75. Di Luar Rencana.

2K 236 47
                                    

Yang merana karena gelud demi dan atas nama cinta sudah berangsur pulih. Berulang kali mencoba akrobat dalam arti yang tida sebenarnya, sepertinya sudah bisa. Kalau begini gaslah kawin, eh nikah. Tubuh begitu pun luka hati, penantian selama ratusan purnama itu memang tidak seharusnya sia-sia. Alec Andreas kok dilawan.

Tapi ada yang tidak bisa sembuh, galak sama sikapnya yang seenak sendiri itu sudah mendarah daging. Apalagi ketika ditinggal sakit sebentar perusahaan ada sedikit masalah, dia yang baru pulih dan napas membaik, kembali berteriak lantang membereskan semua. Restrukturisasi dilakukan, perombakan juga terjadi di beberapa divisi. Kali ini dia yang agak berbahagia sedikit bermurah hati, tentu saja bagi yang mengakui, minta maaf dan berusaha mengembalikan. Kalau yang tidak ya kirim saja somasi.

Harus kembali bekerja keras, sebentar lagi akan ada wanita yang bakal diurus dan ada anak gadis yang perlu diberi makan. Mana anak itu makannya banyak sekali, heran. Penat di kepalanya itu satu demi satu bertumpuk, hingga kini pengajuan permohonan pengesahan status anaknya terkesan jalan di tempat. Bagaimana pun juga, Aleccia adalah putrinya dan sekarang masih tercatat sebagai Aleccia Jaxon, bulan warna negara Indonesia pula. Kurang menyedihkan apa coba.

Ini adalah pelajaran yang sangat besar, suruh siapa memang ruwet sejak awal. Urutan itu jangan sampai terbolak-balik, cicip dulu baru menikah. Mana masih kecil kok ya nyicip yang aneh, jajan cendol atau cilok kek, enak perut kenyang. Masih SMP kok cidul bareng, kerja kelompok segala. Ya begini akibatnya. Enak cuma sebentar, runyam dirasakan hingga belasan tahun. kapok.

"Pak Alec, permisi," sapa Mita yang tiba-tiba muncul.

Alec terhenyak kaget, sejenak hanya bengong menatap ke arah asistennya. Perasaan tidak dipanggil tapi kok muncul, begini kalau punya anak buah terlalu rajin. Apa karena memang Mita kebanyakan gaji, ya sudah lah kalau kebanyakan nanti dipotong, cibu.

"Kemari ngapain?" tanya Alec heran.

"Lho kok Bapak tanya? Kan Bapak yang panggil tadi?" tanya Mita, yang salah siapa sebenarnya.

"Kapan aku panggil?" tanya Alec masih bingung.

"Tadi Pak Alec, cuma saya lagi mengurus tiket buat perjalanan bisnis Bapak, makanya baru kemari." Mita menjelaskan, agak heran kenapa bos semakin sehat semakin agak lelet mikir.

"Nah itu, kamu dipanggil lama sih, kan aku jadi lupa. Makanya kalo dipanggil buruan." Alec menyalahkan Mita.

"Pak, tadi katanya iya tidak apa-apa, cuma 15 menit loh padahal," ucap Mita manyun. Sabar punya bos begini, cuma 15 menit lupa, dasar ingatan koi.

"Time is money, mau 15 menit 15 detik," kata Alec.

"Terus ini saya mau disuruh ngapain?" tanya Mita, kok malah cuma ngajak gelud. "Kalau tidak ada saya balik deh Pak."

"Eh enak aja mau kabur, kesini kamu. Itu rumah yang aku suruh cari udah dapat belum?" tanya Alec baru ingat.

Mita mesem, akhirnya pak bos ingatannya kembali. "Siap Pak, sudah. Saya dapat 5 kandidat, bagus semua tinggal Bapak suka yang mana.

"Cakep, liat," kata Alec mengulurkan tangan.

"Yang ini 5 kamar Pak, cocok umpama nanti mau buat anak agak banyakan." Mita menunjuk rumah besar.

Alec melirik, pahit. "Urusan buat anak itu urusan aku, gak usah dibilang Ta," katanya dengan tajam.

"Maaf Pak, kan maksudnya ya ... itu. Eh ini Pak rumahnya kecil, kamar hanya 3, tapi di belakang ada paviliun." Mita mengalihkan dengan menunjuk rumah lebih kecil.

"Kamar cuma 3 itu lho, buat aku, Aleccia, sisa cuma satu. Kalo aku buat anak lima lai gimana? Titipin rumah kamu sisanya?" tanya Alec galak.

"Ya maaf Pak, tadi kamar 5 salah, kasih kamar 3 salah." Mita kesal tapi mau mengomel tidak berani, seandainya ada mbak Ami.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang