68. Keputusan terakhir.

2.5K 354 39
                                    

Mobilnya ini akhirnya kemari lagi, berapa lama waktu yang diperlukannya untuk bisa ke tempat ini lagi. Bukan takut, tapi ada yang mengganjal dan sulit diuraikan. Alec memegangi dadanya sesekali, nyeri ini masih tering terasa, dan sakit di hatinya sebaiknya tidak perlu dijelaskan lagi. Untunglah obat dari Anggi sangat membantu meski nanti besok sepertinya masih harus ke sana lagi untuk dosis selanjutnya. Yang penting segera pulih.

Anak itu, dari kejauhan sini Alec melihat. Dia memang terlihat tertawa tapi wajah itu tetap tidak bisa membohongi matanya. Ada sedih juga sayu yang terlihat, semuanya memang salah orang tuanya. Yang mana memberi kebahagiaan saja sepertinya harus tertatih terluka. Kisah yang sejak awal diukir dengan cara yang salah, meskipun kehadirannya itu adalah anugerah tapi tetap saja, rumit ini terlalu pelik untuk diurai.

Sejak lahir dia bersama dengan Finn, Alec bahkan tidak tahu tangisnya seperti apa. Bagaimana dia ketika sedang tengkurap pertama kalinya, bagaimana ekspresinya ketika menyentuh hujan pertama kali. Atau ketika tertatih belajar berjalan. Alec tidak berada di sana, menyentuh dan menyaksikan. Anak itu tumbuh besar, dengan kondisi yang seadanya. Dosa ini milik ayah dan ibunya tapi dia yang menderita.

Gadis itu sedang dalam pangkuan Finn, memainkan sebuah gitar yang suaranya terdengar sayup terbawa angin. Dari sini terlihat, lelaki itu seperti ayahnya, siapapun yang melihat pasti akan berkata demikian. Dirinya ini seperti orang asing meski Aleccia begitu memujanya. Jully tidak pernah mengiyakan meski tidak selalu menolaknya. Hubungan ini, akan seperti apa. Memang benar, yang dikatakan oleh Anggi. Apa masih bisa diperjuangkan.

Pintu mobil perlahan terbuka, sepatu kulit hitam mengkilap itu menapaki kerikil tajam yang tersebar di pinggir jalan. Keputusan ini memang sudah seharusnya dibuatnya. Dia sudah tidak ingin menunggu lebih lama, keputusan harus dibuat dengan segera. Luka yang diakibatkan oleh ini harus segera diakhiri, diobati sedikit demi sedikit. Memang akan meninggalkan jejak, tapi itu lebih baik daripada hanya terus menggaruknya yang membuatnya menganga setiap hari.

"Daddyyy ... !" teriak Aleccia begitu melihatnya.

Bunga bermekaran di hati Alec, dari semuanya cinta aleccialah yang paling jujur. Gadis yang paling dicintainya lebih dari apapun di dunia ini. Darinya Alec belajar, bagaimana menerima seseorang tanpa melihat apa yang sudah dilakukannya. Juga cara memaafkan dan memulai semuanya dengan cerita baru yang lebih baik.

"Daddy kangeeen," kata Aleccia yang langsung menubruk bapaknya.

"Akhhhh," desah Alec perlahan setelah tubuh itu menghantam dadanya dan memeluk erat.

"Daddy kemana aja? Aleccia cari," tanya Aleccia membenamkan tubuhnya.

"Kan sudah dibilang, Daddy sibuk ada urusan. Ini sudah kembali," balas Alec memeluk dan mencium putrinya.

"Aku pikir ... aku pikir Daddy gak kembali," kata Aleccia.

"Daddy pasti kembali, ada Aleccia di sini." Alec memeluk putrinya sekali lagi. Terbatuk lagi.

"Daddy batuk? Sakit?" tanya Aleccia perhatian.

Alec tertawa, dan mengangguk, berkata bahwa hanya batuk kecil saja gak perlu kuatir. Tidak mungkin dia berkata bahwa ini hasil dari gelud tempo hari yang menyebabkan dia terkapar di rumah sakit. Anak ini tidak perlu tahu, dunia sudah cukup kejam kepadanya. Meski Aleccia kuat tapi Alec tak ingin menyakitinya, itu bukan bebannya. Itu beban kedua orang tuanya.

"Aleccia panggil mommy, nanti biar diperiksa sama mommy," kata Aleccia.

"Daddy sudah ke dokter, sudah diberi obat Aleccia. Kebanyakan obat kalo overdosis gimana?" tanya Alec kalem.

"Mati," jawab Aleccia polos.

"Astaga," gumam Alec, ya bener yang dikatakan anaknya. Tapi kok menyakitkan ya.

"I miss you Daddy, kenapa Daddy pergi lama?" tanya Aleccia membenamkan kepalanya lagi.

Alec mengelus rambut yang seperti miliknya, alasan apa yang harus dikatakannya. Dia pergi lama, selain kabur juga karena perawatan yang harus dijalaninya. Retakan itu hampir saja membuat patah tulangnya, penyembuhan membutuhkan waktu yang sangat lama. Harus bilang apa kepada bocah yang tidak tahu apa-apa ini. Semua keributan dari orang dewasa, bocah ini masih terlalu dini untuk paham.

"Ada urusan sayang, sekarang Daddy di sini," kata Alec mencium sekali lagi dan wajah putrinya semringah bahagia.

"Daddy jangan pergi lagi," kata Aleccia memegangi lapel jas bapaknya dan Alec hanya bisa mengangguk.

"Di mana? Mama?" tanya Alec.

"Belakang, mau Aleccia antar?" tanya Aleccia riang menggandeng tangan Alec.

"Gak usah, Aleccia sini saja temani uncle Finn. Kasihan sendirian," tolak Alec.

Anak itu mengangguk setuju, meski aslinya dia masih kangen. Berapa minggu lamanya dia bahkan hampir putus asa, dia berpikir mungkin akan kehilangan bapaknya dengan alasan yang tidak dipahaminya. Dengan tawa dia menuju ke arah Finn yang memandang Alec dengan pandangan tak suka seperti biasa. Tapi kali ini sepertinya dia tidak bisa apa-apa.

Jully ada di belakang, di dekat kolam ikan yang berisi banyak koi yang dibelinya bersama anaknya. Entah apa yang sedang dipikirkannya tapi dia hanya melamun dan separuh rambut itu tergerai menutupi wajahnya dengan helai yang beberpa kali bergerak tertiup angin. Dia cantik, masih tetap cantik seperti waktu masih SMP.

"Hai," panggil Alec pelan dan wanita itu segera mendongak kaget.

"Lec ... !" seru Jully terkejut.

Seperti mimpi, tapi ini nyata. Lelaki itu berdiri di sana dengan kostum seperti biasa ketika pulang kantor. Wajah itu terlihat pucat dan sesekali batuk terdengar. Jadi rupanya dia masih sakit, sudah bisa diperkirakan. Lana bilang Alec jago berkelahi, sekali hajar orang bisa patah tulang bahkan sekarat. Tapi kemarin itu kenapa dia yang benjut. Dia sengaja mengalah, memang sengaja mengalah. Entah kenapa hati Jully ikut merasakan sakit, dia mengalah, untuk apa.

"Lec, kamu baik-baik saja?" tanya Jully.

"Tidak, jawab Alec.

"Kenapa? Masih sakit?" tanya Jully cemas.

"Ya," jawab Alec.

"Boleh aku periksa?" tanyanya.

"Hatiku yang sakit," jawab Alec.

"Oh," gumam Jully. Jawaban yang sudah bisa diperkirakan.

"Kamu mempermainkannya, hati ini bukan karet, yang bisa elastis meski kamu tarik ulur. Dia bisa patah dan terluka, seperti sekarang," lanjut Alec.

"Maaf," jawab Jully, memang mau membalas apalagi.

"Waktuku sudah tak banyak Jully, kesabaranku sudah berada di tepian," kata Alec.

"Lalu, kamu mau apa?" tanya Jully datar.

Alec menghela napas panjang dan memegangi dada, masih sakit saja suvenir yang diberikan oleh Finn itu, sialan. Langkah kakinya mendekat kepada wanita yang duduk meringkuk itu, tangannya menelusup ke dalam kantung celananya mengambil sesuatu. Sebuah kotak beludru kecil itu digenggamnya erat sebelum akhirnya diletakkannya di dekat kaki Jully.

"Aku, tidak akan menanyakan lagi nanti, jadi, take it ... or leave it," kata Alec bergetar.

Resiko yang diambil kali ini terlalu besar, paham sekali tapi memang ini yang sudah selayaknya diambil. Dia mengejar susah payah, terjatuh nyungsep dan bangkit lagi, belasan tahun digunakan untuk menebus satu kesalahan besar. Hukuman itu sampai kapan harus diterimanya lagi. Kali ini bukan hanya hati yang sakit, badan juga babak belur.

"Lec," kata Jully memandangnya sayu.

"Sudah kubilang, waktuku tak banyak. Aku tunggu jawabanmu," balas Alec.

"Alec," panggil Jully serak.

Alec hanya terdiam sesaat, menghela napas dalam sekali lagi sebelum melangkah pergi. Meninggalkan sosok wanita juga sebuah pilihan. Mereka sudah sama dewasa, jadi sebaiknya akhiri saja. Pilihan itu harus diambil sekarang, iya atau tidak sama sekali.

***

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang