66. Mengurai Rumit.

2K 301 96
                                    


Sekretaris mencari gara-gara, kalau parkir mobilnya kenapa begitu. Apa dia sudah lupa kalau Alec biasanya duduk di mana. Mana yang dibuka pintu yang mana, sengaja mencarikan pekerjaan atau apa. Sudah tau boss-nya ini masih benjut malah dikerjain, apa dia tidak paham yang namanya dosa. Alec ngambek, malah hanya berdiri berkacak pinggang.

"Pak, masuk Pak," kata Ami kalem, pak boss masih mode senggol bacok.

"Kamu nyuruh aku muter Mi?" tanya Alec marah.

"Bapak, kalo bapak duduk di situ. Kena tekanan seatbelt nanti sakit, yang cedera mana seatbelt di mana," jelas Ami.

Terdiam sesaat, iya benar juga. "Ngomong dong," gumam Alec akhirnya menurut.

"Nah kalo di sini kan enak, seatbelt gak nekan Pak. Nih saya kasih bantalan juga biar nyaman," kata Ami perhatian.

"Tumben pinter kamu," gumam Alec.

Ami kembali nyengir, untung saja sudah hafal dengan kelakuan boss-nya ini. Tapi sekarang sudah mau bicara, daripada kemarin diam terus. Mita mengadu pusing berkeliling menghadapi tingkah majikannya. Tampang sih masih jutek, biarkan sajalah yang penting sudah mau bicara.

Ami juga sudah wanti-wanti pak Hasan, nyetirnya alus. Sedang membawa orang yang sakit hati juga sakit jiwa, jangan mengerem mendadak kecuali darurat. Itu kalau tubuh si bapak terhentak kasian sakit lagi nanti. Yang kemarin keselek saja dia hampir pingsan.

Mobil sunyi, Alec hanya bersama dengan pemikirannya sendiri. Bukannya dia sedang menyerah pada takdir cintanya, tapi hanya mengambil jeda entah sampai kapan. Dia hanya manusia yang juga punya lelah. Berapa banyak waktu yang dihabiskannya untuk mengejar Jully kembali. Melintasi benua sudah pernah dilakukan, mengelilingi Aussie tapi tetap tidak bertemu. Mungkin karena waktu itu Alec juga masih bego.

Ucapan Jully waktu itu sedikit mengganggu, putrinya mencari. Alasan dia terus berusaha dan berjuang hanyalah putrinya bukan yang lain. Andai tak ada Aleccia, mungkin Alec sudah menyerah atas Jully yang demikian keras kepala. Wanita itu berkeliling di sekitarnya tapi tak pernah mendekat, dikira hati ini terbuat dari apa. Belum cukupkah hukuman yang telah didapatkannya. Harus sampai kapan lagi, harus bagaimana lagi. Diri ini lelah.

"Pak, saya nyalain radio biar gak bosen ya," kata Ami menyalakan Radio dan Alec hanya melirik tanpa mengiyakan.

Suara intro musik terdengar, sebuah lagi manis milik salah satu musisi Indonesia yang lumayan terkenal dengan lagu galaunya itu mulai terdengar manis. Orang kalau sedang sensitif itu ya begini, apapun bisa jadi pemicu. Lagu itu mengalun dan terus mengalun, menyindir dirinya yang hanya menggenggam rindu tak tahu harus diberikannya kepada siapa.

🎼 Lihat aku sayang.
Yang sedang berjuang 🎼

"Mi, matikan ... !" perintahnya.

"Saya ganti salurannya Pak," jawab Ami gelagapan.

Tapi entah kenapa panel itu semakin bego saja, disentuh bukannya respon tapi malah anteng. Sementara wajah Alec sudah seperti mau menelan orang. Dia yang sedang sakit jiwa raga rasanya tertampar sekali lagi.

🎼 Jika, bukan kepadamu.
Aku, tidak tahu pasti.
Pada siapa rindu ini kan ku beri 🎼

"Matiin ... !!" teriak Alec marah. Masih pagi ngajak gelud.

"Iya Paaak, ini gak respon. Sebentar Pak ya," kata Ami gelagapan tap layar panel.

"Lama ... Pak Hasan minggir," perintah Alec.

"Apa Pak?" tanya pak Hasan bingung.

"Minggir mobilnya," kata Alec dingin.

"Pak kan belum sampai," jawab pak Hasan bingung.

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang