81. Apakah Undangan?

2K 211 61
                                    

Dua orang itu datang dengan tertawa, padahal jelas sekali telatnya lumayan lama. Mulut anak itu bau jus alpukat tapi tangannya menggenggam kebab. Apakah bapaknya tidak bisa berpikir kalau perut itu juga perlu waktu untuk mencerna, diisi terus tanpa jeda. Anaknya sih mau saja yang tua itu harusnya yang punya kendali. Itu lambung kalau melar macam mana.

Terbersit ide dan Jully bertanya, "Ada yang mau es krim?"

Aleccia yang baru saja menuntaskan kebabnya segera menoleh. "Aleccia mau Mommy," balasnya cepat.

"Daddy juga mau Mom," balas Alec tidak mau kalah.

Kalau begini, dua orang ini terlihat begitu menggemaskan dan hati terasa adem. Melihat Aleccia yang masih unyu menggemaskan ceria setiap hari, ditambah lagi melihat Alec yang entah kenapa semakin lama semakin hawt dan senyumnya manis sekali. Dua orang itu, apakah mereka tidak merasa kalau semakin lama semakin menyiksa dirinya. Beberapa scoop es krim diletakkan di sebuah mangkuk kecil, satu buat anaknya satu buat bapaknya. Emaknya diet.

"Kenapa suka es krim?" tanya Jully menyerahkan dua mangkuk kecil itu.

"Yummy and sweet Mom," balas Aleccia menyambut mangkuk kecil itu.

"Because, it's sweet. Just like you, your smile, your eyes," balas Alec.

Jully berdecih, dasar playboy cap kadal. Tiap ada kesempatan selalu saja dia menggombal, setia kata yang keluar dari bibirnya itu membuat jengkel sekaligus senang, entah apa itu definisinya. Dia semakin terlihat seksi, juga wajah itu semakin tampan saja. Dasar cupid laknad, ini kenapa rasanya jad jatuh cinta lagi.

Es krim sudah tandas dan anak itu duduk di pangkuan bapaknya tanpa menyadari kalau tingginya saja sudah hampir sama seperti emaknya. Tiba-tiba jadi teringat sesuatu, mumpung ada bapaknya yang diharapkan bisa diajak menjadi sekutu dalam konspirasi nganu. Bagaimana lagi, diajak ke tempat Ardi dia ngeles terus. Pak dokternya suruh datang ke rumah juga tidak mau, takut CLBK katanya. Alasan saja, aslinya sungkan sama Alec.

Tanpa bicara dia masuk, mengambil sesuatu. Kapan lagi, kalaupun anaknya ngamuk toh ada bapaknya. Yang kena sambit paling juga Alec, santuy saja. Pria itu sudah tahan pukul, anggap saja begitu. Aleccia ini bandel minta ampun, kena gerimis saja sudah meler-meler lalu nangis sambat sakit kepala. Tapi diajak vaksin ngeles saja mentang-mentang tidak ada nasal spray.

Jully terlihat mengedipkan mata memberi kode. Dan Alex sepertinya langsung paham karena sempat melirik sementara anaknya masih berkicau bercerita kucingnya Trisha habis kabur sama oyen preman kampung dan kembali dalam keadaan bunting, lalu beranak dua. Hal seremeh apapun terasa selalu membuat hati terhibur, caranya berkata itu selalu lucu sekaligus membuat sebal. Tangan itu dimainkannya sejenak lalu digenggamnya rapat. Sebelum akhirnya tubuh itu dipeluknya erat hingga tak bisa lagi bergerak.

"Daddy I can't move," teriaknya protes.

"So don't move," balas bapaknya.

"Daddy you hurt me," protesnya lagi.

"So don't fight," balas bapaknya tega tidak tega.

"Mommy help," teriaknya menoleh ke arah emaknya yang berada di belakang bapaknya tapi teriakannya langsung pause. "Mom, what you gonna do?" tanyanya memelas.

"Nothing, just ... ," balas Jully tidak mau melanjutkan kalimatnya.

Drama rumah tangga nyaring terdengar hingga ke teras. Alec yang mengalihkan pandangan.

"Anaknya Bu dokter kok ya begini?"

***

Seperti yang sudah diduga, drama rumah tangga itu tidak akan selesai dengan cepat. Lana yang datang satu jam kemudian saja masih bisa menemukan Aleccia yang habis nangis meler-meler di pangkuan bapaknya, sisa isak itu bahkan masih ada. Memang Aleccia rewelan, tapi dia tidak mudah menangis kalau tidak ketakutan atau manja.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang