40. Belum Bercerai

18.6K 1.1K 49
                                    

"Gemesin banget siiih," gumam Alec memandang putrinya yang sedang unboxing.

"Udah gede gak gemesin lagi, gemesin waktu masih baby." Jully menjawab.

"Oya?" tanya Alec.

"Hu'um," jawab Jully mengangguk.

Tapi Alec hanya bisa membayangkannya saja, karena mereka bertemu saja Aleccia sudah SMU. Bagaimana anaknya itu waktu masih kecil entahlah, bayangannya saja Alec tidak tahu. Terakhir bertemu dia masih berada dalam perut mamanya, hanya tendangan juga suara degub jantung lemah dan cepat itu yang sempat dia dengarkan. Kalau besarnya sama menggemaskan seperti ini, bagaimana waktu kecilnya.

"Gak tau kecilnya gimana," gumam Alec.

"Mau liat?" tanya Jully.

"Bisa?" tanya Alec antusias.

"Ada beberapa video dia lagi joged nyanyi, lucu banget." Jully membuka smartphone.

Tentu saja kepo, dia bertemu dengan bocah ini ketika sudah besar dan pintar berceloteh. Bagaimana bentuknya ketika baru lahir, teriak juga tangisnya seperti apa. Dia hanya pernah mendengar waktu bayi Aleccia ini sangat Gimbul hingga kesulitan mencari baju. Untuk seusianya, panjang pas tapi sampai di dada sudah tidak mau turun. Sedangkan dibelikan di usia atasnya, badan muat tapi kepanjangan, dia tenggelam. Kebanyakan minum susu.

Alec segera mendekat, dari layar smartphone terlihat sebuah video dengan gambar seorang batita yang sedang bernyanyi sambil berjoget. Bajunya itu rapat membungkus tubuhnya yang gindut, sementara rok yang hanya sejengkal itu tidak bisa menutup semua bagian pantat yang cemol itu. Tangan gimbul itu bertepuk tangan berulang kali dan dia tertawa gembira. Lubang di hatinya segera terasa meski senyum itu menghiasi wajahnya.

Berapa banyak waktu yang telah dia rasakan kehilangannya, dan mereka tidak akan kembali meski dia sanggup membayar dengan apapun. Bayi kecil itu bagaimana rasanya bila berada dalam gendongannya, entahlah Alec belum pernah merasakan hangatnya menggendong bayi. Apakah berbeda rasanya dibanding ketika menggendong Aleccia yang tertidur pulas di pangkuannya.

"Lihat begini jadi pengen punya bayi," gumam Alec yang masih memandangi smartphone.

"Kenapa tiba-tiba bilang begitu?" tanya Jully.

"Aleccia bentar lagi gede, pasti buru-buru minta kawin. Bakal kehilangan dia lagi padahal belom puas ngasuh," gumam Alec lagi

"Mau bikin bayi ama siapa?" tanya Jully agak mengejek.

"Sama yang mau ajalah, ngajakin Jully emangnya mau?" tanya Alec pasrah.

"Kagak ... !" balas Jully segera.

"Heleh, dulu aja iya-iya, sekarang sombong," cibir Alec menguak dosa masa lalu.

"Ya dulu aku masih bego, kagak lagi dibegoin sama kamu," balas Jully kesal.

"Eh siapa yang begoin? Aku ngajak, kamu mau, yodah yok," gumam Alec.

"Siapa bilang mau ... ?! Itu kuping apa jamur? Enak saja," sergah Jully.

"Iya deh iyaaa, belagu," gerutu Alec. Padahal tingg bilang iya aja lho, lagian diajak yang enak-enak kok tidak mau. Nanti Jully cukup diam saja juga tidak apa-apa, biarkan Alec yang bekerja. Karena bukankah sudah kodratnya lelaki yang bekerja keras dan bini terima nafkah. Iya itu nafkah duid juga nafkah kecebong.

"Dasar penjahat wanita, oya jadi inget. Bentar ya jangan kemana-mana," kata Jully.

"Kemana?" tanya Alec polos.

"Nanya mulu ... !! Dah diem, gosah ngomong juga ... !" balas Jully galak.

Alec mengangguk lemah, matanya tidak beralih dari smartphone yang menampakkan gambar putrinya yang masih kecil itu. Betapa kalau tidur tingkahnya mengalahkan Marsupilami dan kalau minum susu mengalahkan unta. Kalau berteriak kencang melengking mirip dengan induk pterodactyl, kenapa anak ini lucu sekali. Nelangsa ini kembali menyeruak, Alec melewatkan masa itu dimana seharusnya seorang ayah berada di sana, menemani juga mengasuh putri kecilnya. Seandainya semua yang terjadi semudah itu.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang