32. Anafilaksis.

23.1K 1.3K 43
                                    

Alec secara resmi momong bocah sejak Jully berpamitan pergi keluar kota. Kalau tidak ada Alec, mungkin saja Aleccia akan berakhir dititipkan kepada Lana atau kakek dan nenek. Tapi kakek dan nenek Aleccia jarang di rumah juga, mereka kerap bepergian dan rumah hanya ada ART. Memang sudah tepat anak itu berada di sini, bersama bapaknya dan entah dia akan membuat ulah apalagi.

Pagi ini, ketika dia libur biasanya jam seperti ini dia masih molor, tidak hari ini. Alec sibuk memasang dasi dan putrinya berdiri di sampingnya sibuk menyisir rambut. Berulang kali Alec melirik tapi sepertinya Aleccia tidak perduli. Dia sibuk sendiri memakai lip balm dan membuat Alec semakin gemas. Putrinya memang sudah SMU, tapi mereka baru saja bertemu. Sebesar apapun Aleccia, Alec masih tetap menganggapnya sebagai seorang baby girl.

"Daddy sibuk kenapa kamu ikut sibuk?" tanya Alec.

"Aleccia juga mau pergi Daddy," jawab Aleccia sambil merapikan jambul.

"Pergi kemana? Daddy mau ngantor kan gak mungkin ngajak kamu," tanya Alec.

"I'm not a baby anymore Daddy, Aleccia akan pergi sendiri." Aleccia segera membalas ucapan bapaknya.

"Sendiri?" tanya Alec heran, kalau kesasar bagaimana.

"Bukan sendiri begitu, nanti dijemput sama pacar," tambah Aleccia.

"Uhukk... uhukkk...! Astaga Aleccia, pacar?" Bapaknya langsung keselek.

"Iyalah kan udah pernah bilang, Daddy belum pikun udah tua. Aleccia udah punya pacar namanya Jovian, baek, ganteng." Aleccia lancar memuji pacarnya.

"Yakin ganteng? Ganteng mana sama Daddy?" pancing Alec percaya diri.

"Ganteng Jovian dong," jawab Aleccia polos.

"Dueeeeng...!"

Alec bagai ketampol keras, hampir separuh wanita muda di kota ini sudah pernah dia kencang dan hampir semua memuji ketampanannya. Bahkan Jully saja sejak SMP sudah terbuai terpesona hingga khilaf diajak kerja kelompok bikin anak juga iya saja. Sekarang putrinya dengan enteng bilang bahwa bapaknya tidak ada apa-apanya dibanding pacarnya. Ini bapak jadi merasa tidak ada harga dirinya, Alec hanya bisa melirik berulang kali sayangnya yang dilirik tidak perduli. Menjengkelkan.

"Mo pergi kemana emang?" tanya Alec setelah jengkelnya reda.

"Ke mall," jawab Aleccia ringan.

"Anak kecil kencan di mall, apaan tuh?" ejek Alec.

"Di mall aku bisa nonton, bisa maen, bisa makan." Aleccia menjelaskan.

"Makan melulu, kenapa makan terus yang dipikirin?" tanya Alec heran.

"Kata mommy kan masa pertumbuhan Daddy, kudu banyak makan." Aleccia beralasan.

"Jam berapa ini? Mana ada mall buka jam segini? Mo bantu OB nyapu?" tanya Alec heran.

"Weeee Daddy, gak langsung ke mall, mo ke rumah Trisha dulu liat anakan kucing. Katanya kucingnya beranak unyu semua udah liat videonya. May I have one?" tanya Aleccia.

"Ask your mom," jawab Alec.

"Mommy gak ijinin piara kucing," keluh Aleccia.

"Ya udah berarti gak boleh juga," jawab Alec.

"Yahhhh, gak ada harapan," keluh Aleccia.

Alec tersenyum, rasa hatinya ingin mengabulkan setiap kata yang keluar dari bibir putrinya. Tapi Jully sudah berpesan agar tidak terlalu memanjakan Aleccia. Mereka masih mulai dekat belakangan ini, jangan sampai ada masalah dan mereka akan menjauh lagi seperti dulu. Jully bukan wanita yang mudah.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang