49. Cemburu?

2.5K 305 15
                                    

Berapa kali sudah pipi ini berjumpa dengan telapak tangan itu, setiap hari ada saja alasan yang menjadikannya mendarat dan menyisakan panas. Apakah dendamnya itu memang sebesar itu, apakah kesalahannya yang dahulu memang tidak pernah  bisa dimaafkan. Ayolah, Alec hanya bercanda, Jully harusnya tertawa bukannya murka. Alec bangun dan duduk di depan wanita itu, menatapnya. 

"Bisa gak sih Jul, sehari aja gak digamparin?" tanyanya. 

"Itu mulut, kondisikan," jawab Jully. 

"Aku kan cuma tanya," balas Alec. 

"Kalo nanyanya gitu emang aku gak kesel?!" tanya Jully emosi. 

"Kenapa kesel?" tanya Alec. 

"Kamu sekarang nanya mulu, makin ngeselin. Tapi masih gak tau salahnya di mana?!" tanya Jully menatap Alec. 

Jadi begitu, Alec tertawa tapi hanya sebentar. Ayolah dia hanya bercanda, harusnya Jully tertawa bukannya marah-marah. Kaos yang tadi tersampir diambil dan dipakainya, wanita ini masih tetap saja galak seperti dulu, tidak ada yang berbeda, cuma semakin tua saja. Jully masih di depannya, memasang wajah sewot seperti biasanya. Seandainya Jully suka tertawa seperti Aleccia pasti manis sekali. 

Alec mencolek pipi Jully dan bertanya, "kalo gini, ngeselin gak?"

"Jangan macem-macem!" sembur Jully. 

"Cuma satu macem," jawab Alec yang sudah mengangkat tangannya. 

"Aku bilang jangan macem-macem ... !" seru Jully yang segera mengangkat tangannya bersiap nabok. 

"Mau gampar lagi ... ? Bu dokter mau gampar lagi? Nih, aku udah biasa digampar cewek." Alec menoleh menyodorkan pipi. 

"Jangan becanda ... !" seru Jully kembali. 

"Siapa yang becanda?" tanya Alec dengan sebelah tangan mencolek hidung Jully. 

"Kamu ... !!" pekik Jully kesal dan tangannya segera beranjak, nampol. 

Sabuk hitam dengan beberapa medali, hanya pukulan yang bisa diprediksi dari seorang wanita. Tangan Alec dengan santai bergerak cepat dan memegangnya sebelum sampai di wajahnya. Alec tersenyum mengejek, jadi segini saja tenaga wanita ini. Tentu saja, dia setiap hari yang dipegangnya mungkin perban, stetoskop atau pun jarum suntik bukannya samsak yang bisa menambah kekuatannya. 

"Alec lepasin ... !" teriak Jully, kedua tangannya entah kenapa berada di tangan orang ini. 

"Tenaga kamu segimana? Mau lawan aku?" tanya Alec dengan nada datar. 

"Lepasin ... !" pekiknya. 

"Cium dulu," balas Alec. 

"Gak mau, ah lepasin Leec ... !" seru Jully melepaskan diri. 

"Aku aja yang cium kalo gitu," kata Alec. 

"Jangan ngawur ... !" kembali Jully berteriak. 

"Gak ngawur," balas Alec. 

"Alec jangan mesum ah," mohon Jully memelas. 

"Mesum? Aku gak lagi mesum Jully," kata Alec. 

"Trus apa?!" tanya Jully kasar. 

Kedua tangan ringkih itu masih berada dalam kekuasaannya. Untuk sementara Alec tidak ingin menjawab, dia hanya memandang Jully dari dekat dan menikmatinya. Wanita ini, kenapa sulit sekali. Andai saja dia mengatakan apa yang harus dia lakukan  mungkin semua akan lebih mudah. Penantian ini harus berapa lama lagi, hukuman ini harus dijalani berapa lama lagi. Apakah dia tidak tahu hatinya juga memilu meski Alec tidak pernah mengaku. 

Mommy, Please Say Yes !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang