62. Cahaya Yang Meredup.

2.1K 325 45
                                    


Aleccia masih menempel pada pamannya, sudah berapa lama tidak bertemu tentu saja kangen. Terakhir bertemu sudah berbulan lamanya, ketika dia pamitan pergi ke Indonesia ikut emaknya demi bisa bertemu dengan bapaknya. Biasanya tiap weekend Aleccia selalu pergi bersama orang yang disayanginya ini, dari dia juga si anak gadis bisa menyetir mobil dengan handal padahal masih dibawah umur.

"Uncle itu kenapa?" tanyanya menunjuk wajah Finn.

"Abis berantem sama orang jahat," jawabnya.

"Oh, uncle mo tinggal di sini?" tanya Aleccia.

"Nope, hanya dua minggu. Uncle punya pekerjaan sayang tak bisa ditinggal begitu lama." Finn merangkul keponakannya.

"Sebentar sekali, Aleccia masih kangen," gumam bocah itu. "Padahal mau ajak main bareng sama Mommy dan Daddy," tambahnya.

"Daddy?" tanya Finn pura-pura.

"Daddy Alec, yang kemarin," jelas Aleccia.

"Aleccia punya Daddy?" tanya Finn memancing.

"Yes uncle, Aleccia punya Daddy. Seneng banget Daddy Aleccia baik, uncle gak usah kuatir lagi ama Aleccia sekarang. Udah ada Daddy," kata Aleccia riang.

"Masa sih? Tau darimana Daddy nya baik." Finn memancing.

"Tau lah uncle, tiap hari antar jemput Aleccia. Buatin bekal, kadang masakin yang Aleccia mau. Ngajarin Aleccia macem-macem, gak pernah marah juga ama Aleccia." Si anak gadis menyebut semua kebaikan bapaknya.

"Seneng dong?" tanya Finn meski hatinya tetap tak suka.

"Seneng uncle, sayangnya Daddy lagi pergi kata Mommy. Gak pamitan sama Aleccia, sibuk banget kayaknya belakangan. Padahal Aleccia kangen," kata Aleccia sedih.

Finn merasa kasihan tapi dendam itu lebih besar dari semua, "Aleccia mau ikut uncle lagi ke sana? Kita bisa tinggal bersama." Finn membujuk.

"Nope, Aleccia suka di sini," kata Aleccia.

Fin hanya diam mendengar penuturan keponakannya ini, Aleccia sepertinya sedang tergila dengan bapaknya. Apa dia tidak tahu sebrengsek apa bapaknya. Dia dengan polosnya menyanjung bapaknya setinggi mungkin. Bukan cemburu, hanya tak suka. Bagaimana pun dia tetap membenci Alec, si brengsek itu sudah keterlaluan. Enak saja adiknya disiakan hingga seperti itu, mana sedang hamil besar.

Memang dia masih bocah, tapi apakah dia tidak berpikir, yang dikandung Jully adalah anaknya. Semua yang terjadi adalah sebagian dari kesalahannya. Otak anak itu ada di mana, dia sudah hampir 14 tahun dan harusnya bisa tahu yang mana yang benar. Oh, otak mungkin dia punya, tapi sepertinya Alec tak punya hati. Finn mendengus kesal sendiri.

"Aleccia, balikin toples aunty sayang," suruh Jully sengaja mengusir anaknya.

"Siap Mommy, nanti mampir makan es krim dulu ya," kata Aleccia minta ijin.

"Iya boleh," jawabnya.

"Yeshhh, Aleccia pergi dulu uncle, bye," pamit Aleccia berlari.

"Bye Aleccia, hati-hati," pesan Finn melambai.

Jully duduk di sebelah kakaknya, wajah Finn masih gosong lebam sana-sini. Kakaknya memang sengaja datang lagi, selain karena ingin memastikan si brengsek Alec itu sudah minggat dia juga masih merindukan keponakannya. Aleccia meski bukan berasal dari bibitnya tapi sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Finn ikut menyaksikan bagaimana anak itu tumbuh hingga jadi gadis cantik seperti sekarang.

"Dah baikan?" tanya Jully.

"Better," jawab Finn.

"Kapan balik?" tanyanya.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang