entah kenapa dia seperti berpeluh.
Jari itu menyentuh wajah, hanya satu jari yang mana berada di pipi, mendekati bibir hingga turun ke leher. Menyiksa Jully yang syarafnya segera merespon dengan cepat. Wanita itu tidak lagi bersuara, antara panik dan menikmati sentuhan demi sentuhan yang membuatnya kembali bagai bergetar. Tali yang berada di pundak itu dijatuhkannya satu, yang mana tetap tidak menbuat banyak perubahan karena tangan itu masih di sana.
Pelan saja, Alec berjanji tidak akan kasar. Dia akan memperlakukan wanitanya dengan sangat baik. Tidak seperti dulu yang serba terburu-buru, memikirkan kenikmatan sendiri tanpa peduli apa yang Jully rasakan. Dulu memang dia sebodoh itu, dan sekarang dia berjanji tidak akan melakukannya. Semua harus manis, harus indah, yang mana wanita di depannya ini akan sampai memohon belas kasihan ya untuk segera mengakhiri semua.
"Tangan ini, kenapa di sini?" tanya Alec mengambil tangan yang berada di dada itu dan menggenggamnya.
Kali ini Jully sudah terbawa, deru napasnya itu berbeda dengan yang tadi, tangan itu di biarkannya berada di dalam kekuasaan pria itu. Ada jari yang terasa di kecup mesra lalu terkulum basah, hati yang terkena angin sejak tadi sekarang bagai terkena topan, gemuruh di antara ingin mengakhiri tapi juga ingin lagi dan lagi. Satu tangan yang berada di dada itu berada di dalam genggaman orang itu lagi, membuat yang hanya tersampir satu itu jatuh ke lantai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mommy, Please Say Yes !
RomanceProses terbit. Red Diamond Publisher. Open PO, Oktober 2024. * * * * * Mencicipi dosa ketika masih di bangku SMP menjadikan Alec dan Jully menjadi orang tua di usia yang masih belia. Pernikahan terlalu dini yang digelar tidak menyelesaikan masalah...