Sikap Jully sama sekali tidak melemah juga merendah, sekuat apalagi harus berusaha tapi pintu itu terus tertutup rapat. Tapi di sisi lain dia membuka jendela, yang mana membuat Alec hanya semakin tersiksa. Urusan kantor belum usai sementara kehidupan pribadinya juga tidak kunjung membaik. Cinta digenggamnya dengan susah payah, belasan tahun lamanya menahan yang sekarang masih harus terus menahan.
Mereka satu rumah, tapi hati seperti beda pulau. Cintanya kenapa sejak dulu begini memberat dan semakin berat. Memang tahu ada kesalahan di masa lalu, tapi bukankah sudah susah payah maaf itu dia usahakan? Katanya sudah memaafkan, tapi kenapa masih saja menjauh mendekat sesuka dia. Hati ini rasanya dipelintir kuat, sakit. Di tarik juga diulur, dibelai lalu diremas. Tidak tahu lagi dia harus bagaimana, kadang terbersit rasa ingin menyerah, seandainya tidak ada wujud imut bocah yang sedang bersama mamanya di meja makan ini.
"Hallo Daddy," sapa Aleccia dengan ramah dan ceria, sesajen lengkap.
"Halo sayang," balas Alec menjawab pelan, kurang mood.
"I have this, want some? But, it's so spicy," kata Aleccia menyuapkan ke mulutnya sendiri.
Baru saja pulang dan dia menemukan dua perempuan yang dicintainya sedang berpesta dengan makanan yang macam-macam, mereka berhadapan dengan sepiring makanan yang terlihat berkuah merah dan aromanya itu bisa dikenali berapa banyak cabe yang dipakai. Alec hanya menggeleng, apa nikmatnya menyiksa diri dengan makanan yang sepertinya ekstrim seperti itu.
Anak itu, seperti ibunya yang suka makan apalagi yang pedas. Berbanding terbalik dengan dirinya yang terkena sebiji cabe saja bisa membuatnya sakit perut hingga dehidrasi. "Aku gak paham ama orang yang suka bermasokhis dengan dirinya sendiri," gumamnya dan segera berlalu.
Kalimat apa itu tadi? Jully yang sedang mengaduk makanan yang mengepul sedap itu terdiam. Yang barusan dikatakan oleh Alec itu sinis, entah dia sedang punya masalah apa. Tapi bukankah dia memang selalu begitu? Selalu bersikap menyebalkan disetiap kesempatan. Tapi terbersit keinginan untuk sedikit menggoda, "Kalo aku nyuruh kamu makan ini ... kamu mau ... ?" tanyanya.
Langkah kakinya segera terhenti, apa wanita itu baru saja menantangnya. Ayolah seharusnya Jully tahu kalau dia tidak seharusnya menantang seorang pria. Hormon ini segera bergejolak dan perasaan tidak suka karena diremehkan itu muncul. Mata coklatnya menatap ke arah Jully yang mana malah memasang senyum yang tidak bisa dimengerti. Baiklah kalau memang disuruh, Alec berbalik dan meraih piring.
"Daddy, itu pedes." Aleccia dengan polos menunjuk piring tapi bapaknya hanya membalas senyum.
Tapi sekarang malah giliran Jully yang cemas, kenapa malah berangkat, "Aku hanya menggoda. Kamu gak harus lakuin itu Lec," cegahnya.
"Too late, you already asked me," jawabnya dan mulai menyendok, pedasnya memenuhi mulut.
"Aku, cuma becanda," balas Jully semakin cemas, siapa yang tidak tahu dengan intolerannya terhadap makanan itu.
"You say it, I do it," jawab Alec dengan ekspresi datar, tapi terlihat sudah mulai memerah.
"Alec, gak perlu." Jully semakin panik apalagi sudah sendok ketiga.
"You want it, you got it," jawabnya dan terus memakan benda yang disebut seblak itu.
"Alec stop ... !" seru Jully.
Jadi wanita ini maunya apa? Tadi dia bertanya juga menantang, begitu diladeni malah panik sendiri. Hati wanita adalah relung yang paling sulit dijamah juga dimengerti. "Jadi apa sebenernya yang kamu mau? Tadi kamu suruh aku makan dan sekarang disuruh berhenti." Alec bertanya dan menyendok lagi.
"Alec kamu menyakiti dirimu sendiri," kata Jully memandang ngeri.
"I know," jawab Alec datar.
Makanan berkuah memerah, masih dengan ekspresi sama Alec terus memakannya sesendok demi sesendok seperti permintaan Jully tadi. Pedas? Jangan ditanya, mulut tenggorokan hingga perut rasanya terbakar, entah nanti apa jadinya Alec tidak ingin membayangkannya. Kepalanya saja sekarang sudah mulai pusing dan pandangannya entah seperti dipenuhi kunang-kunang.
"Itu lapar apa doyan? Daddy habis banyak. Woahhh amazing," gumam Aleccia.
"Ya, amazing," balas bapaknya.
"Daddy cari mati," gumam Aleccia dengan polos.
"I know darling," balas Alec mengelus rambut putrinya dan menyempatkan menciumnya.
Makanan itu sudah tinggal setengah dan Alec mendorong piring itu kembali ke pemiliknya, tanpa pamit lagi Alec segera beranjak menuju ke atas. Meninggalkan Jully yang bingung dengan apa yang barusan terjadi dan putrinya yang hanya menggaruk kepala. Pandangan matanya semakin kabur disertai dengan pusingnya yang menjadi. Perut ini jangan ditanya lagi rasanya, Alec lunglai menuju kamar, benar kata Aleccia. Dia sedang membunuh dirinya sendiri.
"Sebaiknya Mommy segera siapkan mobil, ato panggil ambulance," kata Aleccia polos.
Jully masih shock, pernah menikah dan menghabiskan waktu beberapa lama dengannya membuat dia paham kalau yang akan terjadi ini akan sangat buruk. Alec intoleran dengan makanan mengandung cabe meski hanya sedikit, dan lagi yang dimakan tadi jumlahnya tidak main-main. Tangannya segera mengambil sekaleng susu dan berlari menyusul ke atas. Semoga saja tidak seburuk yang dipikirkan, meski tidak mungkin.
"Alec," panggil Jully mengetuk pintu.
"Come in," jawab Alec lemah sembari melepas dasi.
Tanpa menunggu lagi Jully membuka pintu dan menyodorkan susu, berharap yang dilakukannya bisa sedikit menolong dan Alec akan baik-baik saja, meski tidak mungkin. "Minum ini," suruhnya.
"Makasih perhatiannya, tapi aku gak suka susu," jawabnya menggeleng.
"Minum saja, ayo perut itu bakal makin parah," kata Jully sedikit memaksa.
Alec menatap Jully, yang mana memintanya menyiksa dirinya lalu sekarang datang untuk mengobati, apa maunya. Dengan terpaksa dia terima juga dan meneguknya sekali lalu mengembalikannya, "cukup," katanya.
"Habiskan," suruh Jully.
"Aku gak suka susu," jawabnya tidak perduli.
"Aku, ambilkan obat," kata Jully cemas.
"Gak perlu, aku mau mandi," gumam Alec melepas kemejanya di hadapan Jully.
Jully terdiam dengan kaleng susu di tangan, pikirannya entah kemana antara cemas tapi yang dicemaskan menolaknya. Dia sadar betul apa nanti yang akan terjadi kepada pria itu, mungkin sekarang dia masih bisa sok tegar tapi tidak akan lama. Sekarang bukan waktunya bercanda, tadinya memang Jully hanya berniat bercanda, sama sekali tidak menyangka Alec akan bertindak seperti itu, nekat.
"Kamu masih di sini? Mau lihat aku mandi? Ato mo mandiin aku ... ?!" tanya Alec dari dalam kamar mandi.
Sedang dicemaskan tapi malah menjengkelkan, Jully melengos pergi saja meninggalkan Alec yang sudah mulai lanjut menanggalkan pakaiannya satu persatu. Dari balik pintu kamar mandi yang tidak tertutup sepenuhnya Alec hanya tersenyum tipis ketika terdengar langkah Jully menjauh dari situ. Perutnya ini rasanya entahlah, mulas juga mual dalam waktu yang bersamaan. Hanya dalam hitungan menit saja rasanya sudah demikian sakit.
Baru saja Jully sampai di pintu, terdengar suara dari dalam kamar mandi. Alec mulai memuntahkan isi lambungnya.
Kan, belagu sih.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Mommy, Please Say Yes !
RomanceProses terbit. Red Diamond Publisher. Open PO, Oktober 2024. * * * * * Mencicipi dosa ketika masih di bangku SMP menjadikan Alec dan Jully menjadi orang tua di usia yang masih belia. Pernikahan terlalu dini yang digelar tidak menyelesaikan masalah...