7. Sebenarnya Aku Terluka

62 16 6
                                    

     "Wih...! Ada cewek nyepam nih." Puspa menajamkan pandangannya menatap satu-satu chat yang dikirim.

     "Gak usah dibaca, gak ada manfaatnya," ujar Adit tapi tak dihiraukan sama sekali.

    Setelah cukup lama membaca setengah chat itu, Puspa mengembalikan ponsel pada pemiliknya. Ia kembali menyendok kolak lalu menatap Adit.

    "Dit?" Puspa mendekat, lalu berbisik, "lo jorok ih. Masa ngupil difotoin."

     Adit langsung kaget. Ia segera mengecek ponselnya dan membuka chat yang baru saja Puspa buka. Matanya terbelalak kaget melihat foto yang dikirimkan. Dan amarahnya mulai naik ketika melihat balasan dari si penerima. Puspa memang keterlaluan.

     "Astaghfirullah," ucapnya sambil menggeleng. Ia segera menghapus pesan itu dan menyampaikan permintaan maaf pada si penerima pesan.

     Puspa tertawa gelak. Ia mengecap-ngecap bibirnya yang terasa manis setelah menyentuh santan kolak. Susu di dalam gelas diminumnya hampir habis.

     "Saya kecewa," kata Adit sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. "Lainkali, saya gak mau ngasih hp saya ke kamu lagi."

     Puspa tersenyum tengil. "Ya maaf."

     Adit memejamkan mata sambil menarik napas kasar. Lalu menghembuskannya dan menatap Puspa. "Ngapain kirim foto kamu ke guru saya?"

     "Cari hiburan, bosen sama lo yang dingin." Puspa mengambil gelas susu dan meminumnya sampai habis. "Lo terlalu dingin, kayak es di Kutub Selatan."

     "Di Kutub Selatan es akan mencair."

     "Itu tau," tunjuknya pada Adit. Masih dengan senyuman tengilnya. "Menurut gue, lo wajib ke Kutub Selatan biar gak dingin lagi. Fixs, lo wajib ke sana." Puspa menjilat telunjuknya lalu membuka lembaran buku tebal yang dibawa.

     "Astaghfirullah," ucap Adit sambil menggeleng.

     "PR-nya yang mana sih?" kata Puspa, sibuk membolak-balik halaman yang sama.

     "Bab 6, tentang Giving Opinion."

     Puspa mengangguk. "Ini bukan?" tunjuknya pada sebuah gambar lukisan Marilyn Monroe karya Andy Warhol.

     "Menurut kamu, lukisan itu kayak gimana?"

     Puspa melotot, kemudian memutar bola matanya sebal. "Kebiasan, orang nanya apa, dijawabnya apa."

     "Jawab aja!"

     Puspa kembali melihat gambar di buku paket itu. "Unik, tapi ini cuma gambar. Sama kayak yang lain."

     "Terus, apa yang bikin lukisan itu bisa dipajang di dalam buku?"

     "Yang bikin bukunya gabut." Puspa menutup buku paket itu. "Fixs, lo harus ke rumah sakit jiwa."

     Puspa berdiri, meraih tangan kanan Adit hendak membawanya pergi. "Ayo! Kita ke rumah sakit jiwa."

     "Rumah sakit jiwa menurut kamu tempat yang seperti apa?"

     "Tempat khusus buat pasien gila kayak lo." Puspa mencubit lengan Adit dan melepaskannya tanpa perasaan berdosa.

     "Sakit," ujarnya membuat Puspa tertawa. "Kamu sadar gak? Barusan kamu belajar Giving Opinion."

     Puspa diam mematung. Otaknya yang loading sedang berusaha memasukkan apa yang dikatakan Adit. Ia menatap laki-laki yang sedang mengusap lengannya itu. Suatu pikiran jahil muncul, ia siap melancarkan aksinya.

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang