Maunya, memberi kabar kepada orang tua nanti saja yang penting anaknya sudah kena. Tapi Alec sepetinya tidak punya pilihan banyak, anak semata wayang sudah dicolong sama pamannya. Kalau begini, mau tidak mau ya harus datang. Kediaman orang tua Jully yang baru tidak jauh, berkendara sedikit mengebut cukup 1 jam perjalanan dan mereka telah sampai di sebuah rumah besar yang asri.
Pertama kali kemari, dia hanya tahu rumah yang lama dan telah dijual itu, tempat di mana mereka mencipta dosa yang mana hingga kini masih saja ada drama. Alec menoleh ke samping, Jully sepertinya terlihat gugup padahal ini adalah rumah dari orang tuanya sendiri. Dia memang kadang terganggu dengan hal kecil, berbeda dengan dirinya yang lebih bersikap berangkat saja dulu, gelud urusan belakangan.
Tentu saja suasana ini berbeda dengan belasan tahun lalu, yang mana orang tua Jully lah yang datang ke rumahnya dan minta pertanggung jawaban atas tindakan yang sama sekali tidak dipikirkan akibatnya. Alec mengangguk kecil, mengatur napas dengan baik dan memeta di kepala apa saja yang akan dikatakan kepada calon mertuanya itu.
Ada mama yang sudah siap dengan dandanan paripurna menunggu di teras, ada Aleccia yang sibuk dengan Finn bermain rambutan yang banyak semutnya. Dari tiga manusia itu bisa ditebak, siapa bilang keroknya. Sudah pasti orang itu yang mengadu, maunya apa? Mengajak gelud lagi? Gas. Meski baru sembuh, bodo amat.
"Sore Mama," sapa Jully tegang.
"Tante, Mama." Alec merana, enaknya panggil apa.
Si mama langsung mencureng. "Masuk ... !" ketusnya.
Alec tersenyum mengangguk, tangan itu disempatkannya meraih tangan Jully yang tidak disangka terasa sangat dingin bagai sedang melihat hantu. Entah nanti bagaimana jadinya, masuk saja dulu. Melewati dua biang kerok yang masih sibuk dengan semut di sekeranjang buah rambutan itu, disempatkannya mengedipkan sebelah matanya dan gadis itu segera berteriak senang.
"Daddy ... !" teriaknya nyaring menghampiri bapaknya yang baru duduk di sofa.
"Halo my baby girl, ngapain? Rambutan?" tanya Alec menyambut putrinya di pangkuan.
"Yep, so hairy and ... what took you so long Daddy?" tanya Aleccia mengalungkan tangannya di pundak bapaknya.
"Jemput mama dulu Sayang," kata Alec ngeles, padahal yang dijemput adalah dirinya.
Si mama masih juga terlihat kesal meski ketika melihat hubungan antara bapak dan anak itu hatinya trenyuh. Cucunya segede Gareng bertemu bapaknya masih juga menggelendot macam bocah berusia lima tahun, masih bermanja menceritakan segala seperti anak TK. Tapi sekarang ada yang lebih penting, dia bisa manja-manja nanti saja. Tangannya sedikit melambai ke arah Finn yang segera tanggap.
"Aleccia," panggil Finn.
"Heh," jawab Aleccia menoleh.
"You answer me, heh? Kemarilah anak nakal. Ayo kita cari keong." Finn melambaikan tangannya.
"Keong?" tanya Aleccia, benda apa.
"Oh tidak mau, oke bye." Finn segera berlalu dan keponakannya makin kepo.
"Uncle Finn wait for me ... !" teriaknya dan Alec cuma tertawa. Astaga cuma disogok keong padahal, kenapa anaknya bisa sereceh itu.
Mama berdiri, melirik si anakan pterodactyl itu sudah pergi atau belum. Di situ ada Alec dan Jully yang duduk berdampingan dengan tampang yang agak nganu. Mereka ini, tidak masih kecil dan sudah besar, selalu membuat orang tuanya kepikiran. Dan berapa lama tidak bertemu dengan menantunya itu, yang mana sekarang tumbuh menjadi lelaki yang begitu berbeda dan sepertinya Aleccia menyayanginya.
"Waktu kecil, nakal sekali. Sekarang sudah gede, tetep nakal saja ... ! Mama kesel." Mama memekik dan menarik sepasang telinga.
"Aduh Mamaaa, eh anaknya kok dijewer?" teriak Jully kaget.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mommy, Please Say Yes !
Lãng mạnProses terbit. Red Diamond Publisher. Open PO, Oktober 2024. * * * * * Mencicipi dosa ketika masih di bangku SMP menjadikan Alec dan Jully menjadi orang tua di usia yang masih belia. Pernikahan terlalu dini yang digelar tidak menyelesaikan masalah...