16. Hujan Kebahagiaan

27 11 2
                                    

     Napasnya menderu saat berpapasan dengan seorang gadis di dekat perpustakaan. Ia segera memakai earphone dan memutar lagu Yanlisimsan milik Ayten Rasul. Indah, mengalun penuh melodi.

     "Adit!" teriaknya, tetapi Adit mengabaikannya dan terus berjalan tanpa arah dan tujuan.

     Sebuah kursi panjang bercat putih itu didudukinya. Sekejap ia melakukan relaksasi otot yang tadinya mengencang. Lagu itu pun masih terputar, mengambarkan secara blak-blakan tentang kisah masa mudanya.

     Hatinya terus saja terasa perih. Ibarat kaca yang sudah remuk, sulit sekali disatukan. Ternyata bukan hanya perempuan, lekaki sejenis es pun bisa patah hati. Namun, efeknya tidak terlalu terlihat jelas. Yang pasti, dia patah. Seperti ranting di sampingnya.

     "Ikut duduk, boleh?"

     Adit menatap gadis di depannya. Seragam putih abu, rok selutut dan kaos kaki panjang itu membuatnya tertegun. Apalagi dengan rambutnya yang hanya seleher. Cantik sekali. Siapa gadis itu?

     "Silahkan," ucapnya pelan kemudian sedikit bergeser.

     Gadis itu duduk di sampingnya. Kedua tangannya yang lembut bertaut satu sama lain.

     "Kenalin, Imaniar," katanya sambil menyodorkan tangan.

     "Hm?" Adit melepas earphonenya. "Siapa?"

     "Imaniar," jawabnya sekali lagi sambil menggoyangkan tangan agar bisa bersalaman.

     "Oh." Adit kembali memasang earphone.

     Gadis bernama Imaniar itu mendengus kesal. Ia menurunkan tangannya lalu tersenyum sumringah.

     "Gimana..." Ia melepas earphone yang dipakai Adit. "Kalau lo dengerin gue ngomong aja. Bisa?"

     Adit mengeluarkan ponsel dan mematikan lagu yang terputar. "Apa?"

     "Jadi..." Rok sekolah itu ia remas. "Gue deg-degan.."

     "Jangan bilang kamu suka sama saya."

     Imaniar melotot. "Sembarangan. Dengerin dulu makannya!" Ia menarik napasnya sebentar. "Gue, takut gak lulus."

     "Oh..." Adit diam sejenak. "Dari mana kamu tau nama saya?"

     "Lo viral di sekolah, cuek soalnya."

     "Oh."

     "Cewek yang sering sama lo siapa?"

     "Cewek?" Adit berpikir sejenak. "Dia Puspa, sodara saya."

     "Tapi kayak orang pacaran, romantis."

     "Tiap hari berantem dibilang romantis?" Adit menyunggingkan senyum. "Aneh."

     "Dit, gak papa kan gue duduk di sini?"

     Adit mengangguk. "Kursinya bukan punya saya, kamu bebas mau dudukin kapan aja."

     Imaniar menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menatap langit biru yang cerah siang itu. Perlahan hatinya mulai tenang. Namun, semakin tenang malah semakin sakit. Remuk, hancur tak tertolong.

     "Sakit ya," ucapnya pelan. "Pacaran itu pembodohan."

     Imaniar menatap Adit gelisah. Ia duduk penuh tekanan batin. Sejenak mereka berdua saling tatap—memberikan pertanyaan dan jawaban satu sama lain.

     "Lo mau jadi temen curhat gue gak?"

     "Silahkan."

     "Oke, gini..." Irmaniar berhenti sejenak. "Definisi pacaran menurut lo apa?"

PATAH HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang