87. Romansa Di Atas Meja Makan.

2.9K 134 31
                                    

"Lec ngapain kaosnya pake dilepas segala?" tanya Jully yang kaget, kenapa kok sat set nian.

"Terus? Maunya yang mana yang dilepas lagi?" tanyanya malah kesana.

Memang, yang bernama Alec Andreas itu semakin kesini semakin kesana. Entah kenapa hati tidak bisa memungkiri ketika untuk kesekian kalinya jatuh lagi. Sudah tahu jatuh itu bisa lecet dan terluka, tapi Jully tidak mampu lagi menahan diri.

Tembok tebal itu pernah diciptakannya dengan alasan melindungi dirinya dan putrinya, kenyataannya Jully hanya berakhir menyakiti dirinya sendiri juga Aleccia. Berapa kali hatinya terasa berderit ketika melihat wajah Alec sambil memungkiri cinta yang kembali tumbuh dan memunculkan kembang kecil-kecil.

Lebih dari 160 purnama mereka terpisah, ketika bertemu lagi begitu banyak yang telah berubah. Mata Jully mengedip secara perlahan tanpa sadar, memandangi sosok yang sudah setengah telanjang tepat berada di depannya lagi. Sekuat hati berteriak kalau Alec adalah orang brengsek tapi kulitnya ini semakin lama semakin terasa meremang.

"Kamu, mau apa?" tanya Jully dengan bodohnya padahal jelas sekali kalau dilanjutkan ya yang terjadi adalah demikian.

Alec tidak menjawab apapun, di depannya itu ada seorang wanita yang sudah setengah rebah di atas meja makan. Wanita cantik yang pernah melahirkan satu keturunannya belasan tahun yang lalu ketika mereka tanpa sengaja membuatnya. Sekali lagi mereka berada di dalam hasrat yang sama, dengan hangat di hati dan juga tubuh yang kian panas.

Pelan tangan itu menyentuh lutut yang masih tertutup oleh gaun, kain yang berwarna coklat tua itu disibaknya perlahan. Entah kenapa kali ini sepertinya tanpa ada penolakan. Wanita ini, yang ditunggunya hingga lama sekali, yang pernah pergi bahkan ketika Alec belum sempat mengucap maaf. Kembali tangannya menyentuh.

"Lec, kita di ... atas meja makan." Jully memekik, napas itu kian memburu apalagi ketika jari itu terus bergerak semakin naik.

"Oh aku tau, kalo begitu ... mari makan." Alec tersenyum kecil membasahi bibirnya sendiri.

Jully menelan ludah, mari makan apanya. Siapa yang akan makan dan dimakan? Oh astaga kenapa bahasa yang dipakainya malah membuat lumer hati bagaikan marshmallow yang dipanggang, lumer dan gosong. Kedua matamya terpejam meski dalam hati panik.

"Aku gak mau makan malam-malam, kita akan menikah dan aku sedang diet. Aku gak mau jadi gendut." Jully membuka matanya dan tersenyum mengejek.

Baru saja menyelesaikan kalimatnya tapi ada bibir yang dengan cepat mendarat di bibirnya yang mana membuatnya terdiam tanpa bisa bicara. Astaga masih saja kelakuan dia, tapi Jully menikmati detik demi detik. Membayangkan kalau lumayan di bibir saja bisa agak begini bagaimana kalau di tempat yang lain. Ah tidak, julukan mesum itu hanyalah untuk Alec seorang, bukan Jully.

"Alec," gumam Jully yang mana membuat pria yang sedang mengecup leher itu mendongak.

"Ya," balasnya dengan desah serak.

"Kita, baru menikah beberapa bulan lagi dan kamu mau membuat bayi duluan? Astaga kamu emang gak pernah berubah." Jully tertawa, memang sekonyol itu.

"Memangnya kenapa? Aku masih suamimu," jawab Alec dengan santainya.

"Kamu tahu kita masih suami istri, lalu kenapa kamu bikin sebuah pesta pernikahan?" tanya Jully yang kadang masih bertanya.

"Aku ... butuh pengakuan," jawabnya dengan pelan..

"Oh baiklah. Lalu, apa kamu janji akan setia? Selalu di sampingku?" tanya Jully kembali ingin memastikan secara dia paham body count pria yang sedang mendekapnya ini tidak main-main. Kalau dikumpulkan ada satu kelurahan mungkin.

Alec menopang tubuh dengan sebelah tangannya. Matanya memandang lekat pada Jully yang tepat berada di bawahnya. "Aku janji."

"Janji?" ulang Jully menatap pria yang mulai menebarkan aroma pheromones itu.

"Aku janji. Aku janji akan selalu di sampingmu, atau di bawah atau di atas kamu." Alec malah menjawab dengan tidak-tidak.

Mau protes tapi itu tidak salah meski tidak sepenuhnya benar. "Hey janji macam apa itu?" tanya Jully tertawa kecil.

Alec menjawab dengan serak, "Itu ... janji istimewa."

"Baiklah aku mengalah," balas Jully menggeleng. Mau ribut sampai kapan pasti orang ini yang akan menang.

"Nah, begitu dong. Kamu itu, menurut saja," gumam Alec, benar sekali jangan terlalu banyak bicara.

Malam ini masih panjang dan anak mereka sedang berada di tempat Lana, mereka akan mempunyai banyak waktu. Ada banyak yang bisa dilakukan nanti, untuk yang ini biarkan saja meja makan ini menjadi saksi bisu akan bersatunya dua tubuh manusia yang sedang berusaha berkembang biak dengan enak.

Sebagaimana insting manusia yang paling primitif, dengan pergulatan lembut yang lebih mirip dengan tarian manis namun lebih ke erotis, menyusuri pintu dari lorong libidinal yang pekat dengan hasrat. Semua ini baru saja dimulai, lakukan dengan pelan saja tidak perlu buru-buru.

Mereka sudah sama dewasa kini, sudah saling tahu bagaimana memperlakukan pasangannya dengan baik. Kecup itu kembali mendarat disusul dengan balasan yang sama panasnya. Sang prajurit populasi sedang menunaikan tugas mulia menambah jumlah penduduk bumi. Mereka sudah memiliki putri cantik, entah nanti jadinya cantik atau ganteng yang penting bikin saja dulu. Pemanasan cukup di sini saja.

"Lec," pekik Jully ketika ada yang mulai terang-terangan menelusup ke sana.

"Ya," jawab Alec nakal, mengulum jarinya sendiri.

"Kamu ... ," gumam Jully serak, susah payah.

"Kenapa?" tanyanya dengan senyum tipis, jari basahnya tadi telah lenyap dari pandangan mata hanya bisa terasa, entah menelusup kemana.

"Alec kita di atas meja makan lho," pekik Jully sekali lagi, yang benar saja.

"Iya tau, memangnya kenapa? Kamu tadi juga sudah bilang." Alec mendongak, baru saja mau nyicip itu.

"Lec sudah Lec, cukup Lec." Jully berusaha bangkit, rasanya dia tersiksa dalam nikmat yang begitu aneh.

"Ya nanggung lah, udah sampe sini juga." Alec mesem, enak saja mau berhenti. Nanti bisa meriang dong.

"Lec," bisik wanita itu, setengah memekik lagi.

"Shhhh," balasnya pelan. "Apa yang udah dimulai, ya harus diselesaikan. Makanya, lain kali gak usah mancing."

"Aku gak mancing kok," jawab Jully yang segera merapikan bagian atas gaunnya setelah Alec sedikit mundur.

"Masih saja ngeles," ejek Alec dengan seringai senyum di bibir, dia berdiri tegak dengan separuh badan telanjang, sedikit berpeluh.

"Ya bukan ngeles. Eh kenapa kamu malah lepasin itu ikat pinggang?" tanya Jully, ya kan maksudnya tadi cuma goda kok, suwer bukan serius jadi bangunkan macan tidur.

"Pake nanya lagi. Sudah kamu diam saja. Ga perlu kuatir, kamu di tangan seorang profesional," jawab Alec dengan penuh percaya diri.

Kalau sudah begini, mau bilang apalagi. Mau mempertanyakan keprofesionalan pria yang kini semakin mendekat dengan tubuh yang sudah semakin minim pakaian itu? Oh astaga. Bagaimana kalau dinikmati saja. Toh sama enak nanti.

"Percayalah, kamu ... berada di tangan seorang profesional."

***

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang