82. Pertunjukan Apa?

18.9K 982 113
                                    

Tadi bilang apa, dan kenapa dia begitu berani. Kalau begini, menolah jelas mubazir. Kapan lagi dia yang datang sendiri mana kecupan itu diberikan sendiri. Yang berada di dalam dada sepertinya berdegub dengan kencang tidak tahu diri. Wanita yang biasanya pasif dan agak introvert, membuat Alec berpikir apakah ini memang musim kawin?

"Jully kamu sedang menggodaku?" tanya Alec sekali lagi. Dia menyandarkan punggungnya di gawang pintu.

"Enggak, mana ada aku begitu." Jully berdiri dengan santai.

"Lalu, yang tadi itu ... maksudnya apa?" tanya Alec mengejar, berdirinya tidak lagi santai.

"Aku, cuma mau tau. Mau sampai kapan kamu pake baju penuh airmata, iler campur ingus anakmu begitu?" tanya Jully menunjuk baju yang memang kumal setengah basah.

Alec tidak menyangka kalimat sejenis itu yang keluar dari bibir Jully. Bibir itu terbuka separuh, masih terpana betapa pintarnya wanita ini membuatnya berpikir bahwa semuanya tadi begitu istimewa. Kenapa sampai lupa, pendiam, introvert dan licik. Sialan.

"Jadi, sebaiknya buruan dilepas. Jangan lupa, mandi sekalian biar tidak kuman. Aku gak mau nambah pasien," kata Jully mundur beberapa langkah.

Alec geram, kesal sudah sampai di ubun. Kapan Jully berhenti mempermainkan dirinya. Ini memang bodohnya dia sendiri yang tidak pernah belajar. Jully itu seperti itu, dan sampai kapan pun dia ya akan tetap seperti itu. Wanita yang nakal, dan orang nakal harus diapakan enaknya. Dia yang semula hanya di dekat gawang pintu, menyelonong masuk ke dalam, tanpa permisi bajunya dilepaskan dan dijatuhkan ke lantai.

"Lec, Alec. Kok malah masuk, mana dilepas di sini?" tanya Jully kaget.

"Katanya disuruh lepas, juga mandi." Alec melepas sabuk celananya.

Jully terlihat salah tingkah meski pemandangan serupa dengan muda disaksikannya ketika berada di klinik. "Ya jangan di sini. Ngapain di sini?" tanyanya.

"Nebeng mandi," balasnya cuek, kancing celana terbuka.

Jully menelan ludah, berusaha menahan keinginan untuk menyimak prosesi itu. Tangannya gugup menunjuk luar. "Kamu bisa pake kamar mandi yang di kamar kamu sendiri."

"Kamar siapa? Aku tidak tinggal di sini, aku tidak punya kamar. Pastinya di sana kosong, aku mandi pakai apa? Hanya berguyur air saja? Aku bukan tanaman." Alec melepas celana itu dengan cuek dan Jully terlihat mengalihkan pandangan. Manusia kurang ajar, apa dia tidak punya malu.

"Astaga ya suda sana mandi ... !" pekiknya kesal.

Kenapa ada manusia seperti ini. Dia yang sangat tidak sopan, songong, mana tidak bisa diberitahu pakai mulut. Dia seperti Aleccia, tapi versi pria mana sudah gede. Rasanya seperti momong dua anak, putrinya itu masih menggemaskan, tapi Alec ini setiap saat membuatnya ingin menggampar.

Dengan ngedumel Jully merapikan kamar yang belum sempat diaturnya, terutama meja rias yang selalu saja diobrak-abrik oleh anaknya dengan segudang alasan. Suara gemericik air terdengar dari sana, sejenak Jully mesem, membayangkan sosok yang tadi cuma pakai sempak itu sekarang berada di sana tanpa busana. Pakai baju saja kadang rahim terasa menghangat dan yang bagian bawah serasa sedikit berdenyut. Apalagi kalau tidak pakai baju.

"Astaga Alec, kenapa pake itu!" Jully terhenyak kaget.

Alec keluar dari kamar mandi, rambut itu basah tapi beraroma shampo wanita. Di pinggangnya ada selembar handuk berwarna baby pink yang terpasang seksi. Jully sempat mensyukuri sempat melihat bagian dada telanjang dan perut itu, yang mana kembali membuat dirinya menggigit bibir, apalagi melihat handuk itu sepertinya terlalu ke bawah.

"Itu, maksudnya apaan?!" tanya Jully  menunjuk.

Alec mengangkat tangannya. "Pakaianku kotor. Pakaianku disini juga udah ga ada. Aku harus pake apa? Rok kamu? Ini lebih bagus daripada aku telanjang." Alec  menjawab santuy bagai tanpa dosa.

"Astaga kenapa kamu begitu menyebalkan, akan aku cuci baju kamu. Jadi nanti anak kamu bangun dia tidak sawan ... !" Jully dengan kesal berlalu.

Dasar orang mesum, Jully meraih pakaian yang setengah basah karena drama anaknya itu. Sebaiknya segera cuci saja lalu setrika. Rasanya juga menyesal kenapa tadi menggoda segala. Tahu begitu, tidak usahlah menggoda segala kalau tau ujungnya begini. Manusia yang mengklaim dirinya sebagai prajurit populasi sejak dini.

Mesin cuci sudah disetting hingga untuk mengeringkan, bibirnya kembali merutuk kesal. Dengan langkah gontai dia turun, mengambil air dan menyandarkan kepalanya pada island dapur. Ya Tuhan kalau begini bisa-bisa Alec semakin merajalela, minum dulu saja, biar tenang.

Seteguk dua teguk, gelas itu diletakkan perlahan, ruang keluarga sedikit terlihat berantakan. Aleccia tidak menangis sekalian marah, ngambeknya sampai lama. Jadi ingat Lana tadi datang bawa salad buah. Lemari es itu dibuka dengan sendok kecil di tangan. Box kecil itu dibukanya dan segera aroma yoghurt itu tercium juga segarnya buah dan keju. Satu suap salad buah rasanya segar. Saatnya kembali ke kamar, istirahat. Hari ini rasanya lelah, Aleccia sepertinya juga kelap tidur.

"Lana pinter emang, seger banget sih saladnya," gumamnya dengan riang ingin mengakhiri hari dengan tenang.

Lantai dua sepi, Jully menggeliat sembari memasuki kamarnya. Lampu sejak tadi memang hanya remang-remang dan dia menyukainya. Setidaknya segenap sel juga bola mata akan tenang beristirahat tanpa ada lampu yang membuat mata terbelalak. Mungkin malam ini mandi dulu dengan air hangat, lalu menjalankan ritual wajib biar tetap glowing, sebentar lagi menikah.

Kancing kemejanya dibuka satu persatu, benda itu lolos dari tubuhnya dan jatuh begitu saja ke lantai. Celana yang dipakainya sejak sore tadi dilepasnya pelan, dan kini hanya menyisakan benda mungil-mungil yang menempel di tubuh. Hanya bra renda juga pasangannya di bagian bawah. Jully mengusap perut, sebentar lagi menikah, semoga perutnya tidak terlihat buncit.

Pengait bra itu dilepasnya satu persatu, malam ini ingin beristirahat dengan tenang hingga pagi. Aleccia rewelnya tidak main-main. Anaknya dokter kok ya divaksin saja jerit-jerit. Padahal obat cuma sedikit mana kecil, sebentar saja pula. Kenapa dia malah seperti dicubit orang sekampung. Belum lagi bapaknya ikutan teriak katanya tidak tega. Emaknya ikutan dimarahi.

Tapi untung ada Alec, kalau tidak jelas akan dibawa ke tempat Ardi saja setidaknya biar banyak pertolongan. Ada gunanya juga manusia kurang ajar dan mesum itu. Kok bisanya dia melepas pakaiannya di kamarnya dan melenggang santai nebeng mandi, dipikirnya dia itu siapa. Jully meloloskan pengait bra yang terakhir sebelum akhirnya terpekik. Bicara Alec, bukankah dia tadi di sini, di kamar ini.

"Sialan," gumamnya mematung.

Mau napas saja rasanya begitu sulit. Mau mengambil satu demi satu pakaian sepertinya sudah terlambat juga. Dirinya hanya memakai celana dalam yang begitu mini, juga bra ini bahkan pengaitnya sudah lepas semua. Udara sepertinya berubah menjadi dingin begitu cepat. Kenapa baru ingat manusia bernama Alec itu.

Ceklek ... !

Tidak ada angin, gempa atau apapun tapi terdengar suara pintu yang tertutup sendiri. Jully gemetar, di depannya tampak ada setan berbentuk bule Londo yang berdiri di sela temaram lampu. Dia berambut cokelat gelap, bertubuh begitu seksi dan hanya ada handuk melilit di pinggang. Bibir yang tipis itu tersenyum masam

"Itu, pemandangannya dari sini sangat bagus. Kenapa ... berhenti?" suara itu terdengar serak.

"Lec," gumam Jully, berusaha menutupi tubuhnya semampunya.

"Apa? Kenapa? Lanjutkan. Pertunjukan bahkan baru dimulai." Alec mendekat.

Pertunjukan apa?

***

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang