71. Masa Depan Yang Teraba.

17K 1.1K 94
                                    

Anak gadis mengamuknya sudah hilang, sekarang hanya mesem berkali-kali sambil makan nasi goreng buatan Lana. Kalau begini rasanya hidup lebih tenang. Setelah tantrum bagai disapih menyusu selama entah beberapa hari karena dia mengira bapaknya minggat. Kalau begini untuknya kembali, mau digoda juga enak, bisa membalas dengan merepet balik. Rupanya lama di sini kemampuan merepetnya semakin terasah, jadi bangga sudah menularkan banyak hal.

"Dih yang lagi seneng," goda Lana sesekali mencolek pipi.

"Iya dong Aunty, daddy dah balik." Aleccia menjawab dengan semringah.

"Senengnya Daddy udah pulang," goda Lana.

"Daddy ga pulang lho Aunty," balas Aleccia.

"Lohhh, gimana ceritanya coba? Katanya balik?" Lana keheranan, maksudnya apa.

"Daddy emang datang, tapi cuman bentar trus pergi lagi." Aleccia memberi info sepotong-sepotong.

"Kok gitu?" tanya Lana semakin pusing, bukannya itu cincin sudah dipakai oleh Jully.

"Aleccia ga tau aunty, tapi yang penting daddy datang Aleccia udah seneng." Aleccia dengan polosnya berkata.

"Syukur deh Aleccia seneng, ga ngamuk lagi kayak kemaren, aunty pening." Lana mengaku ikutan stress padahal itu beban bukan punya dia.

"Iya Aleccia seneng. Tapi mom nangis abis Daddy pergi." Aleccia kembali memberi ini yang cuma sepotong lagi.

Lana kaget, lah kok bisa. "Oya? Aleccia tau ga kenapa?"

Aleccia menggeleng, "I don't know Aunty. Masih kangen kali sama Daddy."

"Iya kali ya, mamamu masih kangen bapak kamu kali ya." Lana mengiyakan saja apa yang dikatakan oleh keponakannya.

Dalam hati Laba mencibir, mana mungkin Jully cuma kangen sampai menangis begitu. Pasti sebenarnya ada yang lain. Padahal pas pamer cincin saja mesam-mesem.

***

Baru tersadar ketika sopirnya membukakan pintu, apa yang menjadi lamunannya kali ini, sekali lagi dasinya dilonggarkan. Keributan di kantor, juga hal lain membuat kepalanya terasa seperti mau pecah. Kini dia berada di sini, menemui lagi wanita yang telah membawa hatinya selama ini. Setelah sekian lama, ratusan purnama. Rupanya ini adalah hasil penantiannya yang panjang.

Alec tersenyum sendiri, terlintas di kepalanya waktu Jully mengunjunginya di kantor. Dia meletakkan kotak cincin itu di hadapannya dan sudah tanpa isi. Cincin itu melingkar cantik di jarinya. Jully memang sialan. Kenapa harus menunggu begitu lama. Hati ini sudah pernah jatuh, runtuh, robek dan segalanya. Wanita itu benar-benar menghukumnya hingga puas. Jully memang brengsek.

Sebuah buket bunga mawar merah berada di tangan. Dah lama tidak membelikan cewek bunga. Jully tidak seberapa suka bunga, Tapi bodo amat. Apa Alec harus selalu berusaha menuruti Jully selalu? Ya tidak. Tapi aneh saja sih tiba-tiba datang bawa bunga, biasanya Alec selonong-selonong aja kalo ke rumah ini. Seperti sedikit mengeluh sama dirinya sendiri. Konyol sekali hari ini. Tapi mau kembali juga sudah terlanjur di sini.

"Daddy ... !" Suara Aleccia melengking kayak induk pterodactyl.

"My sweet Aleccia," sapa Alec menyambut anaknya degan riang.

Aleccia mengintip punggung bapaknya. "Itu apa?" tanyanya

"Bunga, buat mama," jawab Alec jujur, lalu menyesal kenapa hanya beli satu. Aleccia selalu saja ingin apa yang diberikannya kepada emaknya.

"Buat Aleccia mana? Aleccia mau bunga juga." Sudah ditebak beberapa detik lalu bahwa anaknya ini bakal meminta. Dan benar Aleccia ikut nodong pada akhirnya.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang