Alec merenung sendirian, mengingat segala yang diucapkan oleh anak itu beberapa hari yang lalu. Aleccia menganggap dia tidak ada, ya memang Alec tidak menampik, dia memang tidak ada. Alec tidak ada di saat kelahiran Aleccia, Alec juga tidak pernah hadir di setiap pesta ulang tahunnya, Alec tidak pernah ada di sampingnya ketika dia terjatuh waktu belajar berjalan. Yang diungkapkan oleh putrinya memang tidak berlebihan.
Sekarang Alec sudah menemukan putrinya, meski semakin lama melihatnya, rasa kebahagiaan itu selalu bercampur dengan sesak. Berapa belas tahun berlalu dan dia sudah sebesar itu, debar hati ketika Alec memandangnya masih sama ketika kaki kecil itu menendangnya sewaktu dia masih dalam perut ibunya. Kisah miliknya kenapa jadi serumit ini, Alec bermimpi suara Aleccia yang dengan ruang memanggilnya daddy. Tapi kapan.
Sekarang rutinitasnya berbeda, berangkat lebih pagi untuk mengantar Aleccia, pergi ke kantor dan mengosongkan jadwal di saat Aleccia pulang sekolah. Yang seperti ini memang tidak mampu menebus masa itu, tapi paling tidak Alec sudah berusaha. Mau seperti apapun semuanya sudah terjadi, masa lalu tidak bisa diubah, yang bisa dilakukan hanya memperbaiki semua, dengan pelan, satu persatu.
"Om Alec ... !" Suara Aleccia terdengar nyaring dari sebelah sana.
Lamunan itu buyar seketika, Alec segera menoleh ke arah sumber suara. Aleccia tampak berlari dengan penuh semangat menuju mobilnya, tawa lepas itu, hanya dengan melihatnya saja Alec sudah merasa bahagia. Dan anak itu kenapa selalu berlari, setiap kali bertemu dia selalu berlarian dan membuat Alec cemas, bagaimana kalau dia terjatuh.
"Kenapa slalu berlari? Om gak akan ninggalin kamu kok," kata Alec yang segera menyodorkan segelas jus.
"Yess Om," jawab Aleccia dengan singkat, tangannya meraih jus berwarna merah itu dari tangan Alec. Tanpa banyak berkata Aleccia sibuk dengan smartphone di tangannya dan mengetikkan beberapa kalimat yang panjang sekali.
"Sibuk bener, aku dicuekin." Alec menyindir sembari menyalakan mesin mobilnya.
"Lagi chat sama cowok Om, ganteng," jawab Aleccia yang masih sibuk dengan smartphone-nya.
"Deggg ... !"
Apa itu tadi, Aleccia hanya berkata dia sedang chat dengan cowok tapi mendengarnya saja hati Alec rasanya babak belur. Berbagai pikiran buruk segera terlintas di kepala, dan ada rasa tidak rela ketika mendengar putrinya dekat dengan anak laki-laki. Perasaan apa ini, apa ini yang namanya perasaan seorang ayah, entahlah Alec tidak tahu. Dia hanya merasa tidak suka dan kuatir.
"Pacar?" tanya Alec menyelidik.
"Nope, mommy melarang Aleccia pacaran," jawab Aleccia.
"Kalo bukan pacar, trus siapa?" tanya Alec dengan hati-hati.
"Hanya temen Om, tapi deket." Aleccia menjawab pertanyaan demi pertanyaan Alec.
"Seberapa deket?" selidik Alec lagi.
"Ya deket, udah," jawab Aleccia dengan polos.
"Baik gak anaknya?" Alec masih juga bertanya.
"Baik Om, nanti kami mau nonton bareng. Katanya ada film setan baru release." Aleccia menjawab dengan polos.
"Syukurlah kalau baik, trus kita ini kemana? Mau makan apa?" tanya Alec kemudian.
"Tidak usah makan Om, anterin aja ke mall. Aleccia janjian sama temen Aleccia di sana sepulang sekolah." Aleccia dengan cepat menyahut.
"Baiklah," jawab Alec mengalah.
Hatinya memang kacau balau, anaknya nanti mau pergi nonton dengan anak laki-laki, jiwa Alec menjadi resah. Pertanyaan kembali menumpuk, bagaimana bila anak itu ternyata nakal, bagaimana bila anak itu hanya memanfaatkan Aleccia saja. Memikirkannya saja Alec merasa kepalanya mau pecah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mommy, Please Say Yes !
Roman d'amourProses terbit. Red Diamond Publisher. Open PO, Oktober 2024. * * * * * Mencicipi dosa ketika masih di bangku SMP menjadikan Alec dan Jully menjadi orang tua di usia yang masih belia. Pernikahan terlalu dini yang digelar tidak menyelesaikan masalah...